BATU MATI PUN HIDUP: PART 2.

BATU MATI DI TANAH HIDUP. Ini ... untuk aku yang sudah luruh-runtuh.

Yang hidup itu mati
Yang mati itu hidup
Tercekik, terbelit akar-akar padi
Terbalut, membiarkan ditiup-tiup ruh

Yang hidup itu mati
Yang mati itu hidup


Kala itu Wisang kecil pulang dengan mendekap sebuah piala, serta harsa yang menyelimuti seluruh hatinya. Tungkai kecilnya melangkah dengan cepat, mencari-cari keberadaan sang papa. Sang papa pasti sedang berkutat dengan lembar-lembar dokumen penting di ruang kerjanya. Wisang kecil tak sabar untuk segera menunjukkan piala yang ia bawa, sang papa pasti akan sangat bangga.

"Papa! Wisang dapat juara satu!" pekiknya saat menemukan eksistensi sang papa yang sedak sibuk mengerjakan pekerjaannya.

Namun sang papa 'tak menggubris, seolah eksistensi Wisang kecil itu hanya ilusi semata. Tapi bukan Wisang namanya jika gampang menyerah, ia tetap berusaha untuk menarik perhatian sang papa. 

Wisang kecil duduk di sebelah sang papa, tangan mungilnya berusaha meletakkan piala di atas meja. Namun naas, tangan kecilnya dengan tidak sengaja menyenggol secangkir kopi milik sang papa, hingga tumpah dan membasahi dokumen dokumen penting yang ada di atas meja.

Sang papa sangat murka, didorongnya tubuh kecil Wisang hingga terpental ke lantai. Belum puas, dibantingnya pula piala bertuliskan 'Juara 1 Kompetisi Musik Tingkat SD Se-DKI Jakarta' tersebut hingga hancur berkeping keping.

"Sudah dibilang, jangan macam-macam sama dokumen ini. Dokumen penting ini gak ada apa-apanya dibandingkan pialamu," ujar sang papa. 

"M-maaf pa, Wisang gak sengaja." Wisang kecil mulai terisak. Tidak, ia tidak menangis karena luka gores di telapak tangannya. Dibandingkan tubuhnya, hatinya terasa lebih sakit. 

"Keluar kamu, datang-datang bikin rusuh aja," usir sang papa. 

Wisang kecil mengusap air matanya, berdiri lalu memunguti pecahan pialanya. Melangkah meninggalkan ruang kerja sang papa dengan mata berkaca-kaca. 

Kala itu Wisang kecil hanya bisa menangis sambil terus bertanya-tanya, mengapa sang papa 'tak pernah mengapresiasi pencapaiannya? Bahkan 'tak sudi untuk sekedar mengucapkan selamat sambil tersenyum dan mengusap puncak kepalanya seperti apa yang dilakukan oleh orang tua teman-temannya. Bukankah Ia pantas mendapatkan itu? Ia telah mengalahkan banyak anak hanya untuk mendapat atensi sang papa, namun seutas senyum pun 'tak ia dapat. 

Waktu berjalan dengan sangat cepat, kini Wisang telah bertumbuh menjadi remaja yang memiliki segudang talenta. Namun Wisang hanyalah manusia biasa, dari sekian banyak talenta yang ia miliki, ia juga memiliki kekurangan. Bukankah memang sudah sewajarnya bila manusia jauh dari kata sempurna?

"Bocah tolol. Anjing aja lebih pintar daripada kamu," hardik sang papa seraya merobek lembar kertas ujian Matematika milik Wisang. 

Wisang gagal. Ia mendapat nilai yang ditulis dengan tinta merah untuk ujian semester Matematika-nya. 

"Maaf pa, aku janji bakal belajar lebih giat lagi." kali ini Wisang tak menangis lagi, dirinya telah bertumbuh menjadi lebih kuat.

"Begini aja kamu gak bisa, mau jadi apa kamu nanti?" 

"Iya pa, maaf. Aku salah karena gak belajar dengan giat." 

Wisang selalu menelan amarahnya saat di rumah, lalu memuntahkan semuanya saat berada di luar. Semua tekanan yang diterimanya menjadikan ia sebagai pribadi yang arogan, serta mudah meremehkah. Tanpa sadar ia telah menerapkan perilaku sang papa pada orang-orang di sekitarnya.

Wisang terus bertumbuh, selama itupun ia terus berusaha keras untuk membuat sang papa bangga. Namun takdir baik seolah tak berpihak padanya. 

Kali ini ia kembali mejuarai sebuah kompetisi, yakni Kompetisi Tinju Nasioal, dan ia meraih juara pertama. Seperti yang sudah sudah, ia pulang dengan perasaan bahagia, juga 'tak sabar untuk memberi tahu sang papa. 

"Pa, liat ini, aku juara satu. Skala Nasional." Senyumnya merekah, tangannya mengangkat sebuah piagam dan sertifikat. 

"Kompetisi apa?" 

"Tinju Skala Nasional, pa." 

"Kamu itu kalau ikut kompetisi yang bermanfaat, Business Plan contohnya. Ikut kompetisi kok kompetisi tinju, mau jadi preman?" 

"Maaf pa, aku gak bisa kalau soal Bisnis." 

"Alah, gitu aja gak bisa."

Di sini lah Wisang sekarang, melayangkan pukulan bertubi-tubi pada tembok kamarnya, seolah tembok kamarnya adalah sebuah samsak tinju. Tak memperdulikan buku-buku jarinya yang telah membiru. Ia sudah 'tak mampu membendung amarahnya. Cairan bening mulai membasahi matanya perlahan-lahan. Tubuhnya meluruh, menyentuh dinginnya lantai. 

Pikirannya melayang jauh pada sang mama yang ntah berada dimana saat ini. Kedua orangtuanya resmi bercerai saat usianya menginjak 9 tahun, dan itu juga menjadi kali terakhir ia bertemu sang mama, sebelum sang mama pamit untuk pergi bekerja di luar negeri. Namun hingga saat ini, tak pernah lagi ia mendengar kabar sang mama.

Ia merana, 'tak sanggup lagi menjalani semuanya. Harus berusaha sekeras apa lagi? Harus bagaimana lagi agar sang papa bangga padanya? Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang, sudikah engkau untuk merengkuh atma candala anak adam yang tengah bersimpuh dengan keputusasaan ini?


Patah hati akibat iri dengki biarlah, kalau tumbuh diri pun biarkan sajalah. Begitulah apa yang kini terjadi pada Tan. Sesampainya ia di pendopo, rakyat-rakyat desa berbondong-bondong menyiapkan dua pasang kasur tipis untuk dua raga yang tengah dalam perjalanan pulang ke dunia manusia. Selama Tan berada di bahu Datuk Khalaf, ia sering kejang-kejang. Mulutnya menganga lebar, sedang netranya melotot kaget. Dwi cagaknya tak dapat digerakkan serta masih berbentuk posisi melayang. Tetapi Tan tak berhenti keluarkan air mata. Bahananya tak ada, napas pun putus-putus tak berterusan. Namun hasta Tan, dibiarkan melipat di depan dada seolah ia sedang dalam posisi melindungi diri dari suatu serangan.

Tari sendiri akhirnya dibiarkan tidur di kasur sebelah Tan. Keadaannya masih tertidur pulas sedangkan Rindu sendiri melemas di salah satu kursi. Adapula Iris yang tengah sibuk menenangkan Rindu. Dan Datuk Khalaf, menceritakan kejadian pada Pak Prabu.

Semuanya tengah sibuk dan warga desa Bumi Tarung mulai ricuh dibuatnya. Mendengar kabar tentang Tan yang tak bisa lagi ditolong akibat dari jiwanya terperangkap dalam dunia jin hingga lupa arah jalan pulang.

Sedang Wisang menatap Tan penuh memprihatinkan. Para kawan lainnya duduk berdampingan di sekeliling Tan memerhatikan kondisi sang pemuda. Miris sekali diterka, dalam pikiran masing-masing mereka bersenandika titip doa ramai-ramai untuk Tan yang semoga jiwanya segera kembali. 

Datuk Khalaf pun menyeletuk, “Tan baru saja membakar kalung Rindu yang di mana harusnya itu dipakai oleh Rindu, aku sudah memberinya guna-guna. Untuk mengambil jiwanya Rindu, tetapi justru Rindu menyimpannya dan demi mematahkan kutukan itu—seseorang harus membakarnya, tapi itu akan membuat ia yang terambil jiwanya sebagai pengganti. Nak Tan Sjahrir sudah Datuk peringatkan, tapi tidak mendengarkan.”

Sehabis itu terdengar suara tangis Rindu yang semakin tinggi. Iris setia berada di sampingnya menenangkan diri sendiri serta Nona Isma. Lalu Wisang dan Bentang, keduanya saling tatap seolah bingung pada apa yang sehabis ini akan terjadi. Pun dalam hati mereka perasaan janggal masih singgah menghampiri.

Rasa bersalah membelenggu sanubari Wisang. Ia terus menyalahkan dirinya sendiri atas kemalangan yang menimpa teman-temannya. Harusnya ia lebih perduli dengan teman-temannya, harusnya ia bisa menjaga teman-temannya.

Wisang menatap daksa Tan yang terbujur kaku, padangannya kosong. Daksa Tan memang ada di depannya, tapi tidak dengan atmanya. Wisang berlutut, lalu menyentuh pundak kaku Tan. 

"Lu kenapa bisa sampe begini sih, Tan? Gua ada salah ya sama lu?" Wisang mengalihkan pandangannya, tak sanggup melihat keadaan Tan. Harusnya ia lebih peka terhadap sekitar, harusnya ia tahu bahwa Tan mendapatkan waktu-waktu sulit karenanya. 

Cairan bening keluar dari mata Tan, Ia menangis, tapi semua anggota tubuhnya tak bisa digerakkan. 

Ia kembali menatap Tan, "Maafin gua. Harusnya gua lebih peka lagi sama keadaan sekitar, harusnya gua bisa jagain lu, harusnya gua juga gak perlu repot-repot jadi lebih unggul dari lu kalau tahu lu bakal gila gini. Semua itu gua lakuin buat bokap gua, Tan." Wisang mengusap wajahnya frustasi, "Tapi gua bener-bener gak tau kalau ternyata itu malah bikin lu ngelakuin hal di luar nalar kaya gini."

Wisang baru mengetahui jika selama ini Tan menyimpan dendam padanya karena Tan merasa Wisang unggul dalam segala hal. 

"Gua cuma bisa doain yang terbaik buat lu," ujarnya seraya bangkit dan melangkah meninggalkan Tan ke teras pendopo. 

Di sana ada Bentang, Suri, dan Ali. Wisang duduk bersimpuh di sebelah Bentang. 

"Guys, gua minta maaf ya. Harusnya gua gak bawa kalian ke desa ini," Wisang menyuarakan rasa bersalahnya. 

"Awalnya gua pikir emang semua ini kesalahan lu, karena lu bawa kita ke tempat terkutuk ini. Tapi setelah gua pikir pikir lagi, kejadian ini di luar kendali kita semua." Bentang berusaha memaklumi. 

"Gua harusnya bisa jaga kalian semua karena gua yang bawa kalian kesini."

"Sang, gak ada yang mau hal ini terjadi, termasuk kamu juga. Jadi stop nyalahin dirimu sendiri," ujar Suri 

"Chairil, Iris, Risjaf, sama Aning mana?" tanya Wisang saat ia tak menemukan eksistensi ke-empat temannya itu. 

"Gak tau," jawab Bentang.  

"Ya udah, sekarang kita cari mereka. Kita harus belajar dari hal-hal yang sebelumnya, jangan biarin temen-temen kita mencar," ajak Wisang. 

Wisang, Ali, Suri dan Bentang pun akhirnya mencari teman-temannya. Mereka berjalan mengitari desa. 

"Apa gak sebaiknya kita mencar aja? Biar cepet ketemunya," usul Ali.

"Jangan, kita harus sama-sama."

Selama pencarian berlangsung, Wisang merasa tak tenang. Ia takut jika ada hal buruk yang menimpa teman-temannya lagi. Sudah cukup Tan, Rindu, dan Tari. Dalam keadaan seperti ini tak ada yang bisa Wisang percaya. Pikirnya, tidak semua hal ia ketahui. Bisa saja diantara mereka masih ada yang saling menyimpan dendam satu sama lain, dan yang lebih parah jika mereka berniat untuk mencelekai satu sama lain, sama seperti apa yang Tan lakukan padanya. Namun sebisa mungkin Wisang menepis pikiran tersebut dan fokus dengan kegiatan mereka saat ini, yaitu mencari keberadaan Chairil, Iris, Aning dan Risjaf.


Suasana pendopo dan teman-temannya saat ini sedang sedikit kacau, membuat Iris sedikit stress. Seperti saat ini, ia baru saja membantu rakyat desa menyelesaikan masalah ketiga temannya, Rindu, Tan, dan Tari. 

Perempuan itu baru saja ingin berjalan ke kamarnya untuk beristirahat sebentar, tetapi tiba-tiba matanya malah melihat Risjaf dan Aning yang berjalan keluar pendopo. Membuat Iris langsung merasa sedikit takut dan perasaannya menjadi sedikit cemas. 

Langkah kaki yang awalnya ingin ia pijakan ke kasur, berubah seketika menjadi keluar pendopo dan memperhatikan keadaan sekitar. Sialnya, orang ia harapkan ada malah tidak terlihat batang hidungnya. 

"CHAIRIL! CHAIRIL MANA?" tanya Iris dengan nada yang sedikit membentak. Sedangkan Suri dan Bentang yang kebetulan sedang mengobrol langsung menatap Iris bingung lalu menggelengkan kepalanya. 

Rasa panik Iris semakin menjadi ketika Iris mengingat ucapan Risjaf beberapa hari yang lalu. Dengan wajah yang sudah dipenuhi sedikit keringat, Iris langsung berlari keluar pendopo. Matanya ia tajamkan untuk memastikan, siapa tahu ia bertemu dengan Chairil lebih dulu dibanding Risjaf. 

Dalam hati Iris tidak lupa untuk berdoa, berdoa agar Risjaf dan Aning tidak dapat menemukan Chairil. Jika memang nanti keempatnya bertemu di waktu yang bersamaan, Iris akan memohon kepada Risjaf untuk tidak membunuh Chairil. Biarpun harus memohon sembari menangis dan merelakan nyawa satu-satunya yang ia miliki, untuk yang kedua kalinya. 

"Risjaf, ambilah semua kuku dan seluruh bagian tubuh yang kumiliki ini. Asal kamu mau melepaskan Chairil, dan jangan mengganggunya. Aku hanya ingin Chairil mempunyai teman dan tidak terus-terusan dirundung. Rasa sakit hatimu tidak sebanding dengan sakit hatiku yang dibunuh oleh teman sendiri. Namun jika harus melindungi Chairil, aku siap mengorbankan raga dan jiwaku."

Namun, Iris yang sudah kepalang panik memang sedikit ceroboh karena tidak mencari lebih dulu keberadaan Chairil didalam pendopo. Pasalnya, tidak lama Iris pergi, Risjaf kembali ke pendopo untuk mencari keberadaan Chairil. Pemuda itu membagi tugas dan sudah menyuruh Aning untuk mencari tempat yang sepi dan aman untuk melaksanakan misi mereka. Juga agar keduanya tidak memakan waktu yang banyak, pikir Risjaf.


"Ck, kemana lagi itu anak," suaraku terdengar di tengah sepinya dini hari. Mengelilingi seisi pendopo, yang akhirnya berhenti aku di depan kamar mandi yang terkunci, kalau dia tidak ada juga aku tidak tahu kemana lagi harus mencarinya.

Aku mengetuk pintu untuk memastikan adanya dia, "Chairil, lo di dalam kan?"

"Iya, aku di dalam Jep, bentar ya." Ah, akhirnya ketemu juga, aku harus segera membawa dia ke hutan.

"Cepetan, Ril, ada perlu nih buru-buru." Aku sengaja mendesaknya agar cepat, ya agar ini cepat berakhir.

Suara pintu aku dengar terbuka, langsung saja aku tarik tangannya keluar dari ranah pendopo menuju ke tengah hutan. "Ini mau kemana, sih? Kok langsung tarik-tarik aja?" 

Aku menatapnya sebentar, "Kita ke hutan, ada hal penting yang harus kita lakukan." Aku lanjut menariknya masuk ke dalam hutan. Ah, ternyata nggak susah juga membawanya, sepertinya para malaikat pun menyambut kematianmu Chairil Affandi.


Jari-jari gue gemetar. Kalimat Risjaf tempo hari terus jadi pemeran utama di kepala gue. Di sinilah gue, di tengah hutan, di depan kanvas dan gue gak pernah sangka kalau gue bakalan lakuin hal najis ini. Helaan napas gue buang untuk yang kesekian kalinya. Ragu, takut, gelisah jadi satu. Sebenci-bencinya gue sama Chairil, gue nggak pernah punya pemikiran buat bunuh dia. Tapi setelah dapet kuas dari Datuk dan karena kalimat Risjaf, dua elemen itu seakan dorong gue jatuh ke lubang kesesatan. Pun dengan segala ingatan dari perhatian dan penghargaan yang Chairil dapet jadi sumber pendukung tersendiri buat diri gue.

Haha. Rasanya gila mulai menyelimuti hidup gue. Perlahan, jemari gue bergerak menggerakkan kuas pemberian Datuk. Risjaf sialan. Harusnya dia nggak pernah tahu, harusnya gue nggak ngelakuin hal ini. Tapi makasih banyak, setidaknya dendam dan rasa iri yang selama ini gue pendam bisa gue tumpahkan tanpa jejak, nggak ada bukti kalau gue bunuh Chairil. Terkecuali saksi, Risjaf. 

Sumpah demi Tuhan! Ribuan kupu-kupu rasanya terbang di dalam perut gue. Senyum gue mengembang. Di sini nggak ada alat musik, radio, atau apa pun yang menghasilkan suara, tapi alunan musik Devil in His Heart dari The Beatles terputar di kepala gue. 

Tubuh Chairil perlahan mulai terbentuk di kanvas. Senandung kecil keluar dari bibir gue. Gue keren banget. Lukisan gue keren banget. Paku-paku kecil gue bentuk di dahi, mata, dan dada Chairil. Nggak lupa dengan bambu runcing yang tertancap di dadanya. Demi Tuhan! Sebut gue sebagai seniman gila! 

Perlahan, tubuh Chairil yang rusak muncul di hadapan gue. Mulutnya menganga dan mata kirinya melotot seolah minta bantuan gue. Gue ketawa kecil. Gue yang berulah masa iya gue yang beresin? Gue nggak semunafik itu. 

Chairil tumbang bersimbah darah dengan paku dan antek-anteknya. Helaan napas lega berhasil gue ekspresikan. 

"Selesai sudah."




BERSAMBUNG.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEMATIAN PENYAIR.

PROLOG: SERIBU DURJA AFTAB, SUARGALOKA.