PERJAMUAN BUMI TARUNG: PART 2.
PERTUNJUKKAN KEBOHONGAN dari lagak muda-mudi akan bermula, engkau siapkan kenangan bahagia ini dalam sanubari sebelum tangis air matamu dihirup angin dini hari.
Pengabdian orang kafir itu digaung-gaungkan, lihatlah mereka alang-alang payah, rumput-rumput basah yang merimbun purnama pada lumbung Ibu. Nelangsa disarap, terbitlah bahagia. Namun mengapa begitu susah, wahai Ibu Pertiwi? Benarkah, di atas tanah berpijak gadis-gadis bergaun putih bersih itu adalah tanah setan dilahirkan. Benarkah? Bisakah kau menjawab itu? Mengais bahagia mereka, tangisnya terus terbit akibat raga dipecuti iblis.
—
Pagi itu semua hal berjalan lancar. Pembagian tugas dari Tan, sang ketua yang selalu dapat diandalkan di setiap kondisi telah rampung dan siap untuk dilaksanakan. Rencananya mereka akan memulai semua tugas di pukul 13.00 siang, atau sesudah sholat Zhuhur terlaksana. Biar mempersingkat waktu, katanya.
Sialnya, Ali beserta Iris dan Bentang mendapat tugas diluar, dalam artian mereka harus berkeliling desa. Bukan apa-apa, hanya saja saat mendengar pembagian tugas ini Ali merasa begitu enggan untuk keluar. Ia masih terbayang-bayang akan peringatan sekilas lalu dari sesosok Kakek pengemis pinggiran hutan, yang mereka temui sesaat sebelum tiba di Desa tempat mereka mengabdi ini. "Jangan pergi, nduk!" Hanya kalimat itu yang sempat Ali tangkap.
Meski begitu Ali tetap berusaha untuk profesional menjalankan tugas. Toh ada Iris dan Bentang yang menemaninya, hitung-hitung mencari udara segar agar otaknya yang ruwet sejak pagi bisa jernih kembali. Kapanlagi bisa melihat bentangan asri alam pedesaan yang jarang atau barangkali sudah 'tak ada lagi di sesaknya Kota Metropolitan. Hanya polusi yang menyambut, belum lagi manusia-manusia munafik lagi hedonis yang hanya mementingkan diri sendiri itu.
Tepat pukul 13.00 Ali telah ditunggu oleh kelompoknya saat ini, Bentang serta Iris di pelataran depan. Mereka siap untuk berkeliling, wajah-wajah antusias berlabuh kala Ali mendekati mereka. Berbanding terbalik dengannya yang nampak sekali menguarkan aura 'enggan untuk keluar'. Namun sekali lagi, Ali abai akan tiap ratap batiniahnya. Profesional. Hanya itu yang Ia tekankan saat melangkah bersama Bentang dan Iris menyusuri jalanan becek Desa Bumi Tarung ini.
Mereka harus cepat-cepat berkeliling sebelum hari beranjak makin tinggi, walau nyatanya Desa Bumi Tarung ini amat berbeda dengan kondisi metropolitan yang sesak, lagi panas membakar kulit. Buktinya, udara tetap sejuk padahal sekarang telah terhitung tengah hari.
Tak lama menyapu pandang, mereka bertemu salah seorang kenalan, Pak Prabu namanya. Sang wakil kepala desa yang menyambut hangat serta dengan baik hati menghantarkan mereka kemarin malam ketempat menginap.
Mereka, tepatnya Iris dan Bentang berbisik halus berkenaan tugas siapa yang harus menyapa dan meminta bantuan kepada Pak Prabu. Ali hanya diam, menunggu mereka selesai berdiskusi sembari mengedarkan pandangan menikmati suasana asri pedesaan hingga 'tak sadar akan sikutan dari Bentang yang mendorongnya maju 'tuk berbincang dengan Pak Prabu.
Kesal. Itu yang Ali rasakan namun sekali lagi Ia abai dan cepat-cepat beranjak menghampiri Pak Prabu. Menyapa hangat layaknya kenalan lama. Ya, hanya itu kan yang Ali bisa dan pelajari selama ini?
"Selamat siang Pak Prabu. Lagi jalan-jalan ya, Pak? Ah iya perkenalkan nama saya Ali pak, dan mereka berdua rekan saya. Yang berdiri disebelah kiri namanya Iris, sedang yang sebelah kanan namanya Bentang, pak. Kami mahasiswa/i yang bapak antar kemarin. Sebelumnya terima kasih karena mau menampung kami, hehe." Basa-basi klise Ali lontarkan lantaran belum adanya persiapan kalimat di kepala. Sedang Bentang dan Iris hanya melayangkan senyuman canggung kepada Pak Prabu seakan menimpali perkenalan singkat yang Ali berikan kepada Pak Prabu mengenai mereka bertiga.
"Oh halo nak Ali, nak Iris dan nak Bentang. Iya, ini bapak lagi jalan-jalan biasa, sekalian biar bisa tahu keadaan warga sini. Gimana toh di disini? Kerasan? Maaf yo kalau semisal kurang nyaman, kami disini seadanya saja. Maklum masih ndeso, belum banyak pembangunannya, khekeheke
.." Sambutan hangat Pak Prabu lontarkan.
"Wah engga papa pak, justru kami yang harus minta maaf karena merepotkan bapak dan warga desa lainnya. Syukurnya lagi kami kerasan disini, udaranya sejuk, warganya juga ramah-ramah. Sedari tadi kami lewat selalu di beri senyum." Ali menimpali dengan ramah, sebelum memberikan lontaran kata meminta pertolongan yang dilontarkannya secara canggung, "oh iya pak, ini kami boleh minta bantuannya? Maaf kalau kesannya kurang sopan, kami mau minta tolong dipandu berkeliling desa, boleh? Sama siapa saja boleh pak, takutnya nanti kami malah kesasar secara kami masih baru disini."
"Walah syukurlah kalau kalian kerasan disini, bapak dan warga desa senang sekali menyambut kalian disini. Kalian mau berkeliling? Kebetulan sekali bapak tadi memang mau menghampiri kalian, biar bapak pribadi saja yang memandu kalian. Bapak hafal desa masa kecil bapak ini luar dalam, khekekeke..." Menanggapi pertanyaan Ali sebelumnya, Pak Prabu menjawab dengan sedikit terlalu bersemangat, entah itu hanya perasaan sesaat Ali saja atau memang benar adanya. Ali 'tak terlalu peduli, yang terpenting tujuannya telah terpenuhi. Mereka mendapat pemandu keliling, terlebih pemandu tersebut salah satu petinggi desa yang pasti, mahfum betul akan desanya ini.
"Wah merepotkan bapak ini, tapi ayolah pak kami akan merasa sangat terhormat kalau bapak yang memandu kami ini."
"Nak Ali bisa saja, ayo.. ayo.. kita jalan-jalan. Biar saya kasih liat seberapa indah Desa Bumi Tarung yang kalian pijak saat ini, khekekeke.." Pak Prabu beranjak pergi sembari tertawa lepas membimbing tiga sejoli, Ali, Bentang dan Iris bertamasya keliling Desa Bumi Tarung.
Sekitar 15-20 menit mereka berjalan, memandangi segala keindahan berlapis sejuknya udara, menemui semua tempat yang dijelaskan dengan runut lagi lengkap oleh Pak Prabu, bantu timbulkan rasa syukur karena telah memilih Pak Prabu sebagai pemandu mereka kali ini. Mereka berhenti, lebih tepatnya Iris yang berhenti secara tiba-tiba tanpa aba-aba kala kepalanya secara cepat menoleh kearah samping. Pemakaman. Entah apa yang semesta tengah jalin saat ini sehingga mereka bisa berhenti tepat disebelah TPU atau Pemakaman Desa Bumi Tarung dengan suasana sepi yang terasa amat mencekam.
Ali yang merasa Iris bertingkah aneh hanya mengamati sekitar, seperti kebiasaannya yang lalu-lalu. Tanpa bertanya apa-apa. Berbeda dengan Bentang yang kini lontarkan tanya, "kenapa Iris harus tiba-tiba berhenti di tempat aneh seperti pemakaman ini?"
Semilir dingin tiba-tiba berhembus membuat bulu kuduk berdiri tegak. Iris yang awalnya mendengarkan celotehan pak Prabu mengenai desa Bumi Tarung mendadak menghentikan langkah kakinya disaat matanya tidak sengaja menangkap suatu objek yang terasa asing dimatanya.
Gadis itu menyipitkan matanya sejenak, hanya untuk meyakinkan bahwa apa yang ia lihat tidaklah salah. Namun sedetik kemudian Iris langsung menahan nafas karena baru saja melihat bayangan hitam melewati pohon besar yang berada disamping makam.
"Kenapa, Ris?" Tanya Bentang sembari ikut menoleh ke arah pandangan Iris.
Iris tidak menjawab melainkan bertanya dengan pandangan yang masih fokus di satu titik. "Ini makam umum di desa ini bukan sih?"
Bentang menoleh ke arah sekitar makam, lalu mengangkat kedua bahunya. "Kayaknya iya, tapi mungkin aja ini makam para petinggi atau leluhur disini. Soalnya ada beberapa makam yang ditandai dengan kain hitam."
Iris ingin menjawab sahutan Bentang, tapi entah kenapa tiba-tiba mulutnya terasa sangat susah untuk berbicara. Sementara itu bayangan yang tadi ia lihat kini sedang menatap dirinya dan Bentang dengan tatapan merahnya.
Merasa binggung, Bentang berinisiatif menarik lengan Iris untuk menyadarkan temannya itu. Sekaligus bergegas mengimbangi Ali dan Pak Prabu yang sudah jalan lebih dulu didepan.
"Ris, ngeliatin apa sih?" tanyanya disela jalan, "Lu siang-siang udah bengong aja."
Iris yang sudah tersadar dan berjalan disamping Bentang pun menjadi sedikit tidak nyaman, merasa bahwa dirinya melihat sesuatu di pemakaman tadi.
"Tang, tadi aku liat sesuatu yang aneh loh," serunya, merasa ada yang ganjal.
Mengerutkan dahi, Bentang jadi tambah bingung. "Lu yang aneh, siang-siang gak mungkin ada hal yang berbau mistis gitu," katanya tak percaya.
"Serius aku, Tang." Katanya penuh penekanan. "Aku emang gak bisa lihat mahkluk halus, tapi yang tadi kaya ada yang aneh gitu," lanjutnya.
"Aneh gimana? Tapi... Gua juga jadi merinding nih..," ucap Bentang jadi ikutan merasa aneh juga.
"Kaya ada bayangan gitu..," cicit Iris, suaranya terdengar sangat pelan.
"Duhh, Ris lu kaga bercanda kan?"
Melihat ke sekeliling sambil mendengarkan Pak Prabu juga melanjutkan jalan, Ali yang berada didepan menjadi tersadar akan dua temannya dibelakang.
"Woi cepet lah, ini Pak Prabu lagi ngasih tau sesuatu loh." Perintahnya, menengok ke arah Iris dan Bentang yang malah sibuk ngobrol berdua.
Bentang dan Iris bergegas mempercepat jalan, dengan Iris yang memegang ujung baju Bentang seperti takut ketinggalan. Lebih tepatnya, Iris memang merasa takut.
"Iya sabar." Ucap Bentang diikuti dengan Iris yang hanya diam saja.
—
Pada titik sudut jalan raya, temu hutan belantara, berselindung gelombang angin kelabu, langit mendung sementara bintangnya tiada ingin singgah. Gemericik air kecil tercipta bunyi sementara langkah kaki kedua pemuda menjejaki pelataran sepi jalan, semakin gerimis semakin besar pula bunyi ricuh jangkrik-jangkrik yang tengah berkelana.
Rintik-rintik itu terbawa sampai ke bibir jalan raya masih dengan langit bermata mendung. Lalu dihentam-hentaknya oleh batuan kerikil gunung berjatuhan, namun serabut teguh saling mengeratkan kuku. Wisang gemetar mulai terganggu, ia tidak tahan sedikit dengan lebat angin malam sebab ia keluar tanpa memakai lengan panjang. Hanya kaos putih sebagai sandangan, sedang Chairil sudah bersiap mencari barang yang akan mereka gunakan keesokan harinya menjalankan proker kerja bersama kawan.
Nenek-nenek tua dan kakek-kakek beberapa hadir di gerai kecil menjualkan produk pangan mereka. Dan beberapa pemudi muda menjualkan alat-alat tulis—barang yang akan dicari-cari oleh Chairil dan Wisang.
“Ril, lu aja deh yang bilang,” ujar Wisang sembari mengusap kedua lengannya. Dingin angin luar di pinggir jalan begitu dingin tak terhingga padahal tiada kendaraan lain menciptakan pergerakan yang membuat badannya bisa menggigil.
Chairil hanya diam dan berjalan pasti ke gerai pemudi yang tengah mengipas-ngipas rupanya. Aneh. Wisang begitu kedinginan dengan angin sore menjelang malam sedangkan puan itu tengah kegerahan. “Permisi, mbak,” panggil Chairil untuk menyapa namun belum sempat melanjutkan kalimat, si puan menyela. “Eh iya, halo mas, ada yang bisa dibantu?”
Chairil menengok ke arah Wisang. Apakah dirasa-rasa dia memerlukan kebutuhan selain perlengkapan yang mereka cari saat ini atau tidak. “Saya butuh beberapa barang. Bisa dibantu untuk memberikan?” dibalas anggukan oleh puan ayu.
Dibentangkannya plastik kresek besar untuk wadah belanjaan mereka di pasar yang tidak terlalu besar itu karena hanya memiliki lima belas gerai dan berada di pinggir jalan raya. Ada beberapa alat tulis seperti tinta, kertas HVS, batu baterai untuk senter, tali rafia, dan juga obat nyamuk, ditambah bonus koyo/balsam sebagai obat penghilang rasa pegal selama mereka berbulan-bulan berada di desa itu. Setelah selesai, diberikannya kepada Chairil kresek besar itu lalu transaksi pun selesai dilakukan.
Chairil berjalan menuju Wisang yang masih juga menggigil kedinginan. Kemudian mengajaknya untuk cepat-cepat pulang sebelum semakin malam mereka nanti berada di hutan.
—
Dengar petuah yang harus dilakukan? Hormati budaya mereka, jangan sembarangan untuk mengambil apa yang bukan jatahmu. Muda-mudi, manusia budi perketi, bualan suci, tidak mau diberi mengerti, mereka seolah langsung tuli.
Alunan merdu nan mencumbu indah pelita malam temani pesisir gelap hutan belantara. Kidung-kidung lelayu membunyi lembut nan halus. Hadir bersamaan dengan hirapnya perlombaan suara jangkrik siapa yang lebih lantang menyuarakan kehadirannya.
Wisang dan Chairil yang semula asyik mengobrol langsung membeku ketika mereka menyadari bahwa ada yang salah dengan perubahan jalan ketika mereka melewati. Seingat keduanya, sore tadi tiada kampung apalagi desa lain yang dekat dengan lokasi Bumi Tarung. Namun kali ini, di tengah jalan mereka lewati sebuah pesta yang digelar oleh para rakyat desa dan kepala dusunnya sekaligus. Barung-barung menghadirkan makanan-makanan tradisional yang begitu memanjakan netra tuk dilahap langsung dengan air minum yang tersaji. Dan penari-penari tengah sibuk melenggak-lenggok di depan balai desa mempertontonkan elok panggul macam gitar spanyol itu.
Chairil menyipitkan mata seolah baru menyadari bahwa mereka melewati jalan yang salah. Dalam hati menyalahkan Wisang akibat pemuda itu sibuk mengajak ngobrol, mereka jadi tersesat hingga mampir ke desa lain. Chairil turun dan menghampiri salah satu rakyat yang menjaga kedai kue kering tradisional. “Maaf budhe, ijin bertanya, jalan menuju Desa Bumi Tarung jikalau dari sini lewat mana, ya?”
Namun pertanyaan Chairil mengambang tanpa dijawab. Hingga seseorang menepuk bahu Chairil keras-keras. Seorang bapak tua yang memiliki jenggot lebat. “Kamu anak dari luar kota 'kan, dek? Pasti belum pernah mencoba makanan dari desa kami. Ayo dicoba,” balasan tersebut seolah memaksa Chairil untuk memakan makanan khas desa mereka.
Sedang Wisang yang jua baru saja turun dari motor. Tergoda akan bau-bau sedap makanan yang baru saja disuguhkan. Ia merangkul bahu Chairil penuh akrab, “Iya, Ril. Makan dulu yuk, laper gua. Kita belum makan sedari tadi Siang.”
Chairil yang sebetulnya tidak merasakan lapar yang teramat sangat. Diam-diam membenarkan perkataan Wisang dalam batin. Jikalau melihat makanan dari rakyat desa itu, apabila diberi secara gratis, kenapa pula harus menolak. “Yaudah, deh. Ayo makan bentar habis itu cabut.” Dan Wisang mengangguk penuh semangat.
Keduanya berjalan beriringan menghampiri dari satu gerai ke gerai yang lain. Dengan rakus, serakah, dan penuh ketamakan mereka makan tak ingat kawan. Tak ingat dengan jatah yang untuk orang lain. Penuh lahap menyantap dari satu jenis makanan ke satu-persatu jenis minuman segar khas rakyat desa itu. Entah desa mana yang mereka tinggali.
Setelah kenyang kemudian dengan eufori masih singgah di kapita dan besar perut. Mereka menari-nari sembari berhura-hura. Merasakan kebahagiaan sebentar sebelum kembali dihadapkan sebuah beban.
Selesai beberapa jam merasakan kenikmatan duniawi. Chairil menggeret Wisang yang sedikit linglung, mungkin akibat terlalu lama mendamba harsa. Kemudian langkah Chairil dihentikan oleh nenek tua. “Cah bagus. Ini oleh-oleh dari kita. Boleh banget dibawa pulang terus bagi ke teman-temanmu.”
Chairil hanya dapat tersenyum sopan dan mengangguk patuh. “Matur nuwun, eyang putri.” dan Chairil menerima kain putih bungkusan makanan itu lalu menyuruh Wisang yang membawanya karena Wisang nampaknya sudah terlalu lelah untuk menyetir.
Mereka pun keluar dari pesta rakyat desa itu, kembali melewati gelapnya hutan untuk pulang ke Bumi Tarung.
—
Setibanya mereka berdua di Bumi Tarung, Wisang langsung berlari menghampiri teman temannya yang berkumpul, duduk melingkar di teras pendopo yang menjadi tempat tinggal sementara bagi anggota perempuan, sembari menunggu kedatangan mereka berdua. Sementara Chairil, ia hanya melangkah kecil di belakang Wisang. Teman-teman mereka tampak khawatir, pasalnya mereka berdua telah pergi selama 3 jam lamanya.
"Sampeyan berdua iki sebenere dari mana, toh? Kok baru kembali?" Rindu membuka suara, menyampaikan kekhawatirannya.
Wisang mengabaikan Rindu, langsung duduk di sebelah Tan dan meletakkan barang bawaannya di sampingnya, "Guys! You all probably won't believe me, but this is real! Tadi pas perjalanan balik ke sini, gua sama Chairil liat ada warga desa sebelah yang ngadain pesta. Di sana bener bener rame, ada pertunjukan tari, sama pertunjukan daerah, tapi gua gak tau apa namanya. Di sana juga kita disuguhin banyak makanan sama minuman enak. Awalnya gua sama Chairil gak ada niatan buat berenti dan dateng ke pesta itu, tapi berhubung kita berdua dicegat sama warga sekitar, dan gua juga lagi kelaperan, kita berhenti dan turun. Sumpah, harusnya tadi gua ke sini dulu, terus ngajak kalian semua." Wisang dengan bersemangat menceritakan kejadian yang baru saja ia alami bersama Chairil.
"Desa sebelah? Desa apa?" Tan mulai merasa heran dan parno setelah mendengar cerita Wisang.
"Ya desa sebelah pokoknya, gua gak tau nama desanya."
"Kamu itu halu tah, Sang? Di sekitar sini gak ada desa selain desa ini, loh." ujar Suri keheranan.
"Iya, Sang, Suri bener. Di sekitar sini kaga ada desa lagi selain Bumi Tarung, yang ada cuman hutan belantara. Lagipula daritadi sepi kok di sekitaran sini. Kalau desanye deket kaya apa yang lu bilang, harusnye kedengeran sampe sini, dong?" Bentang membenarkan perkataan Suri, diikuti anggukan pelan dari yang lainnya.
"Gua gak halu, Sur, Tang." Wisang tak terima, masih berusaha meyakinkan teman-temannya bahwa kejadian yang ia dan Chairil alami itu nyata, bukan hanya sekedar halusinasi. "Pokoknya tadi di sana rame banget. Kalau kalian gak percaya, nih, gua bawa makanan dari sana." Tangannya bergerak merogoh kantong plastik yang tadi ia letakkan di sampingnya, lalu mengambil sebuah bungkusan kain putih yang lusuh dan kotor, terdapat banyak noda tanah di kain pembungkus tersebut yang membuat Wisang terkejut. Pasalnya, saat bungkusan tersebut diberikan, tampilannya tidak seburuk ini. Wisang meletakan bungkusan tersebut di tengah tengah mereka, hingga membuat mereka semua -kecuali Tari- keheranan, makanan apa yang dibungkus kain kafan?
"Gak ada bungkus lain apa? Kenapa harus kain kafan? Mana udah kotor banget, kaya diambil dari liang lahat." heran Ali.
Kepanikan mulai menghinggapi mereka, terlebih lagi saat aroma busuk dan amis mulai menusuk indra penghidu mereka semua, kala Wisang membuka bungkusan kain tersebut, bahkan aromanya tercium oleh Chairil yang berdiri di luar lingkaran. Mereka satu persatu mulai terbatuk-batuk dan merasa mual, hingga rasanya ingin memuntahkan seluruh isi perut mereka.
Wisang terlonjak kaget saat gulungan itu terbuka sedikit, ia langsung bergerak menjauh dan memuntahkan isi perutnya.
Risjaf mendekatkan dirinya, ingin melihat apa isi bungkusan tersebut. Bungkusan tersebut berisi kepala monyet, belatung, anggur busuk, serta sebuah batang tebu yang telah mengering. Risjaf memekik, "Anjir, Makanan apaan? Itu Kepala monyet, lo mau makan kepala monyet?!" seraya bergerak menjauh.
Para gadis dalam lingkaran tersebut mulai memekik ketakukan dan berhamburan meninggalkan posisi semula mereka, kecuali Aning. Gadis itu malah menarik kain bungkusan tersebut dengan kasar, hingga sebuah kepala monyet menggelinding dan berhenti tepat di depan Bentang yang membuatnya terkejut setegah mati dan langsung berdiri meninggalkan tempat duduknya.
Tak berhenti di situ, Aning mengambil dan menjungkirkan batang tebu kering yang ada di dalam bungkusan tersebut, hingga cairan berlendir mirip ludah hewan keluar dari dalamnya. Tepat setelah itu, Chairil menyusul Wisang, memuntahkan isi perutnya.
Perasaan takut dan jijik bercampur menjadi satu, hingga membuat wajah mereka semua langsung berubah menjadi pucat pasi, terlebih lagi Wisang dan Chairil.
"Berarti kita tadi makan apa aja di sana, Ril?" Wisang mengusap wajahnya frustasi, sementara Chairil hanya menggeleng lemas.
"Asli, lo berdua abi—" Aning berhenti bicara ketika mereka mendengar suara hantaman keras, rupanya suara tersebut dihasilkan oleh tubuh Chairil yang tumbang, menghantam tanah. Wisang dan lainnya buru-buru mendekati Chairil yang sudah tak sadarkan diri.
Kejadian tersebut membuat Wisang dan Chairil jatuh sakit selama beberapa hari.
—
SEMINGGU KEMUDIAN.
Ikrar diaromakan, dikumandangkan, disuarakan. Warta berwarna siang. Ada hari di mana akar-akar lumpuh kembali dihidupkan. Bersama dengan hati, mati berhasil diluluhkan. Pada hari itu pula, segera terbit buih fajar yang menyentuh lempeng hasrat. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi Suargaloka masih terus mengelilingi hutan belantara untuk mengobservasi kegiatan apa saja yang mereka bisa lakukan demi mengabdikan diri pada masyarakat.
Ikrar dikumandangkan. Mereka mengabdi.
Kalimat yang terus berulang-ulang bagaikan sebuah janji. Suargaloka terus berjalan hingga mereka berhenti ke tepi makam. Beberapa dari peserta merasakan bahwa tempat itu tidak asing, yaitu Iris, Bentang dan Ali. Mereka berada di situ tempo hari lalu, sedangkan selain mereka merasakan hal asing sebab sebelumnya tidak diberitahukan oleh Pak Prabu bahwa di sekitar luaran batas desa Bumi Tarung, terdapat makam dengan batu nisan yang telah ditutupi kain hitam pada nama-nama yang terukir di batu.
Mereka terus berjalan, terus hingga mereka bertemu pada segerombolan orang. Pikir beberapa lagi dari mereka orang-orang itu adalah rakyat desa Bumi Tarung. Namun mengapa kepalanya lain? Apakah itu sebuah topeng? Apakah mereka tengah menggelar sebuah pesta topeng?
Beberapa dari mereka menggunakan kepala hewan yang berbeda-beda. Entah apakah mereka bisa betulan berbicara, hanya ada satu cara untuk membuktikannya. Yaitu menghampiri mereka.
Akibat penasaran tingkat tinggi, sebagai ketua yang sudah pasti bertanggungjawab mengamankan anggotanya. Tan Sjahrir mengambil langkah lebih dulu menghadapi perkumpulan tersebut. Menanyai seputar apa yang mereka lakukan di makam itu.
Dengan gaya pongah lan penuh kewibawaan seorang pemimpin. Tan menghampiri gerombolan bertopeng itu. “Permisi, Pak. Mohon maaf, tadi saya tidak sengaja melihat aktivitas Bapak dan rekan-rekan yang lain. Kalau boleh tahu, apa yang sedang dilakukan di sini?”
Bukan sebuah hal asing apabila Tan bertanya seperti itu. Sebab, gerombolan itu memiliki penampilan kepala yang dari hewan hingga leher sedangkan raga dari bahu hingga mata kaki adalah bentukan manusia. Salah satu dari gerombolan itu pun menjawab, pemilik kepala kuda, “Kenapa kamu ingin tahu urusan kami? Pergilah lanjutkan tugasmu dan biarkan kami sendiri,” ujarnya mengusir sembari mencangkul bekas kegiatan mereka tadi untuk meratakan tanah.
Bentang yang merasa tak senang Bapak tadi menyolot, ikutan tersulut api, “Kenapa kami nggak boleh tahu pak? Siapa tahu ini bisa jadi informasi lebih untuk kami.”
Pemilik kepala kuda berdecih. Sepertinya dia adalah ketua dari gerombolan itu. “Informasi? Memangnya kalian ini polisi?”
Iris menggeleng dan membuang bahu. “Bukan, kami mahasiswa dan mahasiswi yang sedang melaksanakan KKN di sini.”
Si pemilik kepala kuda hanya mendecih sinis. “Pantas saja anak muda banyak tanya.”
Iris tersenyum kecil. “Selagi bertanya dengan nada baik-baik kenapa enggak?”
Bentang pun ikut menyahut. “Kata ibu saya, malu bertanya sesat dijalan pak.” dan si kepala kuda menghiraukan balasan itu.
Selagi gerombolan itu tengah sibuk melanjutkan aktivitas mereka, para anggota Suargaloka pun berbisik-bisik menduga apa yang tengah mereka lakukan. Dan sebetulnya apa maksud dari berkepala hewan itu? Apakah benar mereka menggunakannya semata-mata demi mengadakan pesta? Mungkin saja. Iris pun memancing pertanyaan lagi. “Ini ada festival atau gimana? Semuanya memakai topeng hewan begini, agak seram kelihatannya.”
Salah satu anggota lain dari gerombolan itu pun mulai ikut tersulut emosinya, si kepala keledai menyahuti, “Iya, kami memakai topeng. Festival memangnya kamu pikir di desa kami ada pesta. Begitu? Di sini dilarang hura-hura.”
Tan nampak semakin penasaran. “Memangnya kami tidak boleh tahu ya, Pak? 'Kan kami hanya ingin tahu, tapi kenapa tidak boleh? Apa ada alasan jelasnya?”
Si kepala kuda mulai jengkel. Ia membanting cangkulnya ke tanah. “Kami tengah menguburkan bangkai kelinci. Apa yang penting untuk itu?”
Tari yang sedari tadi tangannya gemetaran, meraih ujung gagang tongkat dan memegangnya kuat-kuat. Dan bersuara dengan sedikit terpatah-patah. “Lalu, kalau begitu topeng itu untuk apa, pak?”
Salah satu dari kedelapan anggota gerombolan itu menyahut lagi, kali ini berkepala kerbau. “Supaya kepala desa itu tidak mengetahui kegiatan kami.”
Suri semakin greget karena pertanyaannya tidak mendapatkan ujung kejelasan. “Memang kenapa kepala desa nggak boleh tahu pak? Ini ilegal?”
Si kepala babi hutan menghela napas panjang. “Kami dilarang untuk menguburkan bangkai hewan. Makam ini, sebetulnya adalah tanah desa kami, namun kepala desa itu merenggut tanah yang bukan miliknya untuk dijadikan sebuah pemakaman.”
Ali mengernyit kebingungan. “Aneh. Pestanya kok didekat pemakaman, Pak? Kenapa tidak di alun-alun desa saja?”
Nampak dari kepala di rupa ketua gerombolan yang berkepala hewan kuda itu memutar malas. “Sudah kubilang ini bukan pesta.”
Iris memicingkan mata. “Kalian ini maling hewan ternak di desa ini? Kenapa diam-diam begitu.” Iris menggeleng pelan tak terlihat akibat merasakan curiga.
Ketua dari gerombolan itu menatap anggota Suargaloka marah. “KAMI BUKAN MALING. KAMI CUMA MENGUBURKAN HEWAN YANG TIDAK SENGAJA MATI!”
Bentang menatap aneh ketua gerombolan berkepala hewan itu. “Lho, Pak. Kenapa tiba-tiba seperti marah kepada kami?”
Suri menggumam. “Tidak sengaja?”
Aning menelan ludah kesusahan sedikit. “Sur, gue takut, deh.”
“Katanya nggak takut hantu?” ejek Risjaf.
“Gue takut sama Bapaknya bukan hantu,” elak Aning.
Suri hanya terkekeh kecil tanpa suara. “Sama, Ning. Tapi udah terlanjur sampai sini kita.”
Aning mengangguk cepat. “Iya, bapaknya galak banget, mencurigakan.” Suri yang mendengar juga mengangguk-angguk. “Bener, 'kan? Aku rasa emang ada yang nggak beres.”
Tan memegang dagunya berpikir selayaknya serius. “Apakah memakai topeng itu termasuk ke dalam tradisi di desa ini?”
Yang berkepala burung merak sedikit mencicit kaget. “Desa mana yang dimaksud?”
Rindu menjawab cepat. “Bumi tarung, Pak.”
Sang kepala kuda membola netra dan bibirnya. “Oh. Bagusnya kalian pergi dari sana! Pergi jauh dan jangan kembali ke sini lagi!” mulailah ia sedikit panik.
Gigi Tari bergelumutuk. Ia mencengkram gagang penuntun jalannya. “Sebentar, kenapa kesannya bapak seperti ingin mengusir kami?”
Si kepala kuda menggeram. “Karena desa itu tidak aman! Kalian ini tidak mengerti bahaya atau bagaimana?”
Iris mencemooh. “Usir seenaknya, emang bapak mau tanggung jawab sama tugas KKN kami?”
Si kepala babi hutan seolah tengah mengeluarkan kepulan asap dari telinganya. “Ya itu bukan urusanku! Urus saja di desa lain.”
Bentang nyengir. “Kami ini penasaran, Pak.”
Kembali di babi hutan memberikan sahutan pedas. “Kalian ini pendatang baru, diberitahu malah ngeyel.”
Suri tersenyum. “Bukan ngeyel, Pak. 'Kan kami hanya ingin tahu.”
Si kepala kuda menggeleng keras lalu mengambil cangkulnya yang tadi tergeletak akibat terbanting. “Banyak ingin tahu kadang bisa membawa petaka.”
Suri mengernyit penuh heran. “Petaka?” lalu memainkan helai kanan menjuntai rambutnya. “Bapak ini sengaja membual untuk mengusir kami?”
Yang berkepala babi hutan merengut. Dahinya menekuk dan bibirnya melipat sinis. “Kamu ini tidak sopan. Iya, kami memang mau mengusir kalian.”
Aning menatap muak pada gerombolan orang berkepala hewan itu. “Kita di sini pun bukan buat main-main, tolong kerja samanya, Pak.”
Si berkepala kuda membuang napas lelah. “Terserahlah dek! Yang penting saya sudah ingatkan. Soal kalian kabur atau enggak itu urusan kalian. Tapi kalau ada marabahaya datang, siap-siap saja kalian nggak bisa pulang.”
Suri misuh-misuh. “Ya bapak juga ngasi tahu nggak detail. Kami 'kan juga jadi bingung. Marabahaya macam apa yang bapak maksud?”
Yang berkepala kuda menggeleng frustasi. “Saya nggak bisa cerita, yang ada saya diusir. Sudahlah! Saya mau pergi.” Ia pun mengambil cangkul kemudian bersiap meninggalkan pemakaman manusia itu sembari menyangga cangkul ke bahu.
Ali dengan cepat memegang hasta si yang berkepala kuda. “Astaga. Bapak tidak perlu tarik urat, saya hanya merasa heran saja dengan aktivitas komunitas bapak. Terkesan ada yang ditutup-tutupi rapat.”
Akibat pertanyaan Ali yang mau tidak mau harus dijawab. Dengan kedua kuasa bersanggah di bahu Ali, pemilik kepala kuda berbicara depan Ali persis hingga bau busuk rumput yang baru saja terkena air liur tercium. “Dengar anak muda, sesuatu telah terjadi dan memang ada yang tidak bisa diberitahu. Silahkan kamu cari sendiri itu apa maka kamu akan paham. Rahasia harus terbongkar. Saya pamit.” Kemudian gerombolan itu pergi meninggalkan anggota Suargaloka di tengah lebatnya hutan belantara.
BERSAMBUNG.
Komentar
Posting Komentar