KEMATIAN PENYAIR.

PERMAINAN MENYEMBUNYIKAN JARI TANGAN. Hoi, penyair hitam, larilah sejauh mungkin kalau bisa ke ujung dunia sekalipun lalu sembunyikan itu jari manusia, yang telah berubah menjadi tulang belulang, mengenang suara mesin tik di tengah gemuruh hujan, dan memenjarakan waktu yang enggan 'tuk melaju.

Kisahmu akan lenyap bersama keheningan, bersama tembang sekar, tembang gulana. Ada luka, ada dendam. Berkaca-kaca ketika bibir dibungkam menjahit. Sebab Sang Penyair Hitam abadi seperti puisi.

Bisikan-bisikan iblis menggerogoti isi hati, menghantam jiwa-jiwa manusia yang kelimpungan dalam kekalutan. Mereka yang berjarak mati dengan kita, pernah terbang tinggi mengucur luka sebelum kering dan berguguran. Kemudian kita lempar sebuah tanya untuk dirundingkan bersama. Apa yang lebih menipu dibanding sajak berima yang disempal bahala di dalamnya?


Ini mulut, Dik. Ada rongga yang bisa mengucurkan kata, ada rongga yang bisa menjulurkan dusta. Ini mulut, Dik. Kelancungan membius mata, kebohongan menyemburkan sampah kemana saja.

Ini mulut, Dik. Dustamu. Dosamu.

Riuh suara gigi mencabik nama para bajingan itu. Ramai oleh sampah-sampah humanis mewujud jalang asmara. Lentik gingsul menerkam geraham, pelipis yang teduh, keanggunan rahang yang patuh.

Chairil Affandi, mengunyah buah dosamu sendiri.

Ada sepetak senja yang mengundang jingga jadi menyala. Ada embusan angin yang menarik daun-daun kering dari dahannya. Tak selayaknya sore pada umumnya, pemuda itu hanya melantunkan syair-syair baru yang ada di dalam kepala. Ia melangkah tanpa permisi di halaman kampus, mengabaikan setumpuk pekerjaan rumah dan apa-apa saja yang membuat dirinya jengah. Ia hanya ingin menikmati hidup, hidup yang diberikan Tuhan dengan entah berapa pun sisa nyawanya. Chairil tidak perlu menghabiskan waktu hanya untuk menuntut kebahagiaan seperti yang orang lain impikan, benar 'kan?

Setiap hari ia belajar, bertemu orang-orang baru, bercerita tentang segala hal yang ia tahu, tetapi tak ada satupun yang mengundang minat sang pemuda akan obrolan yang diluangkan kala itu. Jadi, untuk memusatkan pikirannya yang bercabang, bercampur aduk bak cucian kotor di kamar, ia memilih untuk berjalan-jalan di sekitar kampus, kini tengah ramai akan pameran karya seni, namun Chairil tidak ikut serta—kira-kira untuk saat ini.

Keadaan Chairil pun seorang diri tentu saja, tak ada salah ia menikmati udara sore hari sendirian, tak ada salahnya pula melantunkan puisi-puisi baru yang belum ia tunjukkan kepada siapapun. Kesendirian memang menjadi sesuatu yang ia dambakan akhir-akhir ini. Singkatnya ia ingin sendiri, tetapi tidak ingin kesepian. Terdengar egois bagi siapapun yang mengharapkan dekat dengannya—apabila ada.

Dedaunan yang luruh menimpa puncak kepalanya tak ia hiraukan, ia menyukai angin musim hujan, mungkin karena dirinya sudah mulai dijauhkan dari udara lembab musim kemarau yang membuat kulitnya kadangkala memerah sampai berkeringat. Ia tidak suka kepanasan, seperti kucing yang hendak merontokkan bulu-bulu tebalnya saat musim kemarau melanda. Andai saja ia bisa tertidur pulas di atas teras rumah yang dingin dan menyejukkan. Jujur, Chairil lebih suka suasana sejuk hujan dan teduh setelahnya.

Kembali pada situasi saat ini, Chairil masih akan mencoba untuk berkeliling sebelum dehaman kecil seseorang menghentikan langkah Chairil. “Lho Ril, kagak ikut pamerin karya lu?” itu adalah suara Wisang Artsandanu. Sebetulnya, Wisang bukanlah orang yang paham seni dan pencinta seni. Namun mengingat ia berteman dengan pemuda suka dunia sastra, Wisang ikut mendukungnya sepenuh hati.

Chairil hanya menggeleng sambil tersenyum kecil. Mereka begitu nampak saling melengkapi, Chairil yang senang irit berbicara dan Wisang seringkali membangun suasana. “Tapi kalau lu nggak ikut pamer, Aning ambil bagian lu. Lihat, tempat dia penuh sama orang-orang yang apresiasi karyanya.” Tepat dengar perkataan itu, Chairil menoleh pada tempat Aning. Penuh dengan atensi orang-orang. Dan Chairil sungguh membenci itu.

Harusnya orang-orang itu memberikan puja-pujinya pada puisi yang sebentar lagi akan Chairil publikasikan tak lama lagi. Harusnya Chairil yang tengah melakukan pagelaran itu. Melihat Aning si paling pecinta seni surealis itu membuat Chairil justru tak minat untuk memamerkan karyanya lagi. 

Chairil dengan rasa kesal yang memuncak langsung pergi dari latar sana dan meninggalkan Wisang kebingungan di pijakan.


Pelataran kisah hidup dari sang penyair, dalam parade upaya melarikan diri ke kolong meja kalau bisa untuk menjauhi perang kesunyian pagi.

Jikalau dipikir-pikir. Anak itu sungguh diberkati atas kemurniannya. Maka ia yang suci dan murni akan dipersembahkan kepada yang berdaging dan tak bertulang. 

Ampunilah dosa mereka; Si Angsa, Si Elang, dan Si Burung Merpati. Diperuntukkan; Aning, Risjaf dan Chairil. Burung Merpati lain; Iris.

Chairil sudah berada di titik kumpul. Di mana Risjaf membawanya untuk melihat sesuatu namun justru ia ditinggalkan di tengah hutan hanya karena pemuda Hutomo pulang ke pendopo ingin mengambil kameranya. Chairil jelas percaya-percaya saja. Sambil menunggu kehadirannya, ia mulai berjalan-jalan sebentar ke sekeliling menatap pelataran hijau dedaunan.

Harum bau embun pagi masih tercium meski sedikit anyir karena hujan darah belum tersiram lagi oleh hujan air biasa. Dan sedikit membuat Chairil bergidik ketika berniat memetik bunga mawar, ia mengurungkan niat sebab darah dari langit masih menempel selimuti sang mawar.

Maka Chairil kembali berjalan ke titik pusat utang. Hingga belum sampai ia memijakkan kaki pada tumpuan, entah darimana datangnya Chairil rasakan paku menancap pada rupa. Di dahi ia merasa pusing, matanya dan dia mulai merasakan sekeliling penuh berwarna merah, mungkin tangisnya kini sudah berdarah-darah, dan hantaman dari belakang pada dada Chairil membuat si pemuda tumbang. Chairil merasa sesak dan riak batuknya ikut berdarah-darah. Rasa sakitnya tak terbendung sampai Chairil nampak tempatnya ambruk berubah, depannya kini ada Si Pelukis Aning Wengi. Dengan suaranya yang cekikikan merdu penuh mengejek tawakan Chairil yang melotot ingin pintai bantuan. 

Angsa Jelita itu hampiri Burung Merpati yang sayapnya telah patah terbelah dua, masih dengan suara tawa merdunya, ia berpindah terbang ke arah Chairil. “Ril, semoga abadi dalam neraka dan lukisan gue.” Aning lagi-lagi cekikikan kecil, dan ia langsung berlari menjauh tinggalkan Chairil yang kehabisan napas serta merintih kesakitan tanpa bersuara sedikit pun terdengar.


Dunia selalu jatuh di antara terang dan gelap. Prosa-prosa majenun mengembara sekitar Bumi Tarung menciptakan sebuah dualitas yang kerap menggerayangi pikiran-pikiran pengembara itu dengan cumbu dan rayu yang mesra.

Agar lebih spesifik, namanya godaan duniawi.

Geliat kembang kantil mulai menghidupi tariannya. Sebuah petaka sudah dimulai dari satu kidung manis yang merembas ke dalam denyut nadi.

Udara bergetar di lembah sunyi. Mentari pagi yang tersungkur dan satu per satu mulai beringsut mundur.

Semua masih tak mengerti.

Memang tak ada yang mengerti.

Keadaan Chairil tidak lebih baik dari tadi. Ia masih terus saja berdiam sambil menahan sakit pada sekujur tubuh, tangan dan kakinya memang bisa bergerak tetapi tusukan dadanya yang menghambat pernapasan dan tubuhnya berdiri membuat Chairil sengsara.

Hingga langkah kaki gedebam-gedebum mengagetkan Chairil dan menumbuhkan setitik harap. Yang datang adalah Iris, Suri, Bentang, Ali dan Wisang. Keempatnya adalah teman paling terdekatnya tapi presensi Ali membuat Chairil bertanya-tanya: apa yang dia lakukan di sini?

Chairil nampak bibirnya membuka ingin keluarkan bahana, namun kawan-kawannya yang terkejut akan keadaan pemuda Affandi justru menghampiri dan berusaha gapai raga Chairil. Membuat luka dalam dada yang tertusuk semakin melebar dan Chairil rasanya ingin banjir air mata darahnya. Namun Wisang berusaha menghentikan pergerakan Bentang yang terus tarik raga Chairil dan memberikan Chairil oksigen dengan mendudukkannya. Wisang menatap penuh khawatir tetapi netra sudah penuh tirta amarta.

Ali dan Suri sendiri tidak dapat berkata apa-apa selain prihatin akan keadaan Chairil. Sedang Iris wajah cantiknya memerah, ia sudah tahu pelakunya siapa tetapi ia ingin marahi pemuda Affandi. “Kenapa menuruti Risjaf sih, Ril?!” sedang Chairil hanya menggeleng-geleng dan ia mulai ambruk lagi ke belakang, namun bahunya ditahan oleh Wisang, membuat gestur sedikit mendekap dan kuasa hastanya mengusap bulir-bulir aliran darah di pipi Chairil, kemudian pemuda api ikut ucapkan sepatah-duapatah kata. “Lu belum publikasikan puisi lu yang baru. Jangan pergi dulu, Ril.”

Bentang yang mendengar ikut angguk-angguk cepat. Tapi reaksi Chairil tidak berubah. Ia tetap hanya terus menggeleng-geleng dan bibirnya mengeja kata maaf berkali-kali. Mungkin karena dosa yang telah ia lakukan. Semasa jadi Hantu Musim Hujan sekalipun. Chairil betul ikhlas menghirapkan diri. Mungkin ia akan menyusul sang ibu, sebab ia sudah rindu diberi kasih. Maka dalam penutupan matanya, Chairil hembuskan napas akhir di tengah sorak-sorai ramai jeritan Iris, dan kepanikan anantara Suri dan Ali, jua Bentang yang tangisnya mengalun bak syair elegi, serta penghebohan Wisang mendobrak raganya untuk kembali bergerak.

Chairil Affandi, sang penyair telah habis hayatnya. Kisahnya tak lagi dirajut oleh Tuhan. Ia akan abadi dalam puisinya, ia pun akan abadi dalam seni. Chairil Affandi, Sang Merpati pengirim Puisi Cinta pada Merpati Delima; telah memutus tali korelasi pada Suargaloka—yang semoga tak ikut sengsara macam dirinya, yang mati terjebak dalam perangkap tikus; jebakan Sang Angsa dan Elang.


KEHIDUPAN DUA MINGGU SELEPASNYA.

Hidup ini adalah kedamaian palsu.

Kalimat itu bukanlah sebuah citra, melainkan betul ungkapan fakta untuk kehidupan setelah Suargaloka selesaikan KKN di Desa Bumi Tarung. Jawabannya adalah mereka tidak lulus, namun tidak juga gagal.

Suargaloka resmi bubar sehabis itu. Ketua mereka—Tan Sjahrir, pada akhirnya sembuh dari pembekuan raganya. Sukma berhasil pulang namun Tan masih tidak bisa berbicara. Namun kadangkala ia menangis, ketakutan, dan berteriak-teriak secara tiba-tiba yang diasumsikan oleh sang ayah dan keluarganya bahwa Tan Sjahrir resmi mengidap penyakit gila akut. Kini dilarikan untuk singgah ke Rumah Sakit Jiwa. Masih sering pula ditengok para kawan namun berakhir akan diusir oleh Tan sendiri.

Risjaf dan Aning kemudian masuk dalam perangkap tiang besi akibat terpidana membunuh kawan sendiri. Sebelumnya tiada bukti namun Datuk Khalaf melapor bahwa kuas Aning sendirilah penyebab matinya Chairil. Orang-orang tentu tak percaya dan menganggap bahwa Datuk Khalaf aneh, sampai sang kakek tua itu menunjukkan sendiri keajaiban kuas tersebut di persidangan secara langsung, orang-orang pun berubah pikiran.

Risjaf masuk dengan penuh kesedihan sebab lepas itu Iris masih tetap belum memaafkan. Pada dasarnya Risjaf hanya ingin sebuah kata maaf keluar dari bilah bibir Iris. Maka lepas Risjaf tahu Iris semakin benci dirinya akibat bunuh Chairil dan jua Iris di masa lalu tentulah tiada ampun untuk pemuda Hutomo.

Sedang Aning Wengi terpenjara dengan penuh perasaan bangga dan senang. Karena lukisannya yang melukis kematian Chairil telah dimuseumkan—persis macam impian dia sedari lama. Bertajuk, ‘Penyair Berduri’ dan pernah terbakar sebelumnya. Namun lukisan itu tetap tidak dapat hangus meski sumbu api tercampur bensin sekalipun, lukisan tersebut tidak gosong. Sungguh ajaib dan benar nyata bahwa Chairil Affandi abadi di dalam seni.

Pemakaman Chairil Affandi tetap dilaksanakan dan selalu didatangi oleh peziarah yang merupakan kawan dekat serta orang-orang pemilik belas kasih di sanubari. Termasuk yang pernah menyayangi karya-karyanya. Dan tulisan-tulisan Chairil.

Namun akibat Bentang juga, para penghuni Suargaloka masih tetap dapat menjalani kehidupan khas mahasiswa dan mahasiswi kampus Prabangkara dengan damai (yang palsu). Sesekali berkumpul namun mereka tak akan pernah berani mengungkit kegiatan yang terjadi di Bumi Tarung. Kecuali apabila mereka merindukan kegiatan seru bersama Chairil tentunya.

Itulah yang membuktikan bahwa Chairil benar abadi dalam perbincangan, abadi dalam kenangan, abadi dalam pengisahan. Obrolan tentang pemuda itu tiada habisnya. Dan berkat bantuan Wisang juga, puisi-puisi Chairil ketika menulis di balik topeng Hantu Musim Hujan tetap terpublikasikan dalam satu buku antologi puisi penuh. Mengungkapkan sisi gelap dan cerah di dalam bukunya. Dengan nama pengejaan Hantu Musim Hujan di setiap sudut lembar kanan bawah puisinya Chairil.

Dan Chairil akan terus abadi, selama-lamanya.


SUARGALOKA; MERAYU MAUT, MEMUJA ASA.

Yang sebelumnya merampok habis segala dosa; serakah sekali kelihatannya? Sudah puaskah? Sudah cukupkah? Sudah jerakah? Sudah lelahkah? Sudah membaikkah? Bagaimana, lalu kini—jadinya?

Dan dititipkan doa-doa restu dalam setiap langkah kalian nanti. Semoga lulus dengan tulus hati. Jangan pula nanti berhenti atau berulah lagi. Merdekalah kalian! Suargaloka janji mengabdi pada diri sendiri akan terus jalan semua tujuan—janji baik budi pekerti dan sopan santun tutur kata diberi.

SUARGALOKA: SEMOGA, KALIAN, JUA ABADI.




SELESAI.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROLOG: SERIBU DURJA AFTAB, SUARGALOKA.

BATU MATI PUN HIDUP: PART 2.