SUARGALOKA BURONAN NERAKA: PART 2.

SUARGALOKA BURONAN NERAKA. Yang mengabdi kini terlanjur kotor sudah naluri, terkutuknya jiwa muda-mudi, tiada jalan keluar bagi mereka yang hati tak pernah suci. Maka Tuan dan Nona, silahkan simpulkan sendiri, bagaimana cara menebus kesalahan dari seni membenci manusia dan duniawi?


Angin semilir berhembus. Gerimis yang turun sejak malam tadi menambah suasana semakin sepih. Jangankan orang keluar rumah. Bintang pun tak menampakan diri, apalagi dengan sang bulan semua asik beristrahat di peraduannya. 

Tan beranjak dari tempat tidurnya lalu pergi dengan berjalan kaki seraya diselingi dengan berlari kecil mendekati pendopo putri yang berpagar putih. 

Dari kejauhan Tan terus mengamati pergerakan lingkungan di sekitar pendopo sambil berpikir bagaimana cara dirinya bisa mengambil kalung milik Rindu. Ketika suasana semua telah menjamin untuk Tan beraksi, Tan mengendap-ngendap masuk ke pendopo putri. 

Tangan Tan yang kekar mencoba meraba di setiap sisi bagian tas milik Rindu. Mencari seuntai kalung yang Tan yakin ada di dalam tas tersebut. 

"Nah ketemu!"

----

Hirup udara dini hari, mungkin terbilang masih terlalu gelap untuk sekedar menyibukkan diri, namun siapa yang mengira jika dipukul 3 pagi Bentang sudah siap-siap untuk menjalankan ibadah walaupun nyatanya Adzan belum berkumandang. Keluar dari bilik kamarnya pria dengan bersandang koko putih juga sarung yang ia lipat setengah lutut itu berjalan menelusuri pelantaran yang sepi, mungkin para sebagian temannya masih sibuk dengan mimpi.

Memang tak ada niat lain, setelah pergi mengambil air wudhu Bentang pun berjalan kembali, keluar dari arah belakang dengan keadaan rambut juga wajah yang sedikit basah. Namun, seuntas bayangan terlihat membuat atensi Bentang teralihkan. Lagi-lagi dahinya dibuat berkerut, ia berpikir siapa orang itu? sebab sepeninggalannya sebelum berwudhu teman-temannya masih tertidur pulas. Sarat akan penasaran Bentang melangkah lebih maju untuk mencari tahu siapa orang tersebut.

"Loh, Tan? Ngapain jalannya ngendap-ngendap gitu? Tertegun ditempatnya, Bentang tak mengira jika Tan adalah orang dibalik bayangan yang ia lihat tadi. 

Memegang rasa curiga, Bentang mengikuti Tan dengan langkah yang tak kalah pelan, ikut berjalan dibelakang punggung Tan dengan jarak yang cukup jauh agar Tan tidak menyadari bahwa dirinya sedang diikuti. Terlihat Tan pergi mengarah keluar pendopo tempat para lelaki beristirahat. Lalu berbelok, berhenti tepat pada depan pintu gerbang pendopo putri.

"Kayaknya emang harus gua ikutin nih si Tan." Ucap Bentang bermonolog.

Berjalan lebih dekat mengikuti Tan yang pergi masuk kedalam pendopo putri, Bentang menyaksikan Tan masuk kedalam kamar Rindu yang tampak sedang mengambil sesuatu didalam tas wanita itu. Tak berpikir panjang Bentang langsung menghampiri Tan.

"TAN LU NGAPAIN?!" Teriak Bentang yang membuat Tan sedikit terkejut.

"Lu nyuri?" Tuduhnya.

"Apaan sih lu? Jangan kepo sama urusan orang lain." Tan tampak kelagapan namun ia berusaha bersikap sesantai mungkin.

"Apaan gimana? Kenapa? Lu takut ketauan?" Cecar Bentang, memincingkan matanya menatap Tan 

"Lu nuduh gue nyuri, kan? Sok tau banget!" Elaknya, mulai emosi.

"Tapi lu emng nyuri." Ucap Bentang yakin. "Kalau nggak nyuri lu ngapain ngambil barang di tas nya rindu?" Timpalnya menunjuk kearah tas rindu.

"Gue nggak ngambil apa-apa njir." Bantah Tan, dengan segala pendiriannya tampak serius. "Dibilang jangan sok tau. Urus aja diri lu sendiri. OK?!" Tangannya menunjuk tepat didepan wajah Bentang.

"Ngaku aja anjing! Gua udah ngikutin lu dari tadi. Gua liat sendiri lu ngambil sesuatu dari tas nya Rindu." Bentang terus melontarkan kecurigaan sampai Tan pun emosi.

"BANGSAT! BANYAK BACOT LU ANJING!" 

Tan mencengkram kerah baju Bentang seraya memberikan bogem mentah ke arah pipi Bentang. Bentang merasa tidak terima dipukul oleh Tan. Pada akhirnya Tan dan Bentang adu fisik. 

BUAGH... 

BUGHH... 

BUGHHH...

Bentang langsung hilang kendali, tubuh jatuh ke pelantaran pendopo. 

UHUKK... UHUKK

Sedikit menyeringai, Bentang tidak terlihat kalah justru ia balik memukul Tan dengan seluruh tenaganya sampai mereka berdua terjatuh bersamaan.

"KENAPA TAN? JADI BENER LU NYURI? BUAT APA ANJING!!" Suara Bentang tak kalah keras, pria itu memberi pertanyaan bertubi-tubi kepada Tan. "JELASIN KALO EMANG LU BUKAN PENCURI." 

"ENGGAK! Gue cuma abis ngembaliin barang yang pernah gue pinjem di Rindu," Sanggah Tan, berusaha memberi penjelasan. "Puas lu?" Lanjutnya.

Namun bukan Bentang jika tidak kembali memberi rasa kecurigaan. "Ngembaliin apaan jam 3 pagi?" Serunya sambil membuang muka, "Ngaku aja deh, Tan. Lu tuh dari kemarin aneh, gua ga bisa percaya gitu aja." Ucapnya, mengutarakan kecurigaan yang selama ini ia pendam sambil menatap Tan lekat.

Terlihat sangat kesal Tan berdiri dari posisinya, mengusap bajunya yang sedikit kotor karena terjatuh tadi. 

"Ya emang kenapa sih? Terserah gue lah mau ngembaliin kapan. Kok lu yang ribet," Serunya kesal. "Aduhh udah deh Bentang. Mending lu pergi dari sini. Jangan ikut campur apa lagi nuduh gue ngelakuin yang enggak-enggak."  

"Ga nuduh ya anjing." Emosi Bentang kembali tersulut, "Coba sini gua liat kantong celana lu." Serunya melangkah maju kedepan Tan.

"Nih lu cek sendiri deh." Tan pun ikut maju, menyodorkan sisi kantong celananya kearah Bentang. "Ah ribet." Cicitnya

Bentang pun merogoh kantong celana Tan, namun nihil, Bentang tidak menemukan apapun. Melihat Bentang yang tidak mendapatkan tujuannya Tan tersenyum tipis, Tan tampaknya memang licik ia sudah wanti-wanti jika tidak menaruh kalung itu dikantong celana melainkan dikantong Hoodie yang ia kenakan.

"Gak ada kan? Terserah lu deh ya." Lalu Tan pergi meninggalkan Bentang yang diam kebingungan.


Setelah menemukan buku di gudang tempo hari, Wisang merasa gundah. Niat hati memberi tahu kawan-kawannya di siang hari, namun Wisang mengurungkan niatnya saat dirasa mereka semua nampak sibuk dengan urusannya masing-masing. Waktu istirahatnya tersita untuk memikirkan perihal buku tersebut. Matanya menatap jam dinding, saat ini sudah pukul 2 lewat 30 menit, dini hari. Susah tidur memicu frustasinya, jadi ia berniat untuk membaca buku itu seorang diri.

Ia mengeluarkan buku itu dari dalam tasnya. Keningnya berkerut, ia tak bisa membaca judul buku itu. Ia berpikir lagi, haruskah ia mengajak teman-temannya untuk membaca bersama? 

Setelah dipikir-pikir, teman-temannya juga harus tahu karena buku itu mungkin saja memuat informasi yang sangat penting. Maka ia memutuskan untuk mengajak mereka. Kebetulan, Chairil dan Bentang sudah terbangun dari tidurnya. Tetapi Bentang bergegas pergi untuk melaksanakan Ibadah. 

"Ril, ikut gua, ada yang mau gua omongin." ajaknya pada Chairil yang masih setengah sadar. 

"Soal apa?" Chairil mengucek-ucek matanya. 

"Soal ini" Wisang mengangkat buku tersebut, menunjukkannya pada Chairil.

Chairil tak menjawab, namun Wisang menganggapnya sebagai persetujuan. Maka Wisang segera membangunkan mereka satu persatu. Dimulai dari Ali, Risjaf, hingga Tan. Namun Tan menolak ikut, ia lebih memilih untuk melanjutkan tidurnya. 

Mereka berempat sepakat untuk membaca buku tersebut di depan pendopo putri, bersama teman-teman perempuan mereka. Jadi di sini lah mereka, di teras pendopo putri. Wisang mengetuk pintu, tak lama kemudian pintu terbuka dan menampilkan sosok Iris. 

"Ngapain kalian di sini?" heran Iris. 

"Ris, tolong bangunin yang lainnya, gua mau ngasih tau sesuatu," pinta Wisang. 

Meskipun kebingungan, Iris tetap melakukan apa yang Wisang minta. Ia mulai membangunkan mereka satu-persatu. 

Kini Wisang, Chairil, Risjaf, Ali, Iris, Aning, dan Suri telah berkumpul di teras. 

"Tari sama Rindu mana?" tanya Wisang saat ia tak melihat eksistensi kedua temannya itu. 

"Gak tau, tadi pas gue bangun mereka berdua udah gak ada," jawab Iris. 

"Lagian lu mau ngasih tau soal apa sih, sang? Harus banget sekarang? Awas ya kalau ga penting, gue tonjok lo." kesal Aning. 

"Gua juga ogah begini kalau gak penting, Ning." 

"Ya udah cepetan, mau ngasih tau apa?"

Wisang mulai menceritakan semua hal yang ia alami kemarin, dimulai dari ia yang tidak sengaja melihat Datuk Khalaf keluar dari gudang, dan memutuskan untuk mencari tahu isi gudang tersebut, hingga sampai ia menemukan sebuah buku yang ia yakini sebagai kunci jawaban dari semua pertanyaannya. Mereka semua yang mendengar cerita Wisang nampak sangat terkejut. 

"Terus lo kok gak nolongin mereka, Sang?" tanya Iris, mengiba pada gadis-gadis malang yang dipasung di sana.  

"Gua gak sempet, keburu Datuk dateng lagi. Abis gua kalau sampe ketauan." Wisang meletakkan buku bersampul kulit hewan tersebut di hadapan mereka. "Siapa di sini yang bisa baca Aksara Jawa?" tanyanya.

"Aku bisa, Sang," jawab Suri. 

"Coba baca, Sur." Wisang menunjuk judul buku tersebut, "Gua gak ngerti," ungkapnya.

Suri mulai membacanya, sesuai dengan apa yang Wisang perintahkan. "Derajat Bumi Tarung," ujarnya.

"Oke." Wisang mulai membuka buku bersampul kulit hewan itu. Kertasnya sudah menguning, bisa dipastikan umurnya sudah sangat tua. Pada halaman pertama tertera Daftar Isi dan Daftar Pusaka. Tertera bahwa buku itu memuat sebanyak 4 bab, yaitu Tradisi Desa Ghaib, Ritual Pengabdian, Pengorbanan Jiwa Manusia, dan Sejarah Bumi Tarung. 

Desa Ghaib adalah julukan untuk Bumi Tarung sendiri. Mengapa disebut desa ghaib? Karena desa tersebut tidak masuk dalam peta manapun. Lantas mengapa Wisang dan anggota UKM MAPALA bisa menemukan desa tersebut? Karena desa tersebut pernah menjadi tempat dari sebuah ritual yang gagal dilakukan lalu terkenal di televisi dan beberapa situs internet. Namun seiring berjalannya waktu, orang-orang lupa akan eksistensi desa itu.

Tepat pada pukul 3 dini hari, Wisang mulai membaca bab pertama dari buku tersebut. "Tradisi Desa Ghaib atau Bumi Tarung. Dilarang mengumpat, dilarang menggunjing, dilarang melakukan zina, dilarang hura-hura, dilarang melampaui batas, sopan-santun, budi pekerti, dilarang menggunakan barang orang lain sembarangan tanpa izin, dan saling menghormati."

Wisang mulai memikirkan skenario-skenario buruk yang mungkin akan terjadi pada teman-temannya. Pikirnya, teman-temannya mungkin sudah melanggar tradisi desa ini, sehingga mendapatkan banyak gangguan. Yang paling ia ingat adalah saat tempo hari ia dan Aning mendapatkan gangguan di sungai, setelah Aning banyak mengumpat dan berperilaku tidak sopan.

Seolah merasa sadar diri, "Duh, gue udah berapa kali ngumpat selama ada di sini?" tanya Aning yang ntah ditujukan pada siapa. 

Suasana mulai sedikit gaduh, mereka mulai mempertanyakan kesalahan apa yang mungkin telah mereka lakukan, baik secara sadar ataupun tidak. Namun tidak Chairil. Ia hanya diam, tidak bergeming. 

Wisang belum gentar, ia tetap melanjutkannya hingga sampai pada bab ke-dua. "Ritual Pengabdian...—" Ia memberi sedikit jeda, "—... Bahan-bahan yang diperlukan antara lain, 7 sampai 8 lilin, batu besar kosong yang bertekstur lembut, darah segar perempuan perawan, 8 buah batu kerikil, 2 buah paku, korek api, gaun putih, serta 3 tangkai bunga Mawar. Terus cara-caranya... buat satu petak lingkaran pada lahan tanah kosong, lalu pasangkan lilin-lilin tersebut di setiap sudut. Gambar simbol-simbol berupa segitiga, bangun segi enam, dan bintang, pada batu besar bertekstur lembut. Tuangkan darah pada batu besar, lalu lempari batu kerikil. Tancapkan 2 paku pada kedua belah tangan, lalu usapkan pada batu besar tadi. Genggam bunga mawar hingga tertusuk duri-durinya, lalu ucapkan mantra." Rasa takut, panik, dan was-was mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Namun ia terlanjur penasaran, jadi ia kembali membalik halaman buku tersebut. 

Bab ke-tiga berjudul 'Pengorbanan Jiwa Manusia.' Berisi makna dari simbol-simbol yang harus digambar pada batu, mantra-mantra, dan juga kekurangan serta kelebihan apa yang terjadi apabila melakukan Ritual tersebut. Wisang lebih memilih untuk membacakan kekurangannya, karena nenurut Wisang itu lebih penting. "Kekurangannya...—" ia memberi jeda, "...—Pada pelaksanaan pengorbanan jiwa manusia, resiko yang dapat diambil adalah seseorang yang sudah memberikan darahnya akan selalu terkurung dan terjebak di neraka apabila jiwanya meninggalkan dunia. Seseorang yang memberikan jiwanya harus bersedia mengabdi hingga nanti tujuh turunan harus tetap berlanjut dan dilaksanakan ritualnya. Jika tidak, maka setiap ia melahirkan keturunan, mereka akan dilenyapkan. Orang yang bersedia melakukan ritual ini, hidupnya tidak akan selamat dunia akhirat sebab dihantui oleh segala rasa penyesalan bila tidak dijalani dengan sungguh-sungguh. Yang bersedia melakukan ritual, apabila terjadi kegagalan seperti jiwanya tidak kembali di tubuh, ia akan merenggut nyawa dan tak pernah kembali ke bumi. Yang telah berjanji dan berhasil melakukan, tidak bisa dipatahkan kutukannya kecuali dirinya memutuskan kontrak hubungan dengan iblis." Wisang menutup buku tersebut tepat setelah ia membacakan kalimat terakhir.

Mengapa ia tidak membacakan bab terakhir? Ia merasa sangat panik sekarang, hingga bab terakhir pada buku tersebut sudah tidak penting lagi baginya. Hal yang terpenting saat ini adalah mencari dan menyelamatkan teman-temannya, sebelum semuanya terlambat.


Sungguh pijakan ini terbuat dari paku
Menggebu, mengulur, tersulut api baur
O, aku basah terguyur
Langit ikut merundung

Hujan darah memeluk
Hantar aku ke gerbang dunia semu

Di atas tanah keji, di antara makam-makam sakti, semua akan kulewati.

Tari dengan penuh dekat menggoreskan paku itu masuk menusuk telapak tangan. Tatapannya kosong dan ia tak berteriak kesakitan sama sekali. Sehabis itu ia mengusapkan kedua belah tangan pada batu halus yang tergambar simbol-simbol setan. Yang Tari sendiri tak paham apa artinya. Sampai ia dipegangi Datuk Khalaf dan raganya rubuh, ia tengkurap namun kepalanya menengadah ke arah Rindu berdiri. 

Tari hanya tahu bahwa Rindu menerima surat kematian dari sang bapak dan ibunya di kampung. Demi membuktikan, Rindu berpasti ingin bertemu dengan kedua orangtuanya, cara satu-satu mengabulkan adalah memanggil arwah—namun Tari tahu, bahwa eksistensi Rindu justru dimanfaatkan oleh Datuk Khalaf. Keinginannya yang satu itu, tidak jua terpenuhi.

Tari lihat si Rindu menangis, air matanya sudah banjir di pipi sang juwita. Namun pinggulnya mulai melengok ke kanan dan ke kiri. Tangannya melambai-lambai semacam angin sepoi-sepoi tengah mengelilingi raganya. Kemudian ia berputar, kepalanya melenggak-lenggok, Rindu mulai menari. Iblis sesepuh dulu yang melindungi desa Bumi Tarung telah kembali, masuk dan menyatu pada tubuh Rindu Isma. Setahu Tari, jika iblis tersebut mendiami tubuh Rindu dalam kurun waktu yang lama, Rindu tidak akan bisa kembali dan iblis itu terus dapat mengendalikan Rindu.

Tari mulai murka sebab Datuk Khalaf justru mementingkan tujuannya sendiri. “MANA BAGIANKU?!” teriak Tari dan Datuk Khalaf semakin melumpuhkan dwi cagak Tari. Dibuat batuk-batuk si Tari, kemudian ia terjungkir balik ke belakang. Datuk Khalaf menarik kencang semua helai rambutnya lalu menyiram raga Tari dengan air kembang tujuh rupa.

Terdengar gemericik air yang turun dengan deras dari luar gudang. Datuk Khalaf keluar dengan senyum sumringah. Ia merentangkan tangan seolah menyambut baik kedatangan hujan berdarah. Tanda bahwa dua dunia anantara hidup manusia dan makhluk tak kasat mata telah terbuka gerbangnya.



BERSAMBUNG.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEMATIAN PENYAIR.

PROLOG: SERIBU DURJA AFTAB, SUARGALOKA.

BATU MATI PUN HIDUP: PART 2.