PETANDANG AWANGAN.

SUARGALOKA 'TAK LEBIH dari petandang awangan. Mereka merengkuh segara berbalut doa dan harap. Sebab di tanah desa pendosa ini, 'tak satupun lenggas dari cela. Dan bagi mereka-mereka, muda-mudi pemilik durja aftab, abadilah kalian di neraka, lalu mati dan jera sendirinya.


Memikirkan pada tujuan utama ihwal apakah mereka ke Desa Bumi Tarung. Membuat Wisang kembali berpikir lagi sekali-kali, sudahkah mereka menyelesaikan dengan baik tugas dan program kerja? Atau mungkin masih perlu pengoreksian. Mereka tak pernah tahu. Sebab ditiadakannya aktivitas evaluasi proker mereka. Sampai pada titik ini, di mana tepat setelah Wisang membaca buku bertajuk Derajat Bumi Tarung—ia menyadari satu hal. Atas kejanggalan-kejanggalan yang selama ini tak pernah ia pikirkan kembali, tidak jua disadari lagi, pun tiada menyelesaikan sama sekali. Semua itu mengambang di tengah air lautan tenang sedang masalah itu terapung semacam batu yang terkena arus air laut—arus air laut adalah penjelmaan dari dosa-dosa anak Suargaloka. Sedang rahasia desa itu perlahan-lahan menguak rahasia besar dan misteri yang tadinya tenggelam sedalam samudera kini mengacur keluar tanpa bisa dihentikan arus dosanya.

Wisang membanting penuh keras buku yang bahkan lebih besar dari sebuah ensiklopedia itu. Ia sungguh teramat frustasi. Kawan-kawannya bahkan tak pernah peduli terhadap lainnya dan mereka fokus mengurusi diri sendiri. Baik, Wisang tahu ia juga tak sepenuhnya sadar—bahwa ia juga lalai dalam mengawasi semua kawan apalagi dia ini anggota yang menyarankan mereka pergi ke Desa Bumi Tarung. Namun yang buat Wisang makin murka adalah, ketika Tan Sjahrir justru ketua dari Suargaloka sendiri pun melupakan anggotanya. Sang pemuda Sjahrir terlalu egois hingga tiada waktu untuk menilik aktivitas apa saja yang telah dilakukan semasa KKN mereka di luar kegiatan proker mereka. Yang ada sang ketua justru keluar tiap malam entah kemana, tidak pernah berpartisipasi dalam diskusi dan hal-hal demokrasi lain kecuali saat melaksanakan tugas kerja mereka.

Dan Wisang lagi-lagi merasa frustasi. Ia sudah tidak tahu lagi bagaimana akan mengingatkan teman-temannya. Namun dengan perlahan ingatan-ingatan terputar ulang dalam senandika kapita. Wisang ditarik untuk berkelana pada masa-masa awal mereka memijakkan kaki di Bumi Tarung. Bahwasanya ia baru saja mengerti maksud dari orang-orang berkepala hewan, kemudian peristiwa aneh di pesta rakyat, kejadian janggal semasa keliling bersama Aning, dan terakhir adalah pasal entitas asing di gudang tempo hari lalu. Suargaloka sudah tiga bulan berada di desa tersebut akan tetapi baru kali inilah, personel Suargaloka mengetahui sesungguhnya Bumi Tarung menyimpan rapat-rapat rahasia.

Dan sebelum keadaan semakin parah. Wisang mencoba membuka suara untuk meminta bala bantuan. Lagipula mereka masihlah dalam satu tim, meskipun bukanlah soal proker dan berada pada tugas kelompok. "Guys, gua liat Tari ngelakuin ritual aneh di gudang sama Datuk. Kita harus ngelakuin sesuatu, sebelum terjadi hal yang lebih buruk lagi. Gua juga liat Rindu di sana, dia kesurupan. Kita gak bisa diem aja begini," ujar Wisang, berusaha meminta bantuan pada kawan-kawannya.

"BENERAN?" Bentang terkejut bukan main. 

"YA IYA LAH, MASA GUA BERCANDA?" Wisang tak mengerti dengan jalan pikir dengan Bentang yang meragukannnya. 

"Lah, KENAPA GAK LANGSUNG LO TOLONGIN AJIR?!" tanya Aning.

"Woi, lu pikir gua bisa nolongin Tari sama Rindu sendirian? Otak lu dimana?" jawab Wisang yang mulai kesal dengan Aning.

"Ah, gimana sih lo? Salah satu dulu kek." 

"DI SANA ADA DATUK, GUA BISA MATI KALAU SENDIRIAN!" Wisang menyuarakan ketakutannya. 

"Emangnya kamu mau kita ngapain?" Chairil bertanya, pertanyaanya terdengar sedikit aneh bagi Wisang. Pikir Wisang, mengapa ia masih bertanya disaat ada dua temannya yang sedang membutuhkan pertolongan mereka. 

"Ya bantu Tari sama Rindu, masa lu mau diem aja?"

"Emang tahu gimana caranya?" 

"Ya gak tau, kalau gua tau juga gak bakal gua ribet minta tolong ke kalian begini. Makanya, ayo bantuin gua." Wisang masih berusaha mengajak mereka untuk membantunya. 

"Di gudang mana deh? Gue gak pernah nemu gudang?" tanya Aning.

"Di belakang rumah Pak Prabu." 

"Lu kok bisa tahu ada gubuk, Sang?" Kini giliran Bentang yang heran, ia pikir bagaimana bisa Wisang seolah tau tentang semua hal yang ada di desa ini?

"Lu gak tau waktu itu, gua udah cerita sama anak anak kalau gua ketemu gudang itu, gua juga nemu buku." 

"Nih, Wisang kok dapet aja dah jalan ke tempat sesat haha, kayak bisa-bisanya anjir? Lu abis ngapain aja, Sang?" Ali mulai mencurigai Wisang. 

"Lah, Li? bukannya waktu itu lu ada pas gua cerita soal buku itu? Gua lagi jogging, terus liat datuk keluar dari gudang itu." Wisang berusaha membela dirinya yang merasa dipojokkan oleh pertanyaan Ali. 

"Tapi kali ini aneh Sang, lu kayak nemu aja dah yang engga-engga. Malah kayak seakan-akan lu yang jadi dalangnya, bimbing kita ke jalan sesat haha ..." Ali masih tetap pada opininya yang menganggap Wisang ada lah dalang dari semua ini. 

"Lagian lo juga ngapain sih ke sana?" Aning tak habis pikir. 

"Abis baca buku itu gua sadar ada yang aneh, dan gua juga sadar kalau bakal ada hal buruk yang nimpa kita semua. Maka dari itu, gua inisiatif nyari Tari sama Rindu. Gua keinget gudang itu, dan gua pikir emang ada hubungannya sama ilangnya Tari dan Rindu. Ternyata emang bener," jelas Wisang, harap-harap ia dapat meredakan rasa curiga semua orang padanya.

"Saran gue, lo gak usah macem-macem lagi deh. Keadaan jadi gak tenang. Masih bisa bangun tidur aja udah syukur banget," ujar Aning. 

"Terus lu mau kita diem aja sampe Tari sama Rindu mati?" 

"Bentar-Bentar, buku apa? Isinya apa?" Bentang tak tahu-menahu perihal gudang dan buku yang Wisang temukan. 

"Panjang kalau gua ceritain sekarang. Intinya desa ini gak bener, dan kita harus cepet cepet tolongin Rindu sama Tari," ujar Wisang dan langsung melangkahkan kakinya menuju gudang tempat dimana Rindu dan Tari berada.

Jalanan desa sepi, hanya suara rintik hujan yang terdengar, pun hanya ia yang tengah berlari menembus derasnya hujan darah. Kemana perginya semua penduduk desa? Apakah mereka tidak mengetahui perihal kekecauan yang tengah berlangsung saat ini? Persetan dengan warga desa, persetan dengan Datuk Khalaf yang mungkin akan membunuhnya nanti, persetan dengan desa terkutuk ini. Ia akan menyelamatkan teman-temannya, bagaimanapun caranya. Kakinya terus melangkah dibawah guyuran hujan darah, dalam hatinya sudah memaki-maki Datuk Khalaf dan teman-temannya. Ntah bagaimana keadaan Rindu dan Tari sekarang. Sisa-sisa kesadaran dan rasa kemanusiaan Wisang menuntutnya untuk semakin mepercepat langkahnya, besar harapan Wisang datang tepat waktu agar dua temannya itu selamat.


Tahun 2019, di bawah langit Ibu Kota, Jakarta. Perempuan bernama lengkap Aning Wengi itu berdiri menghadap dua jiwa yang tengah berseri dengan jabat tangan hangat di bawah wajahnya. Aning mengepalkan tangannya. Rasa iri, marah, dan kesal terus berkecamuk dalam benaknya. Ia menghela napasnya panjang lalu melenggang pergi setelah menyambar karyanya dengan kasar. 

Aning membanting lukisannya hingga menghantam aspal. Tungkai jenjangnya bergerak menginjak-injak coretan tinta yang terlihat bak sampah di mata orang-orang. Matanya memanas, mengingat bagaimana Chairil selalu sukses mencuri perhatian orang-orang dan terus mendapat penghargaan di tempat yang sama dengan Aning berjuang. Mengapa dirinya tak pernah memiliki kesempatan untuk memamerkan karyanya sedangkan Chairil selalu mendapat kesempatan itu? Memangnya apa bedanya? 

Chairil anjing! Bangsat! Karya lo nggak ada apa-apanya dibanding karya gue!

Ia turut bersimpuh di samping lukisan malangnya yang kini sudah hancur, kotor, dan tak layak barang dibuang sekali pun. Jemari terampilnya bergerak mengusap air matanya. Rasa sesak seolah memenuhi paru-parunya hingga hampir meledak. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menangis dan menerima fakta bahwa dunia lebih berpihak pada lelaki berbakat dengan nama lengkap Chairil Affandi dibanding dirinya, seniman amatir. Ia tahu, ia sangat tahu bahwa ibunya tak akan diam. Kalimat pedas pasti akan beliau tujukan kepadanya. Siap-siap saja, Aning. 

"Apa untungnya kalau lukisanmu itu ada di pameran? Tujuanmu melukis itu cuma untuk pamerkah?" tanya sang Ibunda tanpa mau menatap putri semata wayangnya. 

Aning yang masih terisak pun enggan untuk menjawab, sebab tak ada gunanya ia menyanggah atau menyangkal kalimat sang Ibunda.

"Lagi pula memang benar kok, lukisan Chairil memang lebih bagus ketimbang buatanmu itu. Ubah aliran seni-mu, Aning."

Chairil lagi, Chairil lagi.

"Bunda tahu, semua lukisanmu itu bermakna, tapi tidak semua orang paham makna dari coretanmu itu, Ning," imbuhnya. 

"Bun ..." Ia menjeda kalimatnya, "Aning ya Aning. Aning nggak mau jadi apa yang orang-orang suka, Aning mau berdiri sebagai Aning Wengi, bukan Chairil Affandi atau siapa pun itu." Tak kuasa menahan emosinya, dinding pertahanannya runtuh. Ia menatap dwimanik sang Ibunda dengan air mata di pipinya. 

Ibunya tersenyum, "Kamu nggak mau jadi Chairil tapi kamu mau semua yang dia dapat? Penghargaan, perhatian, jabat tangan, dan karya yang diterima, itu semua yang kamu mau, 'kan?" tanyanya, "ayo! Tunjukin ke Bunda kalau kamu bisa mendapatkan semua itu dengan nama Aning Wengi, bukan Chairil Affandi atau siapa pun itu. Tapi kalau kamu gagal, Bunda anggap kamu itu pecundang karena nggak mampu menepati janji."


Iris berjalan keluar kamar sembari membawa beberapa barang yang ingin ia simpan di dalam tas miliknya. Namun ketika perempuan itu membuka tasnya, malah merasa sedikit heran karena ada beberapa barang miliknya yang berubah posisi. Dengan cepat Iris memeriksa barangnya satu persatu, takut jika 'barang penting' miliknya terlihat oleh teman-temannya yang lain. 

Perempuan berparas cantik itu langsung terdiam ketika melihat satu foto menghilang dari tempatnya. 'Barang penting' yang ia maksud pun terlihat sedikit lecak di bagian pinggirannya. Iris langsung merapihkan barang-barangnya dan berjalan keluar pendopo. Ia harus mencarinya sekarang juga. 

"Bentang, kamu ada lihat Chairil pergi kemana?" tanya Iris ketika melihat Bentang sedang santai di halaman pendopo. Pemuda yang ditanya hanya menggelengkan kepala lalu mengangkat kedua bahunya. "Enggak lihat dia dari tadi, lagi sama Wisang kali."

Iris berjalan ke dalam pendopo lagi lalu memeriksa ruangan satu persatu, siapa tahu ada Chairil di dalamnya. Namun lima menit kemudian Iris mengacak-ngacak rambutnya kasar, ia tidak berhasil menemukan Chairil disini. "Bangsat. Chairil, dimana kamu?" gumamnya pelan, Iris merasa sangat khawatir sekarang. 

Dengan cepat Iris berlari keluar untuk mencari keberadaan Chairil. Tetapi baru saja ia berlari sekitar dua menit, Iris langsung menghentikan gerak kakinya saat melihat Risjaf berdiri di hadapannya. 

"Mau keman— ...."

"Mana Chairil?"

Belum sempat Risjaf bertanya, Iris langsung memotong pembicaraannya. Membuat pemuda itu langsung tertawa sinis lalu menatap dengan tatapan remeh kearah Iris. "Mana gue tahu kemana Chairil. Lo sebagai teman baiknya kok gak tahu dia kemana?"

Iris maju satu langkah dengan rasa amarah dan dendam yang mendalam. "Aku peringatkan kamu, Risjaf. Jangan pernah kamu berani sentuh Chairil."

Risjaf terkekeh pelan, pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, seolah menganggap yang diucapkan Iris adalah sebuah lelucon. "Oh, gue kira lo udah buang Chairil kayak lo buang gue."

Iris merasa tiba-tiba kepalanya berdengung. Suara bisik itu datang kembali, suara yang menyuruh untuk membunuh tuannya. "Aku nggak pernah ada niatan buat buang kamu. Kamu yang bunuh aku, Risjaf!" teriak Iris. 

"Itu hukuman yang pantas untuk penghianat seperti kamu," sahut Risjaf sembari berjalan mendekat ke arah Iris. 

Risjaf memandangi Iris mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki, pemuda itu berdecak kagum. "Inget nggak dulu lo nangis-nangis minta ampun pas mau gue eksekusi, sekarang malah sok-sokan mau lindungin Chairil. Emang bisa?" 

Iris menatap manik mata milik Risjaf lalu tersenyum penuh keremehan. "Bisa. Yang enggak bisa itu kamu ngalahin Chairil kan? Chairil selalu menang, apalagi soal mengambil hati orang lain, termasuk aku. Kamu enggak akan pernah bisa bikin aku senang. Camkan itu, Risjaf!"

Amarah Risjaf langsung memuncak tatkala Iris mengeluarkan ultimatum seperti itu. "ELO YANG NGGAK PERNAH HARGAIN PERASAAN GUE, RIS! SESEDIH APA GUE PAS TAHU LO LEBIH DEKET KE CHAIRIL DIBANDING GUE AJA LO NGGAK TAHU KAN?"

Dejavu.

Iris merasa pernah ada di situasi ini sebelumnya. Ya, memang pernah. Hanya saja dulu Iris memohon ampun kepada Risjaf sembari menangis. "Apa perlu gue bunuh kalian berdua?" Iris langsung menahan napas beberapa detik setelah Risjaf mengucapkan pernyataan seperti itu. 

"Lo lemah Iris, lo nggak akan bisa lindungin Chairil. Chairil bakalan mati di tangan gue, liat aja tanggal mainnya. Gue bakalan habisin Chairil lebih dulu, baru nanti gue habisin lo ... untuk yang kedua kalinya."

"Kamu yang aku bunuh lebih dulu, jauh sebelum kamu nyentuh Chairil," sahut Iris dengan nada yang menahan amarah. Telapak tangan Iris terkepal kuat, menahan untuk tidak membunuh Risjaf sekarang juga. Ditambah suara-suara di kepalanya semakin berisik. 

"Silahkan. Gue juga nggak sabar mau lepasin lagi kuku-kuku cantik milik teman gue yang tersayang ini," kata Risjaf sembari mengelus pelan rambut hitam Iris. 

Tidak mau bisikan-bisikan setan itu semakin mengambil alih dirinya. Lantas Iris langsung berbalik badan dan pergi meninggalkan Risjaf sendirian. Iris akan menjaga Chairil mulai sekarang. Sembari memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa membalaskan dendam sakit hati dan fisiknya di masa lalu.


Sore hari setelahnya menjelang petang, terdapat sepasang pemuda dan pemudi di depan pendopo yang sunyi, di tengah keheningan itu akhirnya sang pemuda melontarkan kata yang membuat pemudi terkejut. "Gue tahu kuas ajaib yang dikasih sama Datuk ke lo," ujar sang pemuda.

"Kuas apaan? Gue gak ada dapat kuas apa-apa tuh," balas sang pemudi berusaha tidak panik.

"Gak usah pura-pura gak tau Aning, gue lihat saat Datuk ngasih itu kuas, lihat saat lo gambar rusa dan kupu-kupu juga," ujar sang pemuda dengan sedikit manaikkan intonasi bicaranya.

"Sssst- jangan kencang-kencang, kalau yang lain dengar, bahaya," ujar sang pemudi, Aning sambil menyentil kepala si pemuda.

"Oke, oke tenang, gue mau buat penawaran sama lo nih Ning, gimana?" Pertanyaan sang pemuda membuat Aning penasaran.

"Penawaran apa?" tanya Aning penasaran.

"Gue tahu lo nggak suka kan lihat Chairil? Setelah gue lihat yang lo gambar dengan kuas itu terjadi kenyataan, gimana kalau lo gambar dia? Buat dia mati dengan gambar hasil dari kuas lo itu?" 

Kata-kata dari pemuda itu membuat Aning terdiam, seringai kecil muncul dari bibir sang pemuda.

"Gak usah banyak mikir, Ning, kalau lo bisa lakuin itu kan enak jadi gak ada saingan lo lagi," ujar pemuda itu kembali.

"Gak, gak, gue gak bisa! Yang benar aja lo, Risjaf!" ujar Aning kepada sang pemuda, Risjaf.

"Itu udah bener, Aning! Gue udah muak lihat dia ada di antara kita, berlagak paling tahu semuanya! Dia udah rebut apa yang seharusnya jadi milik kita, Aning! Orang seperti itu harus dihilangkan, benar?" 

Kembali, kata-kata Risjaf membuat Aning termenung.

"Lo benar, Jep, dia udah rebut apa yang harusnya jadi milik kita, gue bakal bunuh dia dengan tangan gue sendiri pakai kuas ajaib ini!" ujar Aning dengan penekanan yang kuat, terlihat dendam yang sangat kuat dari dalam tatapan matanya.

"Bagus, gitu dong dari tadi, semangat menggambarnya Aning, buat dia tersiksa dengan hasil gambarmu," ujar Risjaf dengan seringainya. 

Risjaf menupuk bahu Aning dan pergi meninggalkannya sendirian di luar pendopo.

"Thanks Aning, setidaknya lo bantu buat ngilangin orang gak guna kek dia," ujar Risjaf dengan pelan, kemudian menghilang dibalik pintu masuk ke dalam pendopo.


Masih di bawah kawanan rintik gerimis darah, Wisang semakin ketakutan, wanita disana—yang nampak rambutnya acak-acakan dan bau busuk menyeruak—itu adalah iblis merah, yang kini mendiami raga Rindu. Wisang terus berlari sempoyongan mendekati gudang di belakang rumah Pak Prabu, dengan sedikit tawa melengking terdengar sampai ke kaki gunung. Wisang pun menggelengkan kepala, gigi bawah dan atas beradu, mengigit-gigit udara dan menelan rasa takut. Wisang menyeret awak sendiri masuk ke dalam gudang dan temukan di sana Rindu masih melenggak-lenggok tampilkan tariannya. Kini pusat cahaya bertukar peran, netra Wisang berfokus pada Rindu yang tengah dirasuki iblis merah. Sekeliling dilihatnya kejadian mampu tergambar di kepala.

“Anak manis ... boleh aku meminjam tubuhmu sebentar? HIHIHIHIHIHI,” suara Rindu menguar keras dengan serak, iblis merah mengambil alih dan Rindu tengah bertaruh mempertahankan raganya.

Sedang Tari mulai menangis tersedu-sedu dan suaranya kian mencicit. Seolah ia baru saja nampak Fajar Selatan memasuki ranah gudang pula. Dan Rindu sendiri, mulai mengidung Jawa. Mengalunkan lagu-lagu lawas seolah tengah menyindir anak Suargaloka yang baru saja melakukan dosa-dosa atas hanyutnya dalam eufori duniawi.

Muda-mudi Suargaloka mulai masuk kemudian menyalahkan Wisang yang terdiam melihat posisi Rindu serta Tari. Chairil yang memulai lebih dulu, “Kenapa nggak bilang dari kemarin-kemarin, Sang? Kalau udah kayak gini, gimana kita bisa nyelesaiin masalah.”

“Gue udah nggak tahu mau ngapain lagi, kalau gue tahu mungkin kita bisa nyelametin Rindu dan Tari.” Wisang mengusap kasar wajah dan netranya berkedip-kedip tanda gugup.

Bentang menatap aneh pada lagak Wisang. “Lu dari awal tahu desa ini emang nggak bener, ye? Kayaknya lu tahu semua ya, Sang?”

Wisang kembali tersulut emosi saat Bentang justru menyalakan api pikiran. “Lu tanya gua? LU TANYA ANAK ANAK YANG LAIN, APA YANG MEREKA SEMUA LAKUIN SELAMA DI SINI! SEMUA ITU ADA SEBAB DAN AKIBATNYA.”

Bentang mendorong bahu Wisang ke belakang dengan dua hasta. “GUA NANYA LU KARENA DARI AWAL LU YANG BILANG DESA INI ANEH. SEDANGKAN YANG LAIN BUNGKAM SEAKAN-AKAN NGGAK TERJADI APA-APA.”

Ali menggeleng kepala pelan lalu dengan tenang menyambar, “Gue tahu Desa Bumi Tarung aneh sejak awal. Dan Tari jua Rindu gak akan kena kutukan itu kalau kita nggak ke sini.”

Wisang menatap Chairil dan juga Tari dengan tatapan yang sulit diartikan. “Mereka bungkam karena mereka berbuat salah, mereka ngelakuin kesalahan, MEREKA BERBUAT YANG NGGAK SEHARUSNYA! Kalian pikir aja, mana ada maling mau ngaku?”

Bentang terkikik sebentar. “Terus lu, apa lu nggak berbuat salah juga?”

Wisang menatap Bentang tajam. “Gua? Apa salah gua? Selama di sini gua menjalankan semuanya dengan baik-baik aja.” Wisang pun mulai tertawa remeh. “Harusnya lu semua tanya sama ketua kalian yang suka ngilang pas malem itu, kira-kira dia ngelakuin apa?”

Tan terdiam dan menatap Wisang penuh dendam. Ia tidak berkutik namun dalam hati betul-betul menyumpah-serapahi jiwa raga Wisang. Tapi ia bergumam kecil yang masih bisa didengar Wisang bahananya. “Jangan ikut campur.”

“Jangan ikut campur? Serius lu, Tan? Kita di sini KKN sama-sama, lu juga ketua di sini, jadi harusnya lu lebih bisa koordinir kelompok kita bukan malah kabur tiap makan malam bareng.”

Risjaf menatap Wisang tak suka seolah Risjaf ingin membela sang ketua. “Lu tuh nggak tahu apa-apa.”

Wisang berbalik menatap Risjaf dingin. “Gua emang nggak tahu apa-apa tapi setidaknya gua nggak ngelakuin kesalahan.”

Namun Bentang tetap tak gentar. Dadanya bergemuruh dan ia mulai maju dekati Wisang. “Salah lu? Ada, Sang!” Bentang dorong kembali pundak Wisang. “KALAU BUKAN KARENA LU, KITA NGGAK AKAN KKN DI SINI!”

Yang lain mulai kepalang panik, semuanya bertatapan seolah memikirkan kejadian lampau. Namun Wisang, tak terima jika ia disalahkan. “LU PIKIR SEBELUM GUA NYARANIN KITA KKN DI SINI, GUA TAHU KALAU DESA INI ANEH?”

Ali menyahut protes sedikit. “Semua ini nggak akan terjadi kalau lu nggak menyesatkan kita ke desa ghaib ini.”

Chairil menyambar penuh emosi. “Aku udah peringatin tapi kalian justru nggak pernah mendengarkan.”

Bentang mendengus kasar. “TAPI HAMPIR SETIAP KEJADIAN ANEH, LU YANG TAHU DULUAN KAN?”

Wisang kembali mengangkat beban berat. “YA KARENA GUA PERDULI SAMA LINGKUNGAN SEKITAR. GUA TANYA, LU APA PERNAH SEKALI AJA MIKIRIN SEMUA YANG KITA ALAMIN DI SINI? LU TUH NGGAK PERNAH ADA AKSINYA, TANG. YANG LAIN JUGA SAMA SEMUANYA.”

Iris tersenyum tipis. Kemudian suaranya berucap lantang seolah membenarkan perkataan Wisang. “SUARGALOKA KUMPULAN PEMBOHONG.”

Tepat pada saat itu raga Rindu ambruk sudah. Namun demikian Rindu tetap memaksa bangun lalu berjalan tertatih ke arah muda-mudi Suargaloka, yang tubuhnya mulai ditopang oleh Iris. Si puan Delima menoleh ke arah yang lain. “Kalian harus tolongin Tari juga.”

Bentang menyahut. “Rahasia di desa ini terlalu banyak dan kalian mau percaya yang mana dulu?”

“Yang pasti Wisang tahu rahasianya nggak sih? Kan pernah ke gudang sebelum ini?” Chairil kembali memanaskan api yang semula padam.

Bentang ketawa. “Kata gua juga apa? Wisang ini kayak si paling tahu. Rahasia apa sih? Rahasia harus dibongkar kan? Biar yang lain nggak kena getahnya juga.”

Suri menggeleng cepat. “Nggak. Rahasia tidak boleh terungkap. Bukannya semakin banyak yang tahu, semakin bahaya?”

Aning membalas tegas. “Rahasia harus terungkap. Biar masalahnya selesai.”

Terdengar suara batuk-batuk dari Rindu yang kondisinya semakin melemah, ia sempatkan membalas, “Kalau hujannya berhenti, berarti kita masih bisa selamat.”

Wisang mengangguk. “Kalian harus bantu gua, kita sahabat kan? Dengan kerjasama matahin kutukan, pasti bisa selamatkan Tari.”

Chairil menarik kerah baju Wisang dan bahananya keluar. “KOMPLOTAN PERSAHABATAN APA? TAHI ANJING! ISINYA ORANG MUNAFIK SEMUA.”

Iris mendorong Chairil untuk menjauh dari Wisang. “Ril, tenang, Ril. Jangan emosi terus.” dan Chairil langsung mundur sembari menghela napas lelah.

Kemudian Wisang bergumam skeptis. Tiada sesiapapun mendengarnya. “Kalian semua pantas pergi ke neraka!” lalu ia berjalan mendekati posisi Tari yang masih disekap Datuk Khalaf.


Wahai kasih, aku akan melepasmu
entah ke lautan lepas
entah ke jurang putus asa
atau mungkin juga pilihanmu jatuh pada bukit nestapa

Tetapi kasih,
izinkan aku mencium setitik air di ujung sepatumu, menyekanya begitu
biarkan bekas bibirku jadi prasasti penghormatan
sebab aku belum mampu memberikan mahkota berkilat

Di dunia yang tak dia inginkan, dari aku lentera yang mencintai sendirian.



Datuk Khalaf berjalan tertatih-tatih membawa koran yang baru saja mengabarkan kematian istrinya. Ia berbincang dengan suara sesenggukan khas orang sehabis menangis. “Gawat! Desane kita udah tercemar ke media.”

“Waduh, mampus kita.”
“Gimana, nih, Datuk?”
“Nek misal desa kita digusur piye?”
“Wis wah, aku arek pindah kota.”
“Bumi Tarung diserang netizen.”

Bisik-bisik berisik para rakyat warga desa Bumi Tarung begitu gelisah dan merana akibat tahu Desa Bumi Tarung telah terdengar di kalangan masyarakat Semarang Barat jua pemerintah kota mereka. Akibat takut desa Bumi Tarung terancam akan digusur lantaran membangun pemukiman penduduk di hutan belantara, rakyatnya memutuskan pindah ke pusat kota bahkan ada yang memutuskan untuk pindah ke desa sebelah. Namun meski begitu, Datuk Khalaf tak pernah merasa ingin meninggalkan desa yang telah lama ditinggalinya. Maka kemudian, ialah mencalonkan diri menjadi kepala desa. Membangun suasana desa yang asri, tentram, dan makmur. Desa Bumi Tarung berderajat bagus sampai kegundahan tentang penggusuran itu datang lagi.

Di akhir, Datuk Khalaf mendengar saran musyawarah daripada rakyat dan untuk rakyat. Datuk Khalaf mau tak mau bersekutu dengan iblis merah. Yang janji ia mengabdi akan melindungi Desa Bumi Tarung. Untuk sesaat, Bumi Tarung dilindungi dengan cara desanya diasingkan. Tak akan pernah ada di peta canggih dalam gawai maupun orang-orang yang pernah mendengar seolah lupa akan eksistensinya. Sebab Datuk Khalaf tiap hari berkorban memberi satu gadis perawan yang diambil darahnya untuk dijadikan tumbal persembahan bagi Iblis Merah. Banyaknya anak-anak perempuan tadi memiliki profesi sebagai penari di desa mereka, sebab kian lama diburu, penari di desa itu berkurang. Namun tiada siapapun mau berani untuk menghalangi ritual tersebut beroperasi, sebab begitulah cara mereka bertahan hidup di desa yang telah terancam akan dilenyapkan.


Sosok tersebut mulai menjadi-jadi, Tari membalikkan badan, dengan sekuat tenaga berpegang pada tumpuan tanah dan ia bangkit kemudian mempercepat langkah menjauhi Datuk Khalaf. Batinnya terus meneriaki memanggil-manggil yang tersayang: AYAH, AYAH, AYAH, untuk meminta pertolongan. Lalu kala Tari hendak menyeka darah di pelipis, Tari menyadari bahwa satu jarinya sudah tidak ada, satu telunjuk hilang entah kemana. Kian memecah tangisnya, ia kehilangan akal sehat, Tari tidak tahu harus bagaimana. Namun bahanaya berteriak.

"BENING OETARI BERIKAN TUBUH INI KEPADAKU!"

Berakhirlah Tari tak bisa bernapas, lehernya serasa dicekik. Tari mencuri udara yang masih bisa dipaksakan hirup. Lalu memuntahkan darah, wajahnya kini tak kalah berantakan dengan darah di sekitar bibirnya dan warna netra berubah kuning serupa serigala. "Kau mau pergi kemana lagi anak cantik? Tubuhmu sudah jadi milikku?" ucapnya di depan anak Suargaloka yang berjarak lebih dari sesentipun.

Iblis itu telah sepenuhnya mengambil alih raga Tari, setelah sebelumnya mengambil alih raga Rindu. Wisang tengah memutar otak untuk menemukan cara agar ritual ini gagal. Hingga netranya menangkap lingkaran yang membelenggu raga Tari. Di setiap sudutnya terdapat lilin dan batu batu bergambar simbol-simbol asing yang telah ditetesi darah.

Hingga Wisang akhirnya menemukan cara, yakni mengeluarkan raga Tari dari dalam lingkaran tersebut. Pikirnya, ritual tersebut akan gagal saat Tari tidak lagi berada di dalam belenggu lingkaran tersebut, karena Wisang berasumsi bahwa lingkaran tersebut adalah representasi dari zona kuasa sang Iblis. Maka jika raga Tari keluar dari lingkaran tersebut, ritual akan gagal.

Ia terus berpikir, bagaimana cara mengeluarkan raga Tari dari sana, hingga ia menemukan sebuah ember kayu yang berisi air, lalu dengan segera menyiram lilin-lilin dan batu batu tersebut dengan air. Setelahnya ia dengan segera menghampiri raga Tari dan berusaha menariknya keluar dari dalam lingkaran. Wisang berusaha sangat keras, karena raga Tari yang didiami Iblis itu tengah meronta-ronta, menolak keluar dari lingkaran. 

Aksi Wisang tentunya mengundang amarah sang Iblis, dihempaskan tubuh Wisang oleh Iblis tersebut hingga membentur tembok gudang. Tak sampai disitu, sebilah pisau pun turut melayang ke arahnya, hingga akhirnya menancap pada punggung tangan kirinya. "Shit!" Wisang memekik saat rasa sakit mulai menjalar. 

 "WISANG!!!" jerit beberapa kawannya. Ali mulai tergerak untuk membantunya. Ia mendekat, berusaha menarik raga Tari keluar dari dalam lingkaran. Aksinya tentu memancing Risjaf untuk ikut membantu, hingga akhirnya mereka satu-persatu mulai menarik raga Tari. 

Tangan kanan Wisang berusaha meraih gagang pisau yang menancap di punggung tangannya, cukup sulit karena posisi tubuhnya yang tengkurap. "Fuck you and this cursed village!" Wisang menjerit seiring dengan tercabutnya pisau tersebut. Dengan sisa-sisa kesadaran yang tersisa, Wisang bangkit dan melangkahkan kakinya mendekat pada teman-temannya yang masih berusaha untuk menyeret raga Tari. 

Wisang meraih kaki Tari, bersama kawan-kawan lainnya ia menarik raga Tari keluar dari lingkaran tersebut hingga akhirnya usaha mereka berhasil, raga Tari telah keluar dari dalam belenggu lingkaran Iblis itu.


ㅤ ㅤ PENGHIDUPAN
ㅤ ㅤ Chairil Anwar

Lautan maha dalam
mukul dentur selama
nguji tenaga pematang kita

mukul dentur selama
hingga hancur remuk redam
Kurnia Bahagia
kecil setumpuk
sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk.

ㅤ ㅤㅤ ㅤㅤ Desember, 1942


Bagaimana Hujan di rumahmu? Apakah mereka sederas dosa-dosa yang kau ciptakan? Atau mereka seringan kapas yang selalu terisi penuh di dalam bantal tidurmu. Apapun ukurannya, haraplah kira-kira pada tiap perbuatanmu. Telisik lebih dahulu sampul luarnya. Lalu putuskan pada apa-apa yang telah terencana, jangan sampai terlanjur terenggut, menyesal kemudian engkau nanti lara. Tari, Tari, Tari, Bening Oetari. Bagaimana hujan di rumahmu? Sederas air mata dan jua kesadaran yang makin parah?





BERSAMBUNG.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEMATIAN PENYAIR.

PROLOG: SERIBU DURJA AFTAB, SUARGALOKA.

BATU MATI PUN HIDUP: PART 2.