SUARGALOKA BURONAN NERAKA: PART 1.
SUARGALOKA BURONAN NERAKA. Yang ranahnya meracik jiwa-jiwa terkutuk. Rumah ini tak kekal, Tuan dan Nona. Ada permainan yang mampu menghabiskan setengah nyawa. Menggenggam erat takdir manusia-manusia terlicik di dunia. Adalah mereka muda-mudi yang serakah nasib dan haknya.
—
Sebuah penubuhan silam oleh Risjaf pada Iris. Biarlah mereka tunjukkan padamu, Tuan dan Nona. Bahwasanya hadir si tuan hanyalah serupa ikab nista yang menghadirkan tirani paling biadab untuk puan─ia, sang pawana tempat berserinya kasihmu, maka harus bagaimana? Hibat ini, kasih ini, begitu agung wujudnya. Namun kau sia-siakan waktu untuk suatu yang serakah porsinya. Sedangkan Iris selalu percaya pada mimpi-mimpi yang menghantui pikiran. Seolah-olah angan memberi petunjuk. Mengingatkan dirinya kembali pada tahun 2015 silam.
Terakhir kali, Iris berteman akrab dengan Risjaf. Untuk beberapa waktu lama, keduanya dekat serupa burung merpati dan burung elang. Sampai burung merpati lain yang tak kalah indahnya, merenggut presensi Iris dari Risjaf. Iris beralih dari Elang yang gagah perkasa dan setia menemani dirinya. Iris beralih pada Chairil, yang justru lebih memikat sebab pemuda tersebut adalah kawan sejati—setidaknya mereka terikat pada benang tak kasat, selama beberapa saat, sebelum Risjaf sesat.
Sang Elang marah, ia berubah seliar macam akar-akar yang merambat cepat. Maka suatu hari ia menemui Iris, kemudian mengambil apa-apa yang sudah dihilangkan dari keduanya. Yaitu, suatu kasih—diagung-agungkan. Risjaf datangi Iris penuh murka, seolah betul-betul lupa mereka dulu adalah kawan sebaya.
“Lo lupa dulu dekat sama siapa, Ris? Asyik banget ya, sampe lupa sama gue.” Betul sekali Risjaf, kadang manusia melupa pada apa yang berada di dalam cangkang.
Iris hanya menangis dan menggumamkan kata maaf berkali-kali dengan lirih. Ia merasa bersalah jua tak mengerti. Apa yang salah dari seni berteman? Memang apa yang tak boleh dilanggar dalam seni pertemanan? Relasinya pada Chairil bukanlah sebuah kesalahan. Iris hanya ingin pemuda itu juga punya kawan, bukan justru bersua dengan perundung terus-terusan.
Sedang Risjaf menulis akan Iris yang minta belas kasihan. Rasa iba Risjaf telah musnah bersama sumpah persahabatan mereka. Iris Delima; Yang dicerca oleh semua manusia, yang ditarik ubun-ubun serta akal sehat kepala, yang ingkar pada janji keduanya, yang mengkhianati kepercayaan keduanya, yang dibelah tangan dan kakinya, yang diludahi paras dan raganya.
Dan Iris Delima; Yang dipisah kuasa dan dwi cagak, yang dikasihi oleh Tuhan, yang disayangi oleh kawan, yang kemudian semoga kembali hidup di bawah bayang-bayang mimpi, dia Inkarnasi dari sebuah penjelmaan setan.
“Kamu bahkan nggak pernah bisa bikin aku seneng, Jaf,” teriak Iris berusaha membela haknya bersuara.
“Nggak bikin seneng kata lo? Lo yang nggak pernah ngerhargain eksistensi gue.”
Risjaf tidak berbohong. Iris salah.
Namun Iris tidak bohong. Risjaf duluanlah.
Dari setiap tetes darah Iris yang mengalir akan terhitung menjadi sebagian atas seluruh dosanya Risjaf diukur. Risjaf terus menguliti sisa-sisa potong daging tubuh Iris. Tanpa belas kasih sama sekali. Betul, Risjaf itu si Tuan tak berhati. Rendah harkat, dan kotor sanubari.
Risjaf betapa keji engkau, hingga kau buat kawanmu sendiri mati. Dan tepat pada pukul tujuh malam hari, Iris merenggut nyawanya tuk hirap dari bumi, kala Risjaf mulai mencongkel satu-persatu kuku di jari.
“Maaf, Iris.” adalah kalimat akhir Risjaf sebelum ia meninggalkan raga Iris yang tergeletak miris di ruangan itu.
Namun manakala ia tidak mengerti, bahwa berminggu-minggu sesudah jasadnya membusuk, Iris temukan cara untuk hidup kembali. Menemukan mimpi dan tujuan membalaskan dendam hati.
—
Duduk termenung dalam kamar nya, senandika mengambil alih segala etensi dari sigadis buta. Membawa nya kembali mengingat kenangan kelam beberapa tahun silam, dimana segala kesialan dan kehancuran nya semakin menyesakan hingga saat ini.
Flashback...
23.00 pm
Seorang gadis buta sedang duduk termenung di kamar nya, kali ini dia menyalahkan takdir atas semua yang telah terjadi pada diri nya. Marah atas segala beban yang diberikan kepada diri nya. 'Mengapa takdir begitu kejam merebut warna dalam hidup ku? Mengapa semesta begitu tega merebut cahaya dalam hidup ku? Hingga aku hanya bisa menatap kabur pada sekitar. Sangat tidak adil, aku tidak terima dengan segala takdir yang digariskan semesta kepada ku' sekira kira nya ini lah isi hati dari seorang gadis buta yang sudah muak dengan keadaan dirinya.
Hingga tanpa dia sadari ada sesosok eksistensi yang menampilkan senyum menyeringai ke arah nya, seakan mendapat santapan mewah dengan cara yang mudah. Dia mendekati tari yang sedang dalam keadaan mudah di rasuki, ya dia adalah iblis yang menginginkan sebuah wadah untuk mencari korban nya. Dengan langkah pasti dia mendekati tari yang sedang menundukkan wajah nya.
Mendengar sebuah suara langkah kaki mendekat ke arah nya, membuat tari mengangkat wajah nya menatap kosong ke arah depan, betapa terkejutnya dia mendapati sesosok pria parubaya dengan pakaian khas kerajaan kuno yang begitu gagah membukus daksa nya. Berdiri dengan angkuh sambil menatap datar ke arah tari.
Terkejut mendapati sosok orang lain berada dalam kamar nya terlebih itu adalah seorang pria. Hingga tari tak menyadari bahwa diri nya dapat menatap jelas pada sosok pria di hadapan nya. "Wahai anak hawa, apa kau ingin melihat indah nya dunia yang fana ini sama seperti diri mu dapat melihat ku?" Satu kalimat yang dapat menarik kesadaran tari secara penuh hingga dia akhir nya menyadari bahwa dia dapat melihat dengan jelas pria di hadapan nya ini. Dengan tatapan antusias nya tari menatap balik pria itu lalu berkata.
"Aku mau, biarkan aku melihat indah nya dunia ini. Bantu aku agar dapat menatap indah nya warna bunga juga langit yang indah." Terjatuh, pada akhir nya tari sang anak hawa terjatuh pada tipu daya dari sang penguasa kegelapan, kepada sang pemakan dosa juga kemunafikan dan keserakahan manusia. Pada akhir nya gadis buta itu tergiur oleh tawaran penglihatan dari sosok asing yang menghampiri nya didalam kamar pribadi nya, tanpa kembali berpikir bagaimana bisa dia masuk kedalam kamar nya jika ibu dan ayah nya saja ada di rumah? Apa ibu dan ayah nya memperbolehkan paman ini untuk masuk?
Pada akhir nya keinginan nya untuk melihat membutakan batin nya, mata nya dapat melihat tapi batin juga pikiran nya menjadi buta. "Genggam tangan ku wahai anak hawa, lalu tutup kedua matamu. Maka setelah nya dirimu dapat melihat indah nya dunia yang fana ini." Tanpa menunggu lama lagi tari melakukan apa yang di minta dari sosok pria itu.
Tari menutup mata lalu menggenggam tangan pria yang terjulur di hadapan nya itu, kemudian menutup mata hingga tidak menyadari seringai kemenangan tersungging diwajah pria yang sedang menggengam tangannya "Terkutuk lah manusia dengan segala hawa nafsu juga keegoisan nya, hingga berani mengambil uluran tangan dari seorang iblis yang haus darah." Ucap pria itu dengan pelan hingga dia menghilang, masuk kedalam tubuh tari dengan menyisakan hawa kemerah yang begitu panas dan menyiksa.
Merasakan panas yang begitu menyiksa tubuhnya tari kemudia membuka kedua mata nya. Mata nya kini yang semula berwana hitam kelam berubah menjadi semerah darah, menatap ke arah sekitar dengan pandangan takjub hingga melupakan rasa sakit yang didera tubuh nya.
Dengan kesenangan tari keluar dari kamar nya, meninggalkan tongkat penunjang hidup nya didalam kamar nya, kemudian mengetuk pintu kamar kedua orang tua nya dengan brutal.
TOK.... TOK.... TOKK..
"Bapak! Ibuu! Buka pintu nya, tari mau nunjukin sesuatu ke kalian!" Ucap nya dengan suara kencang. Hingga pintu kamar terbuka menampilkan sang kepala keluarga dengan stelan baju tidur berwana biru gelap menatap sang anak dengan heran, belum menyadari kejanggalan dari sang anak yang berdiri tegak tanpa menggunakan tongkat juga menatap tepat pada mata nya.
"Ada apa sih kak? Kenapa kamu gedor gedor kamar bapak sama ibu tengah malam gini?" Ucap sang ibu yang berada di samping sang suami sambil merapihkan rambut nya, tidak mendengar jawaban dari anak gadis nya membuat sang ibu mengangkat wajah nya menatap anak gadis nya dengan lekat hingga terikan ketakutan keluar dari sang ibu.
"ASTAGFIRULLAH TARI! APA YANG SUDAH KAMU LAKUKAN NAK?!" Jerit sang ibu sambil menatap tari dengan ketakutan, tangan nya menggenggam tangan sang suami yang sudah diam terpaku menatap anak nya.
"Buk, pak, tari udah bisa ngelihat! Coba lihat tari udah bisa kesini tanpa tongkat. Akhir nya tari bisa ngelihat dunia!" Ucap gadis itu dengan antusias tanpa menyadari bahwa kedua orang tua nya tengah menahan tangis melihat kondisi anak gadis nya yang sangat mengkhawatirkan.
"Buk, kemasi barang kita. Kita berangkat kerumah ustadz zulfin sekarang." Ucap sang kelapa keluarga dengan tegas nya, setelah nya sang istri segera masuk ke dalam kamar dan menggambil beberapa kebutuhan mereka.
Tari yang melihat hal ini pun merasa ganjil, "pak, buk, kita mau kemana? Ini tari udah bisa ngelihat loh apa bapak sama ibu gamau peluk tari? Gamau ngerayain? Anak gadis kalian sekarang udah bisa lihat loh." Rentetan kata itu membuat sang ibu makin tersayat hati nya, sang kepala keluarga tanpa banyak bicara menarik tangan anak gadis nya sambil menahan tangis, merasa gagal menjaga putri kecil nya. Ya mereka tau bahwa tari telah di rasuki oleh sesosok iblis, mata nya yang berwarna merah menjadi pertanda jelas yang membuat sang ibu menjerit ketakutan saat menatap tari secara langsung.
Setelah memasuki mobil, satu keluarga ini langsung pergi ke rumah salah satu ustadz yang terkenal di daerah nya. Sepanjang perjalanan tari banyak berceloteh dengan ceria, tanpa sadar atau memang kesadaran nya telah terbutakan oleh sang iblis hingga dia tidak dapat melihat tatapan duka dari kedua orang tua nya.
Sampai di depan halaman rumah yang tidak terlalu besar namun asri, ketiga orang ini langsung masuk ke dalam halaman lalu mengetuk pintu nya.
"Assalamualaikum ustadz zulfin, apa ada orang di rumah?" Ucap sang ibu sambil mengetuk pintu rumah. Tak lama setelah nya pintu terbuka menampilkan sosok pria seusia sang suami dengan baju tidur nya yang panjang.
"Waalaikumssalam, loh ada apa ini rame rame kerumah saya?" Tanya ustadz zulfin yang kaget melihat satu keluarga mendatangi rumah nya pada pukul 02.00 pagi, lalu tatapan nya terpaku pada sosok tari yang menatap nya tajam sejak dia membuka pintu. Hingga mata nya bertubrukan dengan mata merah milik iblis yang merasuki raga tari, tari ah tidak sang iblis yang berada di dalam tubuh tari menyeringai menyadari sang ustadz mengetahui bahwa diri nya ada di dalam raga gadis lemah ini.
"Astagfirullah, ayo kita masuk jangan biarkan gadis itu lepas dari pegangan bapak." Ucap nya dengan suara pelan, kemudian membuka pintu dengan lebar membiarkan satu keluarga ini masuk, hingga sampai tari mulai memberontak hingga berteriak juga menjerit.
"GAK MAU! TARI GAMAU MASUK PAK! DI SANA PANAS TARI GA KUAT!"
"JANGAN PAKSA SAYA MASUK, BAJINGAN KALIAN SEMUA!!"
Kira kira seperti itulah jeritan dari tari, membuat sang ustadz turun tangan menarik tari masuk kedalam rumah nya, sang ibu hanya bisa menangis dalam pelukan istri dari ustadz zulfin yang juga turut keluar setelah di panggil oleh suami nya.
Tari di bawa ke sebuah kamar tamu milik sang ustadz, kemudia kedua kaki juga tangan nya diikat kencang dengan tali tambang, tubuh nya memberontak meminta dilepaskan dengan teriakan juga jeritan yang semakin memekakkan telinga, lantunan doa yang diserukan ustadz zulfin semakin membuat tari menggila, mata nya semakin memerah, menjerit kesakitan hingga pada pukul 02.40 tari berhenti memberontak juga jeritan itu berhenti lalu berganti dengan tawa berat khas pria.
"Hahahaha.. bodoh kalian semua, anak hawa ini mengikat kontrak dengan ku, dan kalian ingin memisahkan ku dari nya? Baiklah aku akan pergi namun dengan satu nyawa yang harus aku bawa." Ucap nya dengan tenang, tari atau iblis itu tersenyum menyeramkan, membuat semua nya terpaku hingga suara tali yang terputus membuat mereka ketakutan.
"HATI HATI SEMUA, IBLIS ITU SUDAH MENGAMBIL ALIH SELURUH TUBUH TARI!" teriak ustadz zulfin sambil terus melantunkan kalimat kalimat yang membuat sang iblis semakin mengamuk. Tubuh tari terangkat ke atas melayang di atas tempat tidur tempat dia diikat tadi, mata nya mengeluarkan darah segar hingga mengotori piyama putih yang dia pakai dari rumah, tari menyeringai menampilkan mulut nya yang sudah penuh darah hitam yang mengalir hingga menetes ke bawah tempat tidur, lidah nya memanjang seperti ular yang sedang mendesis.
Tatapan nya tertuju pada sang ibu yang menatap nya dengan duka yang mendalam, sang ibu menggelengkan kepala "Engga tari, jangan mau di ambil alih, anak ibu kuat jangan sampai kamu kalah!" Jerit sang ibu dengan pilu, sang suami yang melihat istri nya ditatap balik dengan tatapan lapar milik iblis itu membawa istri nya kebelakang tubuh nya.
"SADAR NAK! BAPAK SAMA IBU DI SINI LAWAN DIA!" Teriak ayah tari, yang membuat tari menatap kosong kerah kedua orang tua nya. Namun semua sia-sia, yang ada di hadapan mereka saat ini hanyalah iblis yang memakai raga tari. Dengan sekali hentak tari menghempaskan tubuh sang ayah hingga terbanting kearah tembok membuat sang ayah pingsan seketika, ustadz zulfin yang melihat tari semakin hilang kendali mengambil tindakan nekat dengan memegang kepala dari tari lalu dipaksa menunduk sambil dia lantunkan doa pengusiran setan.
Tari mengamuk sejadi jadi nya, sang ustadz dicekik nya lalu di angkat nya hingga kaki sang ustadz tak lagi menapak di lantai kamar. Lalu di hempas nya ke arah pintu kamar hingga pintu itu rusak, aura semakin mencekam. Sebuah keramik lampu tidur pecah dengan sendiri nya, pecahan terbesar juga paling tajam dengan cepat melayang ke arah tari yang berdiri di hadapan ibu nya.
Tari menangkap pecahan keramik tersebut dengan tangan kirinya, hingga tangan nya berdarah banyak diakibatkan oleh keramik yang menggores tangan nya. Ibu tari sudah tidak dapat berkata apa apa lagi hanya bisa menangis, menyalahkan diri nya atas apa yang sudah terjadi kenapa anak nya saat ini. Seharus nya dia lebih paham anak nya hingga hal gila seperti ini tidak akan terjadi.
Tangan kanan tari kemudian mencekik leher sang ibu, lalu mengangkat nya dengan tinggi hingga kaki sang ibu tak lagi menapak di lantai kamar, wajah sang ibu yang mulai membiru membangkitkan tawa menggelegar dari sang iblis.
"Hahahahaha ikutlah ke neraka bersama ku sebagai tumbal dari pengikatan kontrak anak mu yang serakah dengan sosok ku yang haus akan darah manusia." Ucap nya menyeringai menatap ibu tari yang sudah mulai kehilangan nafas.
"Ja... jahanam kau... Iblis..." Ucap ibu tari sambil terbata bata. Mendengar nya iblis itu semakin tertawa lebar tangan kiri nya yang memegang kramik itu dia tusukan keperut ibu tari dengan dalam. Jeritan kesakitan memenuhi kamar itu, darah terciprat dengan banyak nya ke wajah tari membuat sang iblis kegirangan lalu dengan cepat menjilat darah yang ada di sekitar wajah nya degan lidah nya yang panjang.
Tidak sampai di situ, iblis itu kemudian menarik turun keramik yang tertancap di perut ibu tari membuat garis lintang yang membelah perut ibu tari hingga menampakan usus serta darah yang mengucur keluar dengan deras. Dengan wajah datar dia menjatuhkan tubuh sekarat dari ibu tari.
Dengan nafas yang sudah di ujung juga rasa sakit yang mendera ibu tari menatap anak nya sambil menunjuk ke arah nya dengan tangan nya yang penuh darah. "Jahanam... Tunggulah.. aku di neraka... Aku akan membunuh mu.." Ucap ibu tari dengan lirih.
Di sisi lain, tari ternyata sudah kembali kesadaran nya saat iblis itu menghempaskan tubuh ibu nya. Dia melihat ibu nya menunjuk diri nya dengan tubuh yang mengalir banyak darah. Tatapan mata tari kosong, sedang menyadari apa yang terjadi hingga jerit tangis nya pecah saat tangan sang ibu terjatuh bertepatan dengan nafas sang ibu yang juga terhenti.
Tepat pada pukul 03.00 pm sang ibu tiada karena diri nya yang tamak akan keinginan dapat melihat dunia yang fana ini.
Flashback off....
Bayangan masalalu yang sempat terlintas tadi membuat liquit bening melintasi pipi tari, seandainya sat itu dia tidak tergoda dengan kata kata dapat melihat dunia, seandai nya saat itu dia menyadari hal yang ganjil, seandainya ya seandainya. Hanya itu yang bisa dia katakan dalam hati, seandainya saat itu dia tidak tergiur dengan sang pendosa, mungki dia masih akan tertawa bahagia dengan keluarga utuh nya walau dengan keterbatasan penglihatan.
—
Janggal. Semuanya begitu aneh di desa ini. Suri membubuhkan titik terakhir pada laporan yang ia ketik hari itu. Ia melangkahkan kaki menuju ruang utama, kosong. Malam itu suasana di pendopo sangat sunyi. Suri mendecak resah, padahal ia berharap ada seseorang untuk menemaninya bermain malam itu. Berlarut dalam kebosanan, terbesit ide gila dalam otaknya.
Beberapa kali Suri mengetuk pintu rumah sang tetua desa yang tengah ia tempati itu. Ia mengetuk pintu kayu itu dengan resah sebelum penduduk sekitar berseru dengan risau.
"Datuk Khalaf lagi tidak di rumah!" Serunya dengan jengkel. Suri menoleh lalu segera berlari setelah mengucapkan terimakasih. Suri menyusuri pinggiran desa untuk mencari salah satu tempat yang sering Datuk datangi. Wajah Suri berubah sumringah ketika ia berhasil menemukan Datuk Khalaf yang entah tengah melakukan apa di gudang gelap itu.
"Datuk!" Sapa Suri yang sekarang berdiri di samping pria paruh baya itu.
"Nak Suri? Sedang apa? Ada yang bisa dibantu?" Tanyanya membalas sapaan Suri.
"Datuk, Suri mau minta tolong, bisa?" Wajah Suri yang tadinya sumringah berubah menjadi muram.
"Tapi Datuk harus percaya sama Suri. Bentang itu orang jahat, Datuk." Semakin benci Suri, ketika mengingat kejadian yang telah ia alami. Bentang, teman yang ia percaya justru menjadi dalang matinya Suri dengan tragis. Bukannya ia tak tahu. Bahkan sejak berita ditangkapnya Pak Djati, Suri tahu. Ia sudah lama tahu namun ia diam.
"Nak Suri, Datuk sedang sibuk untuk omong kosong ini." Namun jawaban Datuk Khalaf hanya acuh tak acuh.
"Datuk. Bentang itu jahat, ia yang sudah bunuh Suri!" Sekarang Suri sudah tak bisa menahan emosinya. Datuk yang mendengar itu hanya tertawa.
"Suri, kalau kamu dibunuh yang sekarang berdiri di depan Datuk ini siapa?" Sarkasnya.
"Ceritanya panjang, Datuk. Intinya, Datuk harus bantu Suri untuk membinasakan Bentang," mohon Suri penuh harap.
"Nak Suri, saya sibuk. Lebih baik kamu kembali sebelum hari semakin gelap." Final Datuk yang sekarang sudah berkacak pinggang tanda ia tak mau lagi mendengar Suri. Suri berjalan gontai keluar gudang. Ia menghela napas berat, rencananya 'tuk membalas dendam gagal. Awas saja kau, Bentang.
—
Entah sudah berapa kali Rindu mencoret isi kertasnya. Membubuhkan tinta koreksi bewarna putih. Menimpanya lagi dengan aksara. Membubuhkan lagi tinta koreksi, begitu terus hingga kertas tersebut hampir bolong. Oh ayolah, ia mulai frustasi. Jiwa perfeksionis yang bersemayam dalam dirinya bangkit. Seharusnya kertas yang ia tulisi ini bisa saja selesai setengah jam lalu, tanpa embel-embel 'waduh kayane sing iki salah'.
Ia tengah membaca ulang isi kertas tersebut sebelum akhirnya suara langkah mulai terdengar. Dari ekor matanya, tertangkap beberapa rakyat desa menghampirinya.
"Cah ayu, enten paket kagem sampeyan. Dihadang Pak Prabu." Ucap salah satu warga desa itu.
"Inggih, matur nuwun infone pak." Balas Rindu.
"Nggih sami-sami cah ayu." Itu perkataan terakhir warga desa sebelum akhirnya mereka meninggalkan Rindu.
Rindu yang mendengar itu tentu saja excited. Meski begitu, ada sesuatu yang menggantung dipikirannya. 'Bagaimana bisa si pengirim tau, ia tengah berada di bumi tarung? Sedang ia tak memberitahukan itu pada siapapun'. Ia bergegas membereskan alat tulisnya kemudian pergi menuju rumah Pak Prabu.
"Punten Pak, kula ajeng nyuwun paket kagem awake kula. Menawi dados pakete enten nang Pak Prabu?" ini suara Rindu.
"Nggih cah ayu, iki yo pakete." Ucap Pak Prabu sembari memberikan selembar amplop pada Rindu.
"Matur nuwun Pak." Ucap Rindu yang kemudian hanya dibalas deheman oleh Pak Prabu.
Rindu pun membolak-balik amplop lusuh tersebut. Membuka amplopnya lalu membaca isinya. Tanpa terasa, air matanya mulai menetes. Ia menangis mengetahui surat itu adalah surat dari orangtuanya. Surat itu berisi tentang keadaan orang tuanya yang mungkin saja telah tak bernyawa. Surat tersebut berbunyi;
Cah ayu, larene kula, Rindu Isma.
Niki ibu lan bapak, nak. Bapak lan Ibu kangen sanget. Serat menika dipunkintun, kageme sampeyan. Cah ayu, kados pundi kabaripun wonten Jakarta, saras? Empun dangu nggih sampeyan mboten kondur dhateng kampung. Bapak lan Ibu kangen sanget nak. Sampeyan iku empun Tiga semester lho wonten ing Jakarta, menapa mboten kangen sami Mak lan Bapak? Kuliah wonten Jakarta sae, nak? Tresna keliatanipun sae sanget nggih dumugi kesupen kondur.
Cah ayu, Bapak lan Emak saleresipun mboten masalah sampeyan dumugi kesupen ngabari kita. Nanging Bapak lan Emak ngajeng-ajeng menawi sampeyan sae-sae mawon wonten ngrika.
Cah ayu, sa-upami serat menika mangke dumugi dhateng astane sampeyan. wonten kemungkinan Mak lan Bapak empun seda. Pinten-pinten dinten kala-wingi kita keparing anceman pembunuhan saking debt collector amargi utang-utang kita. Kita ini mboten ngajeng-ajeng sampeyan badhe melunasinipun. Nanging bilih estu Bapak lan Emak mangke sampun seda, sampun kesupen kondur dhateng kampung nggih nak. Bapak lan Emak saestu sampeyan badhe dados tiyang ageng mangke. Sehat-sehat tansah, cah ayu. Sae-sae wonten ngrika nggih nak, dongane Emak lan Bapak tansah menyertainipun sampeyan. Kita menyayanginipun sampeyan.
27-06-2022, mak lan bapak.
—
Rindu berlari-lari keluar dari pendopo. Kini malam menunjukkan masih pukul satu dini hari, namun ia begitu penasaran mengapa Tari keluar dari tempat tidur dengan penuh menggebu-gebu serta jalannya yang terburu-buru namun terpatah-patah akibat keterbatasan penglihatan. Ia berkali-kali panggil nama Tari, Tari, dan Tari, tetapi si empunya pemilik nama tetap tidak menoleh hingga membuat Rindu kewalahan sendiri.
Sampai Rindu menemukan sebuah gudang, nampak si Tari masuk ke dalam. Rindu hendak ikut memasuki kalau saja ia tidak tahu bahwa Datuk Khalaf juga berada dalam sana. Rindu penuh saksama memerhatikan apa yang dilakukan Tari bersama Datuk Khalaf. Tanpa disangkanya, seseorang entah darimana datang ia menangkap kedua kuasa Rindu lalu memaksanya masuk di gudang.
Dan di situlah, Rindu merasakan bahwa ia tidak aman. Datuk Khalaf berjalan perlahan menuju ke posisi ia memijakkan kaki. “Cah ayu, sampeyan purun kepanggih tiyang sepuhipun sampeyan, mboten?”
Rindu mulai menangis dan mengangguk terbata-bata. “Badhe, datuk. Menapa wonten caranipun?” Dan Datuk Khalaf langsung menyeret Rindu untuk berjongkok menghadap sebuah lukisan, lukisan yang kedua tangannya nampak dipaku, Rindu dipaksa membungkuk, kepalanya tetap dibuat menengadah. Dan Datuk Khalaf memulai rapalkan mantra-mantra asing.
Rindu mulai berteriak keras, dan menangis air matanya bercucuran keluar dari netra. Lalu ia berdiri menegakkan tubuh dan memposisikan diri, tanpa sadar sesuatu menyatu dengan jiwanya. Yang lebih keras, yang lebih jahat, telah kalah melawan kebaikan. Rindu dirasuki oleh iblis merah.
BERSAMBUNG.
Komentar
Posting Komentar