PERJUMPAAN JIWA.
PERJAMUAN MALAPETAKA sebentar lagi akan dimulai. Angkat cawanmu tuan dan nona, mari perhatikan dengan saksama apa yang akan terjadi pada pemuda-pemudi pemilik panggung hipokrit. Siapa yang akan bertahan dan siapa yang akan gugur di medan perang batin.
—
Tan berlari kecil keluar dari ruang kelas menuju kantin karena perutnya sejak tadi meronta minta di isi dengan semangkok mie ayam dan segelas teh hangat. Namun dia menghentikan langkahnya sejenak saat melihat poster yang ada di mading. Terlihat disana ada tulisan pengumuman perihal KKN tahun ini yang harus terjun langsung ke desa mana saja yang diinginkan.
Tan berubah pikiran. Sebelum pergi ke kantin dia harus segera pergi menemui Wisang terlebih dahulu. Sebab dia tidak mau keduluan oleh orang lain yang nanti akan menepati posisinya, karena itu dia bergegas mencari keberadaan Wisang.
"WISANG!!" Teriak Tan.
"Apa sih bikin kaget aja!"
Rupanya Wisang memang benar-benar kaget atas kedatangan Tan yang tiba-tiba.
"Ada apaan?" tanya Wisang.
"Lu taukan tentang pengumuman KKN yang ada di mading itu? Gue pengen satu kelompok sama anak Suargaloka," ungkapnya.
"Iya, gue tau. Tapi apa lu kaga bosen ketemunya gue dan anak Suargaloka lagi? Gue aja bosen ngeliat lu."
"Gue kaga merasa bosen. Pokoknya gue mau satu kelompok sama Suargaloka. Enggak mau ke kelompok lain," gumam Tan kesal.
Wisang akhirnya tertawa melihat raut wajah Tan yang terlihat merajuk. "Udah jangan ngambek entar gue data nama lu," ujar Wisang memberi penegasan agar Tan yakin.
"OK, thank you, Wisang." ujar Tan yang kelihatannya sangat senang. "Ngomong-ngomong, lu tau nggak desa mana yang kira-kira cocok buat jadi tempat KKN?" tanyanya kemudian.
"Untuk tempatnya mah gampang. Nanti gue akan coba cari beberapa rekomendasi desa yang cocok buat tempat KKN," jawab Wisang.
"OK." Tan mengangguk mengerti, kemudian dia menepuk bahu Wisang. "Sekali lagi thank you, Wisang. Kalau gitu gue ke kantin dulu ya, laper banget gue nih."
"Iya. Sama-sama, bro."
Setelah selesai berbicara dengan Wisang, Tan bergegas pergi ke kantin untuk membeli makanan. Meninggalkan Wisang sendirian yang masih anteng duduk di bangku taman kampus untuk mengerjakan tugas.
—
Sesuai dengan apa yang disampaikan Tan padanya, Tan memintanya untuk memberikan usulan mengenai tempat mereka melangsungkan kegiatan KKN, dan juga membantu mengurus keberangkatan kelompoknya. Sore hari itu, Wisang melangkahkan kakinya menuju ruangan UKM MAPALA. Senyum ramah terpatri di wajahnya, ia pun sesekali membalas sapaan yang terlontar untuknya. Tujuannya kali ini adalah meminta pada Ketua UKM MAPALA, barangkali ia sudi untuk menunda jadwal liburan mereka.
"Eh, Sang, kenapa?" adalah sapaan sekaligus pertanyaan pertama yang Wisang dapat setelah memasuki ruangan tersebut.
Alih alih merespon, Wisang lebih memilih terus berjalan masuk ke dalam, mengabaikan pertanyaan tersebut.
Manik hitam legamnya menelusuri seisi ruangan tersebut, mengamati siapa saja yang ada. Ikhsan Divisi Konservasi, Reinhard Divisi Gunung Hutan, dan Fahmi Divisi Arung Jeram. Belum, Wisang belum menemukan orang yang ia cari.
Tangannya bertumpu pada meja yang ada di tengah ruangan, "Haidar mana?" tanyanya.
Yang merasa disebut pun berusaha menunjukkan eksistensinya, mendongakkan kepala hingga menyembul dari batas antar bilik komputer yang ada di ruangan tersebut. Itu Haidar, Ketua Umum UKM MAPALA.
"Di sini, ada apa?"
"I just wanna ask about our trip, so how is it?"
Haidar berdiri, melangkahkan kakinya keluar dari bilik, menghampiri lingkaran kecil berisi 4 orang yang otomatis terbentuk.
"Oh ya, aku juga mau ngomongin masalah ini sama kalian. Dikarenakan kita semua mulai sibuk sama urusan masing-masing, aku memutuskan buat menunda trip kita," ujar Haidar.
Ujaran Haidar membuat Wisang sedikit lega, ia jadi tak perlu susah susah meminta Haidar untuk menunda jadwal liburan mereka.
"Lah kok gak jadi?" terselip nada tak terima dari Ikhsan.
"Bukan gak jadi, tapi ditunda," sahut Wisang.
"Eh, kita gak jadi berangkat tuh gara-gara lo KKN!" sungut Ikhsan
Bagai bensin yang tersulut api, "Shut your fucking mouth, you stupid hoe. Lu kira yang mau berangkat KKN gua doang? Kaga! Itu si Reinhard juga." Wisang tersulut amarahnya, tak terima ia disebut sebagai alasan gagalnya perjalanan liburan mereka.
Reinhard menganggukkan kepalanya, "Betul lah itu, aku pun mau pergi." timpal Reinhard dengan aksen medannya yang khas.
"Makanya, cari kelompok biar cepet berangkat. There's no one wanna be in the same group as you. Am I right?" ejek Wisang lengkap dengan senyum meremehkannya.
Ya, begitulah Wisang. Paras tampannya dan sifat ramahnya yang palsu, berhasil menipu orang-orang di sekitarnya. Nyatanya, Wisang memiliki hati yang teramat busuk dan bengis. Wisang memang akan membalas semua sapaan atau pujian yang terlontar untuknya dengan sangat manis, namun ia juga akan membalas setiap celaan dengan rasa pahit dan sakit yang berkali-kali lipat. Ia akan terus mengambil kesempatan untuk meremehkan, bahkan menyakiti perasaan lawan bicaranya.
"Kita kumpul di sini bukan buat ribut." Haidar berusaha menengahi pertikaian kecil tersebut, sebelum melebar kemana-mana.
"That mother fucker start it first," ucap Wisang sambil menatap sengit pada Ikhsan.
Ikhsan merasa kata-kata Wisang benar, hingga ia tak bisa mebalasnya dan memilih untuk menatap Wisang dengan tatapan tajam, seolah-olah tatapan tersebut dapat menikam Wisang kapan saja.
Fahmi menghardik, "Emang gak jelas ini dua bocah— ...." menjeda kalimatnya, "— ...Oh iya, waktu itu kita mau kemana sih? Gue lupa."
"Bumi Tarung. Tapi aku belum cari informasi lengkapnya, waktu itu aku sudah nyuruh Wisang, tapi sampe hari ini pun dia belum ngasih detail infonya ke aku," jawab Haidar.
Wisang menyentuh belakang kepalanya kikuk, "Sorry, gua sibuk."
"Sibuk apaan, anjir? Kerjaan lu tiap hari cuma bongkar bongkar ruangan ini, nyari roda Skateboard," celetuk Ikhsan.
"Serah gua lah, pokoknya gua sibuk."
Haidar hanya menggelengkan kepala, merasa lelah dengan tingkah anggotanya.
"Berarti gak jadinya kan kita ke Bumi Tarung itu?" tanya Reinhard.
Haidar mengangguk, "Iya. Aku bakal ubah destinasi kita nanti, sekalian nyari tempat yang bener bener pas."
Merasa sudah tidak ada yang perlu didiskusikan, Wisang melangkahkan kakinya ke pojok ruangan, mendudukkan dirinya di sofa usang yang ada di pojok ruangan tersebut.
"Buset, ini ruang UKM MAPALA apa gudang?" gerutunya, seraya merogoh kantong celananya dan mengambil Smartphone-nya.
Ia mengetik 'Bumi Tarung' pada kolom pencarian Browser. Tak butuh waktu lama, laman tersebut segera menampilkan berbagai situs yang memuat informasi terkait Bumi Tarung. Jarinya meng-klik salah satu situs yang tertera pada laman tersebut.
Bumi Tarung, Semarang Barat, Jawa Tengah.
Ia membaca deretan kalimat selanjutnya dengan seksama.
'Memiliki lokasi yang tergolong pelosok, membuat desa ini jarang didatangi. Maka dari itu, keadaan alam di sana masih sangat terjaga.'
Ia menutup situs tersebut, mengantongi Smartphone-nya kembali, lalu segera beranjak meninggalkan ruangan tersebut menuju tempat biasa dimana Suargolaka berkumpul.
—
Sorak-sorai bergembira. Para warga Suargaloka ramai berkumpul di gudang tempat biasa mereka menggelar sebuah rapat yang sungguh rahasia. Hanya beberapa orang saja yang tahu, itu pun pasti akibat mereka anggota Suargaloka. Sudah mirip seperti markas besar persembunyian sahaja.
Tan berdiri sembari membawa berkas-berkas berisi visi-misi dan hal-hal apa saja yang akan mereka lakukan ketika KKN nanti. Beberapa di antaranya terdapat poin penting yang harus dicantumkan seperti kegiatan mereka akan berjalan bagaimana, dan juga program kerja mereka nanti macam apa di sana.
Tan menumpang dagu sembari menatap satu-satu anggota Suargaloka dengan tatapan memicing tengah berpikir keras. Kemudian menepuk tangan sekali setelah menemukan apa yang ia cari-cari dalam pikiran. “Oh iya, guys. Soal KKN ini gue mau minta saran lokasinya dari kalian. Kalau bisa lokasi KKN-nya yang sesuai dengan program kerja kelompok kita yang bertema pengabdian pada masyarakat dan sekiranya masih bisa diakses dengan kendaraan.”
“AKU, AKU! Desa Bagja Alit aja, Tan. Di sana ada banyak anak kecil yang lagi butuh pendidikan. Mungkin KKN di sana bisa banget buat ngerjain proker kita,” usul Chairil.
"Desa Bagja Alit itu letaknya di daerah mana?" tanya Tan.
"Di Bandung. Perjalanan sekitar 8 jam," jawabnya.
"Baik." Tan langsung menulis nama Desa Bagja Alit ke buku catatannya. "Mana lagi yang mau kasih saran?"
"Aku enten ide mas! Desa Mangunsoko! Desa sing ana ing Magelang," usul Rindu. "Nda jauh dari kampungku dan kayane cocok buat proker kita. Akune juga bisa pulang sebentar hehe."
"Sekalian mau pulang kampung ya?"
"Iya! Soale aku wis 3 semester nda pulang," jawab Rindu.
"Walah, gak tahu desa-desa aku. Jarang keluar rumah," ucap Suri.
"Kasih desa yang kamu pernah denger aja, Sur," timpal Chairi.
"Desa Sukarmaju," cetus Iris. "Sesuai sama perilaku Datuk desa di sana yang bikin desa itu jadi Sukarmaju."
"Desa Babawangan aja, gimana?" tanya Aning. "Tapi di sana gersang banget sih."
"Atau nggak ini aja," suara Wisang yang membahana kerasnya macam badai di tengah siang bolong betulan mencuri semua atensi anggota Suargaloka hingga menatap ke arahnya semua. "Kebetulan gua dapat saran dari anak MAPALA, soal desa yang belum sempat didatangi."
Kemudian tanpa diperintah, Wisang mengeluarkan kertas yang memiliki gambar bekas cetakan di sana. “Itu adalah gambar dari Desa Bumi Tarung. Namanya unik, dan suasana di sana bisa dilihat di situ asri banget dan bakalan sejuk sebab dekat dengan sumber air gunung. Gua yakin kalau kita ke sana bakalan betah."
Tan tersenyum penuh sumringah. "Boleh nih, yang lain setuju kagak?"
Aning mengedikkan bahu. "Setuju aja sih, gue percaya kalau Wisang bakal kasih tempat yang bagus buat KKN kita."
"Ya pasti dong. Gua udah tahu info-info kecil di sana juga kok. Tenang."
Tari yang sedari tadi diam menyela pembicaraan, "Lokasinya di mana, ya, Sang?"
Wisang membola. "Oh iya, di Semarang Barat. Perjalanan mungkin emang setengah hari, tapi gua jamin sampai sana nggak akan nyesel."
"Semoga aja, deh." Chairil bergumam dengan menatap foto Desa Bumi Tarung penuh telisik.
—
“Semuanya udah siap nih?” Tan berucap sembari menutup bagasi mobil. Beberapa barang yang akan mereka gunakan beberapa bulan selama menjalani KKN di desa Bumi Tarung sudah dimasukkan. Harap-harap sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka semua.
“Beneran diijinin nggak sih? Sama kepala dusun di sana?” tanya Aning masih menuntut kecurigaan terhadap desa yang akan mereka datangi.
“Udah pasti diijinin. Tenang aja,” ucap Wisang meyakinkan dan mereka mulai memasuki mobil masing-masing dengan Wisang sebagai supir sementara. Yang akan digantikan oleh Tan bila mereka sudah setengah jam perjalanan.
Namun di sela-sela perjalanan, ketika yang lain sibuk hura-hura dan memporak-porandakan mobil Wisang hingga tersebar sampah sana-sini. Hanya Ali yang peka pada situasi di luar mobil, terkhusus ketika mereka sedang meminta ijin untuk memasuki hutan di mana tempat desa Bumi Tarung bersinggah, Ali terlalu fokus pada lansia yang menjadi pengemis jalanan di dekat pinggiran hutan. Seolah tengah berbicara pada Ali yang menolehkan wajahnya ke sana, kakek pengemis itu menggelengkan kepala sembari memerintah pelan tanpa suara, “Jangan pergi, nduk!” Namun mau bagaimana lagi, Wisang tetap menjalankan mobilnya dan Ali diam tak berkutik.
—
Ada tiga ojek yang sudah siap sedia untuk mengantarkan para mahasiswa dan mahasiswi menuju Desa Bumi Tarung. Akibat jalan yang begitu sempit dan licin penuh lumpur, mobil mereka tidak dapat masuk lebih dalam memasuki hutan. Sehingga, mereka harus menggunakan ojek motor yang memang sudah disiapkan oleh kepala dusun Bumi Tarung.
Susunan keberangkatan kira-kira 3 penghuni tiap kali keberangkatan. Namun tiba pada saat giliran Tari, bersama Risjaf dan Chairil. Ada hal yang membuat Tari merasa merinding hingga bulu kuduknya tegang. Selama perjalanan Tari merasa ingin cepat-cepat pulang ke Jakarta lalu tidur saking takutnya. Ia baru saja melihat banyak orang-orang ramai bergerombol menggunakan topeng kepala hewan tetapi tubuh mereka manusia. Tari pikir itu hanyalah topeng dan mungkin rakyat sekitar tengah menggelar pesta yang mengharuskan mereka berkostum seram seperti itu.
Sedangkan Chairil merasakan kejadian lain, “Pak, desanya kenapa jauh sekali? Setengah jam perjalanan sampai mengantuk saya.”
“Lho? Jauh bagaimana, mas? Orang cuma lima belas menit dari jalan raya menuju sini.”
Rindu mengangguk. “Bener lho, Mas Chairil. Ojo weden-wedeni. Orang cuma lima belas menit sekitaran kok jalannya.”
Namun Chairil tidak merespon. Ia merasa bahwa kawan-kawannya inilah yang aneh. Bagaimana bisa mereka tidak menyadarinya? Atau mungkin itu memang halusinasi dirinya semata.
Hingga sampai Chairil berjalan ingin menyusul masuk ke pondok tempat mereka akan menginap, Tari menepuk pundak Chairil dengan pelan namun berkali-kali, akibat tongkatnya masih di dalam koper. “Ril, kamu lihat ada orang-orang lewat tadi nggak?”
“Enggak, Tar. Kenapa?”
Tari hanya tersenyum canggung dan mengangguk kikuk. “Oke. Tapi Ril, kujamin kamu nggak sendirian. Aku juga ngerasain kalau perjalanan kita tadi setengah jam kurang lebih. Cuman teman yang lain tidak sadar, mungkin karena mereka lupa untuk fokuskan pandangan.”
Dan Tari beranjak dari sana begitu saja.
—
Langit biru bawa cerita yang pilu. Setiap peluh yang meluruh mulai membiru, beri mereka sebuah harapan palsu. Pun begitu, tidak usah tipu dari satu. Mereka akan selalu patuh. Selalu, kukuh.
Aning dan Rindu dijadwalkan untuk jadi teman sekamar. Begitu akrab sampai-sampai sudah lama jadi teman baik di kampus.
“Eh Ndu, mandi yuk. Gerah nih gue.”
Rindu menggeleng. “Tapi udah malem. Petuah Bapakku bilang. Mboten angsal gawe siraman mbengi-mbengi. Opo meneh, kita udah nang desa, harus ikuti aturan orang sini.”
Aning mengerut. “Memangnya ada ya Pak Prabu bilang buat jangan mandi malam-malam?”
Pak Prabu adalah asisten pribadinya Datuk Khalaf, sang kepala dusun. Yang tidak sempat mereka temui tadi untuk menyambut kedatangan mahasiswa dan mahasiswi Suargaloka untuk KKN, maka Prabu yang menggantikan. Tetapi karena sampainya mereka di jam malam, maka keliling desa digantikan dengan esok hari.
Dan kini, Aning justru dibuat gerah akibat belum tahu kemana ia bisa mandi dengan air sejuk yang mengalir dari pegunungan.
“Gini aja wes, kita ke sumur belakang aja. Pas tah, itu pakainya air mengalir pasti segar. Lagipula sepi, Ning, nanti aku jagain.”
“Oke, tapi gue mandi duluan ya.” Rindu mengangguk da mereka mulai berpindah ke arah sumur belakang.
—
Aning mulai membilasi air ke rambut, ke bahu, ke badan hingga turun ke mata kaki. Airnya sejuk dan menyegarkan. Sebab sumbernya dari pegunungan asli. Maka Aning begitu menikmati ritual mandinya hingga menggunakan waktu yang lama. Lupa akan Rindu tengah menunggunya di balik pohon setia menemani.
Namun baru ingin mengambil beberapa guyuran air lagi untuk menyiram badannya yang penuh sabun wangi bunga sakura, ada sesuatu di dalam bak sumur. Ia menjamah dalaman sumur, beberapa helai rambut yang tidak sedikit hadir di hasta Aning setelah ia mengambil iseng benda warna hitam yang melayang-layang di dalam air sumur.
Aning juga merasa bahwa ada sosok yang melihatnya mandi, begitu dengan mata tajam penuh siasat, seolah ia tengah diteliti seluruh tubuhnya. Akibat rasa takut datang menghantui. Aning buru-buru menyelesaikan mandinya dan bergegas memakai pakaian bersihnya yang sudah ia bawa.
—
Ternyata ujaran Rindu bukanlah tipu semata. Memang benar mata airnya langsung mengalir datang dari pegunungan. Aning mulai mendekati sumur, mengambil sebongkah sebundaran gayung air lalu menyiramkannya perlahan-lahan dari rambut hingga ke badan hingga turun ke kaki.
Airnya menetes-netes sampai Rindu yang menunggu di belakang pohon sambil memainkan kuku jarinya mendengar ramai gemuruh gerak air yang diciptakan Aning. Namun kelamaan terdengar seseorang bernyanyi kidung Jawa. Rindu terlonjak kaget, ia menegakkan badan dan menoleh lurus ke depan, lalu ke arah kanan, lalu ke arah kiri. Tidak ada siapa-siapa selain Rindu dan Aning. Apabila yang menyanyikan adalah Aning, mana mungkin sebab gadis itu tidak tahu-menahu soal kidung apalagi hal-hal berbau adat tradisional.
Untuk memastikan hanyalah satu jalannya yaitu menoleh ke belakang, namun Rindu tidak ingin menoleh disebabkan Aning sedang mandi. Itu tidak sesuai dengan adab budi pekerti yang bermaksud tidak sopan apabila menoleh begitu saja tanpa ijin bersangkutan.
Meski hatinya bergejolak keras, Rindu dikejutkan oleh Aning yang menepuk bahunya dari samping dan terlihat rambutnya basah serta pakaiannya rapi sesudah selesaikan mandi.
“Lho, Ning? Udah?” Rindu tiba-tiba jadi linglung.
Aning nampak ikut kebingungan melihat Rindu yang terkaget-kaget oleh kedatangannya. “Iya udah daritadi airnya juga mati, emang lo nggak dengar? Udah yuk balik, keburu makan malam.”
Rindu menahan kuasanya Aning. “Ning, sampeyan bisa kidung Jawa?”
“Hah?” Aning semakin tidak mengerti. “Nggak masuk akal pertanyaan lo. Ya nggak bisalah, kan gue bukan dari Jawa. Yang bisa kidung di sini itu lo.” Dan Aning pergi dari sana secepat kilat meninggalkan Rindu yang terdiam menatap kosong sumur yang digunakan Aning mandi tadi. Kemudian memutuskan menyusulnya.
BERSAMBUNG.
Komentar
Posting Komentar