PERJAMUAN BUMI TARUNG: PART 1.
PERTUNJUKKAN KEBOHONGAN akan bermula, engkau siapkan kenangan bahagia ini dalam sanubari sebelum tangis air matamu dihirup angin dini hari.
Pengabdian orang kafir itu digaung-gaungkan, lihatlah mereka alang-alang payah, rumput-rumput basah yang merimbun purnama pada lumbung Ibu. Nelangsa disarap, terbitlah bahagia. Namun mengapa begitu susah, wahai Ibu Pertiwi? Benarkah, di atas tanah berpijak gadis-gadis bergaun putih bersih itu adalah tanah setan dilahirkan. Benarkah? Bisakah kau menjawab itu? Mengais bahagia mereka, tangisnya terus terbit akibat raga dipecuti iblis.
—
Hari pertama di desa Bumi Tarung. Tan dan Tari mulai melakukan tugasnya yaitu mewawancarai beberapa warga desa. Pagi itu Tari sudah siap dengan notes juga penanya. Begitupula Tan yang sudah siap dengan kamera, juga alat perekamnya. Sebelum berangkat mereka sudah sarapan terlebih dahulu, mencegah agar tidak mendadak lapar ditengah wawancara nanti.
"Tar, ayo berangkat biar nggak kesiangan," ujar Tan sambil mengatur kameranya di depan halaman rumah tempat dimana anak-anak suargaloka tinggal untuk sementara waktu.
"Bentar, ada yang ketinggalan tadi," sahut Tari dari dalam rumah. Kemudian Tari keluar dengan memegangi tongkat di tangan kirinya, tongkat penunjang hidupnya. "Nah yuk jalan."
Melihat Tari sudah keluar, tanpa banyak bicara lagi Tan langsung menggandeng tangan Tari. Mereka berdua berjalan menyelusuri desa untuk mencari beberapa warga yang sekenanya mau di wawancarai. Sayangnya sudah satu jam berlalu tidak ada satupun warga yang berhasil mereka wawancarai.
"Padahal masih pagi, tapi kenapa lingkungannya sepi banget kayak enggak ada kehidupan. Masih pada molor apa yak? Bangun-bangun nanti rejekinya dipatok ayam loh," ujar Tan memecah keheningan setelah beberapa waktu lalu fokus mencari warga yang bisa diwawancarai.
Mendengar ucapan Tan yang menjerumus menyinggung warga desa, Tari melepas genggaman tangan Tan dan memukul pelan lengan Tan.
"Sstttt! Berisik banget, Tan. Nggak boleh begitu dikampung orang, nggak sopan," bisik Tari dengan pelan kepada Tan.
Tari sangat menjaga sikap disini. Dia takut akan terjadi hal-hal aneh jika dia atau teman-temannya melakukan hal-hal yang menyinggung atau tidak mengenakan untuk dipandang warga sekitar.
"Huft, sorry. Abisnya udah hampir sejam kita keliling desa, tapi belum ketemu satupun warga yang bersedia untuk diwawancarai," ujar Tan yang kemudian kembali menggandeng tangan Tari untuk melanjutkan perjalanan mencari warga yang bersedia di wawancarai.
"Sabar aja. Mungkin orang-orang yang tadi ada keperluan lain," kata Tari sambil menatap kosong ke arah depan. Tangan kirinya pun tidak berhenti untuk menghentak hentakan tongkatnya ke arah depan memastikan bahwa jalan yang dia lalui tidak akan membuatnya terjatuh.
"Tar, lihat. Di depan sana ada ibu-ibu yang lagi jalan sendiri. Ayo kita samperin," ajak Tan.
Tanpa menunggu jawaban dari Tari, Tan langsung menarik tangan Tari untuk ikut berjalan ke arah wanita parubaya yang sedang berjalan sendiri itu. Saat sudah dekat, Tan dan Tari langsung memberi salam ramah secara serempak.
"Assalamu'alaikum, Bu."
Wanita parubaya yang mendengar salam itupun berhenti dan menatap keduanya. "Waalaikumsalam," sahut wanita parubaya tersebut dengan senyuman manis. Membuat Tan dan juga Tari mendengar suara yang bersahabat dari wanita parubaya tersebut. "Ada yang bisa Ibu bantu, nak?"
"Maaf kami mengganggu waktu Ibu," ucap Tan mengawali pembicaraan.
"Oh, iya tidak apa-apa."
"Sebelumnya perkenalkan saya Tan dan ini rekan saya namanya Tari. Kami mahasiswa/i dari Universitas Prabangkara yang saat ini sedang melaksanakan KKN di Desa Bumi Tarung," ujar Tan. Kemudian dia bertanya, "Kami ingin meminta waktu dan ketersediannya untuk wawancara seputar desa Bumi Tarung ini apakah boleh, Bu?"
"Tentu saja boleh. Mari, Nak. Kita ngobrol disana aja biar lebih leluasa," ajak wanita parubaya itu ke sebuah rumah sederhana namun terlihat nyaman.
"Terimakasih, Bu," ujar Tan.
"Suasana rumahnya enak banget nggak sih? Adem banget anjir." Tan berbisik pada Tari yang sedari tadi diam di sebelahnya. Tari sontak menganggukkan kepalanya ketika mendengar perkataan dari Tan.
Memang hawa di rumah ini jauh lebih nyaman daripada rumah yang mereka tempati sebagai rumah singgah mereka di desa ini.
"Iya, hawanya enak. Nggak kayak rumah yang kita tempati ya," ucap Tari pelan, namun masih bisa di dengar oleh Tan.
Setelah selesai mewawancarai wanita parubaya itu. Mereka langsung pamit pergi untuk mencari orang lain yang akan mereka wawancarai. Sebelumnya sudah pasti mereka mengucapkan terimakasih kepada wanita itu karena sudah mau menjadi narasumber pertama untuk mereka wawancarai.
Tanpa terasa matahari sudah tepat berada diatas kepala saat mereka selesai mewawancarai salah satu warga desa yang terkenal sudah lama tinggal di desa Bumi Tarung ini.
"Tan! Lu ngerasa ada hal aneh nggak pas ngewawancarain kakek yang kata nya sesepuh di sini?" Tari bertanya sambil menatap serius ke arah Tan yang ada disampingnya, sedang melihat hasil potret saat Tari dan dirinya sedang mewawancarai beberapa warga tadi.
Memang mereka secara bergantian bertanya dan jika Tari yang sedang bertanya maka Tan bertugas untuk memotret sebagai bukti.
Seketika perhatian Tan beralih dari kamera menatap balik Tari sambil mengangguk pelan, tanda dia membenarkan pertanyaan Tari tadi.
Saat ini mereka sedang berjalan pulang ke rumah tempat mereka tinggal untuk sementara waktu. Memilih untuk makan siang di rumah ketimbang mencari makanan lain yang ada di sekitar, agar lebih hemat kalau kata Tari.
"Lihat! Kakek tadi natap kita seakan-akan nggak seharusnya kita ada disini," cakap Tan sambil mengingat bagaimana ekspresi sang sepuh saat melihat mereka berdua. Bukan ekspresi hangat yang dia lihat, melainkan ekspresi iba juga dingin seakan akan mereka telah melakukan kesalahan besar dan tidak dapat dimaafkan atau dibantu sama sekali.
"Yaudahlah Tar. Mungkin dia nggak suka ada orang dari kota yang datang ke pelosok sini. Ayo pulang sekarang gue udah laper."
Tanpa ba-bi-bu lagi Tan melanjutkan perjalanan dengan menggandeng tangan Tari. Tari berjalan di sebelah Tan tanpa banyak protes, namun eskpresinya mununjukan bahwa dia sedang memikirkan wawancaranya yang terakhir tadi.
"Banyak hal yang sudah terjadi, dan tidak seharusnya semua diumbar. Apalagi terhadap kalian orang-orang luar yang baru datang ke desa ini."
Pada nyatanya ucapan sang sepuh masih terus terngiang dalam pikiran Tari. "Apa ada yang salah dari kedatangan kita?" sekira-kiranya pertanyaan itu yang sedang terlintas di dalam benak Tari.
"Tar! Jangan bengong. Cepet jalannya gue udah laper."
Seruan dari Tan yang sedang menatapnya dari samping membuyarkan lamunan Tari. Entah sejak kapan dia melamun hingga tidak menyadari bahwa sejak tadi Tan sudah berhenti bahkan menengok ke samping sambil menatap aneh kepada dirinya yang sedang melamun sambil berjalan.
"Ngagetin aja lu. Ck, ya udah ayo."
Tari kembali berjalan sambil menarik tangan Tan. Mereka berdua kembali berjalan beriringan untuk pulang. Hingga sampai dimana Tari tidak sengaja melihat seklibat rombongan orang-orang berpakaian putih masuk ke dalam hutan. Dengan heboh Tari menggoyangkan tangan Tan.
"Apaan sih tar? Lo kenapa?" tanya Tan yang merasa heran kenapa tiba-tiba Tari menjadi heboh seperti ini.
"Itu tan! Tadi gue ngelihat sekelibat orang-orang pake baju putih-putih masuk ke dalam hutan!" akunya dengan cepat.
Tan tampak melongo, tidak percaya dengan apa yang tari lihat. Bagaimana bisa percaya? Jika Tari saja buta. "Mana, Tar? Dimana? Nggak ada apa-apa disini. Lagian lu gak usah boong, lu tuh buta gimana bisa lihat?" ujar Tan dengan santainya, tanpa mengetahui bahwa perkataanya melukai hati Tari.
"Kearah hutan, Tan. Kali ini gue yakin," tegas Tari dengan dingin sambil menunjuk ke arah hutan.
Kemudian Tan menoleh kearah sana dan benar. Dia melihat bekas jejak kaki mengarah ke dalam hutan, bahkan tadi Tan melihat melihat ujung gaun putih yang berkibar sebelum hilang tertelan banyaknya pohon di hutan.
Tanpa menunggu lama, Tan langsung berjongkok di depan Tari menyuruh Tari untuk naik ke atas punggungnya. "Ayo naik, Tar. Kita harus lihat apa yang ada di dalam hutan."
Tanpa menunggu lama Tari naik ke punggung Tan yang langsung Tan bawa dengan sedikit berlari masuk ke dalam hutan. Di dalam hutan Tan mengikuti jejak kaki bekas gerombolan orang berbaju putih itu. Tadi Tari yang berada dalam gendongannya terdiam, merasakan hawa yang makin tak enak disekitarnya.
Beberapa meter dari segerombolan manusia itu berhenti. Tan menurunkan Tari, lalu membawa tari bersembunyi di balik pohon besar. Tari dan Tan sama-sama menggintip gerombolan orang yang mayoritasnya perempuan dengan dahi yang mengkerut.
'Itu tadi bukannya orang-orang yang sama, kayak yang gue lihat waktu perjalanan masuk ke desa ini?' batin Tari sambil terus menatap ke arah gerombolan itu.
"Tar, lu bisa ngelihat mereka?" bisik Tan sambil terus menatap ke arah sana.
"Bisa. Lu tau, Tan? Mereka juga orang-orang yang sama dengan yang gue lihat waktu kita masuk ke desa ini." Tari berkata sepelan mungkin. Takut jika suaranya terdengar lebih keras sedikit saja maka habislah dia dan Tan ketahuan tengah menggintip kegiatan segerombolan orang aneh tersebut.
Beberapa menit berlalu dengan kesunyian, juga Tan dan Tari yang masih fokus menatap ke arah gerombolan tersebut sebelum PUK sebuah tangan menepuk pelan pundak Tan yang membuat pemuda itu hampir berteriak terkejut. Jika tidak ada Tari yang menggenggam tangannya. Dengan perlahan Tan dan Tari membalikan badan, hingga Tan dapat melihat seorang wanita cantik bergaun putih yang mungkin gaun itu yang dilihat saat di luar hutan tadi.
"Tan, siapa?" tanya Tari membuyarkan lamunan Tan, kemudian Tan membungkuk.
"Enggak tau, Tar. Tapi kayaknya salah satu dari mereka. Emang lo nggak bisa lihat?" tanya Tan yang dibalas oleh gelengan kepala dari Tari, yang menandakan bahwa gadis itu tidak melihat apa-apa.
Perempuan yang tadi menepuk pundak Tan kemudian mengeluarkan wajah panik, dengan cepat perempuan itu menggenggam tangan kiri Tari yang tidak memegang apapun.
Melihat ekspresi wajah perempuan itu yang panik membuat Tan menyadari bahwa ada hal yang tidak beres terjadi disini. Tari yang merasakan tangannya di genggam oleh orang lain pun jadi terkejut, dengan raut tak terbaca menoleh ke arah kanan dimana Tan berdiri.
"Ada apa?" desak Tan kala melihat wajah perempuan itu yang terlihat semakin panik.
"Ka... Kalian harus pergi!" ucap perempuan itu dengan suara lirih.
"Kenapa? Kenapa kita harus pergi?" tanya Tari yang mulai menyadari situasi yang sedang terjadi.
"Kalian akan di incar! Cepat pergi dari sini sebelum kalian menyesal!"
Tari dan Tan semakin tidak paham dengan maksud dari perkataan perempuan yang tengah berada di hadapan mereka ini. Tan yang memandang bingung dan Tari yang juga membisu membuat perempuan itu menjadi semakin frustasi.
"Kalian harus pergi! Kalau tidak kalian akanー ...."
DOR!
Sebuah suara tembakan dengan percikan darah yang terciprat di wajah Tari membuat keduanya syok. Belum memahami apa yang terjadi sebuah kepala kambing jatuh tepat di hadapan Tan dengan ukiran tepat di jidat kambing tersebut. M A T I itu tulisan yang terukir tepat di kening bangkai kepala kambing tersebut.
Tanpa berlama-lama Tan langsung menggandeng tangan Tari lalu menariknya pergi berlari keluar dari hutan. "Ayo lari, Tar!!!"
—
Teriknya matahari menembus kulit kepala Wisang. Di sampingnya ada Aning yang tak berhenti mengoceh sebab mereka sudah berkeliling desa demi mendapat informasi sebanyak-banyaknya atas perintah yang dikumandangkan oleh sang Ketua, Tan Sjahrir. Sesekali tungkai nakal milik Aning menendang bebatuan kecil yang mereka lewati, pun dengan Wisang yang tak sekali-duakali menegurnya.
"Bangkek, capek banget bangsat. Harus ke mana lagi coba? Mau balik, nanti dibilang kurang sama Tan," keluhnya. Meski begitu, ia terus berjalan hingga tak sadar bahwa cepat langkahnya mendahului Wisang.
Pergerakannya terhenti kala aroma bunga melati membelai alat penghidunya. Bersamaan dengan itu, keseimbangannya hilang sebab sesuatu menabrak bahunya dengan kuat hingga tubuhnya tersungkur ke tanah. Ia bangkit dan membersihkan tangan dan roknya dari noda tanah. Ia berdecak dan menoleh, "Nggak usah iseng, ini sakit tau!" serunya yang membuat Wisang terjengit kaget.
"Hah? Kok gua?! Gua gak ngapa-ngapain, Ning. Jarak kita lumayan jauh, gimana gua bisa dorong lu? Lagian kaya gak ada kerjaan banget gua tiba-tiba dorong lu." Wisang sangat bingung kala Aning menudingnya sebagai dalang atas kesialan yang menimpanya.
Aning menghela napasnya panjang, "Sang, di sini tuh gak ada siapa-siapa selain kita berdua, terus siapa lagi yang dorong gue kalau bukan lo? Masa setan yang dorong gue??? Mana ada setan siang-siang, anjir?" Aning sudah kepalang kesal hingga tak dapat mengontrol perkataannya. Hal tersebut membuat Wisang harus mengingatkannya perihal petuah yang harus dipatuhinya untuk yang kesekian kalinya.
"Ning, lu kalau ngomong dipikir dulu. Gak inget apa yang disampein? Ngomongnya jangan ngawur," tegurnya seraya mengusap wajahnya.
"Ya gimana? Abisnya gue kesel banget!" serunya yang membuat Wisang diam seribu bahasa. Ia menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan tingkah laku teman perempuannya itu.
"Itu ada sungai di situ," ujar Wisang sambil menunjuk sungai yang berada tak jauh di depan mereka, "Mending lu basuh luka lu dulu, biar gak infeksi."
"Ya udah, ayo temenin." Aning membawa langkahnya menuju sungai tersebut.
Wisang tak menjawab, tapi ia melangkahkan kakinya mengikuti kemana Aning pergi.
Sesampainya mereka berdua di tepi sungai, Aning langsung berjongkok dan mulai membersihkan luka pada tangannya. Wisang sedang asik memperhatikan burung yang hinggap di dahan pohon, itu burung Jalak Suren Jawa yang memiliki nama ilmiah Gracupica Jalla. Sempat terbesit perasaan heran pada benaknya, pasalnya burung tersebut termasuk dalam jenis burung langka yang sangat sulit ditemukan, bahkan burung tersebut harusnya hanya ada di alam liar. Tapi mengingat keadaan alam di Desa Bumi Tarung yang masih sangat terjaga, perasaan heran Wisang pun hilang. Dari pada itu, dirinya lebih fokus kepada sosok burung kematian yang tiba tiba hinggap di dahan pohon sebelah, yakni burung Gagak. Ia menggelengkan kepalanya, tak ingin hal buruk menimpa dirinya.
Bersamaan dengan itu, Aning sibuk membersihkan kedua telapak tangan dan pakaiannya menggunakan air yang mengalir. Sumpah serapah ia keluarkan seiring berjalannya kegiatan yang ia lakukan. Lagi-lagi hidungnya mencium aroma bunga melati yang sangat kuat. Ia tak mengindahkan indra penciumannya dan terus menggosok roknya.
Netranya menangkap dua tangan pucat bergerak hendak menangkap kedua kakinya. Reflek, dirinya bergerak mundur. Ia berkedip berulang kali dan bayangan kedua tangan pucat itu menghilang.
Helaan lega keluar dari belah bibir Aning. Ia berdiri dan meregangkan ototnya. Tak hanya itu, dirinya kembali ditabrak oleh sesuatu yang membuatnya jatuh ke dalam sungai.
"Sang! Ya elah, lo ngapain....—" Kalimatnya terputus kala menoleh dan didapatinya Wisang yang berada jauh darinya, "Sang? Wisang!"
"Oit, kenapa Ning?" tanyanya yang asik duduk di belakang sana, "lu ngapain nyebur? Mau berenang? Asik bener buset," candanya.
Aning tak habis pikir. Tak pernah ada yang salah dengan matanya. Ia melirik Wisang dan kedua kaki jenjangnya sendiri di dalam air secara bergantian. Sosok tangan pucat itu kembali muncul, kaki Aning tak bisa digerakkan. Ia menoleh ke arah Wisang.
"Sang, kaki gue dipegang ..." ringisnya. Hal itu membuat Wisang terjengit dan bergerak ke arahnya, "Nggak bisa gerak! Itu ada tangan!"
"Ning, yang jelas kalau ngomong! Tangan apa sih?! Jangan bikin gua panik," tegasnya.
Aning tak kunjung menjawab, malahan tubuhnya semakin tenggelam ke dalam sungai, membuat Wisang semakin panik dan ikut menceburkan dirinya ke sungai. Aning meremas pergelangan tangan Wisang cukup kuat. Mungkin saja aksinya meninggalkan beberapa goresan di atas kulitnya. Wisang menarik tubuh Aning, anehnya sama sekali tak ada yang menahannya. Tubuh Aning sangat ringan baginya. Ia menghempaskan Aning ke tepi sungai begitu saja, lalu keluar dari dalam sungai.
"Apa-apaan, sih? Lu mainin gua ya?! Jelas-jelas gak ada apa apa. Tangan apaan, sih? Candaan lu gak lucu ya, Ning." Wisang meninggalkannya begitu saja.
Sedangkan Aning, ia masih berdiam diri. Tak percaya apa yang barusan ia alami. Tangan kanannya bergerak menampar pipinya.
"Nggak. Nggak ada yang namanya setan."
—
Sunyi, senyap, sepi. Begitulah kira-kira kondisi yang tengah dirasakan Chairil dengan Suri. Keduanya sama-sama fokus pada kegiatan yang tengah dilaksanakan masing-masing. Jari-jemari Chairil dengan telaten mengetik di atas papan mesin tik versi canggih di abad dua puluh satu untuk menyelesaikan program kerja mereka. Sedang Suri, perlahan-lahan mengeja kata demi kata apa yang diharus ketik oleh Chairil.
Sambil berbincang, Chairil mengusung topik lama akan rasa kegundahan yang selama ini mengganggunya. “Ngerasa nggak sih, Sur, kampung ini tuh aneh banget?”
Suri menatap Chairil tidak mengerti. “Aneh gimana, deh?”
Chairil menghentikan kedua kuasanya, mengernyit heran tatap Suri. “Masa kemarin— ...”
CEKLEK!
“Eh, kalian di sini toh.” adalah suara Pak Prabu.
Chairil berubah masam wajahnya. Ia kembali fokus untuk mengetik sesuatu. Sedangkan Suri tersenyum tidak enak pada Pak Prabu yang masuk tanpa mengucapkan salam ke pondok penginapan mereka. “Cari apa, ya, pak?”
Pak Prabu hanya menggeleng. “Enggak, Neng, kirain tidak ada orang. Mau saya kunci tadi. Yaudah ya, lanjutkan tugas kalian.” Dan Pak Prabu kembali keluar dari pondok untuk menemani kawan Suargaloka lain yang akan melaksanakan tugas mereka masing-masing.
Kembali lagi keadaan sepi kecuali kicauan burung-burung yang bertengger di kayu dekat jendela pendopo.
“Eh, tadi kamu mau ngomong apa, Ril? ”tanya Suri begitu dirasa suara langkah Pak Prabu tak lagi terdengar.
“Enggak jadi, deh. Udah lupa juga.” Suri hanya mengernyit bingung. Terlebih ia menyadari hawa ruangan berubah sepeninggal Pak Prabu. Wajah Chairil pun entah mengapa terlihat semakin muram. Namun ia menepis jauh pikiran itu, tugas mereka kini jauh lebih penting daripada pikiran tak berarti itu.
Baru saja mereka hendak menuliskan bait selanjutnya, Suri kembali merasa tak nyaman. Netranya menyapu sekeliling ruang petak itu hanya untuk mendapati sekelebat bayangan besar yang menghantui mereka dari sudut ruangan. Bayangan hitam pekat, bertubuh besar, mata merah menyala, persis gambaran makhluk halus dalam film. Lidahnya kelu, meskipun Suri sendiri sudah menjadi ‘hantu’, ia benar tidak menyangka bahwa ia akan melihatnya dengan mata kepala sendiri. Ia menatap lekat-lekat bayangan itu, seolah sedang saling bicara dalam angan-angan.
Lamunan Suri buyar begitu Chairil memekikkan namanya, “Sur? Suri? Kenapa malah bengong?”
“Kamu ngerasa ada sesuatu nggak, Ril?” Suri balik bertanya. Chairil mendongak dari yang semula tatapnya tertuju pada laptop, lalu menjawab pertanyaan Suri dengan wajah bingung. ‘Kenapa emangnya?’ Mungkin begitu isi batin Chairil.
“Ah, udah, deh. Ayo cepat kita selesaikan. Aku udah nggak nyaman banget di sini.” Suri melepaskan pandangannya dari bayangan itu. Ia segera mengeja kalimat selanjutnya, dengan agak terburu-buru.
Selang puluhan menit berlalu, berkat ejaan Suri yang terlampau cepat dan kemampuan mengetik Chairil dapat mengikuti, tugas mereka pun selesai. Begitu Chairil menekan titik untuk menutup laporan, Suri segera menarik lengan Chairil untuk keluar dari ruang itu. Tepat sebelum Chairil melangkah keluar, ia lantas menggerakkan netranya untuk mencari sekeliling sebab Suri bertingkah seperti itu. Begitu ia melandaskan pandangannya ke sudut ruang, ia lantas paham. Oh, karena itu.
—
Risjaf terlihat mengotak-atik kameranya bersama Rindu yang hanya memainkan handphone-nya. “Akhirnya beres, yuk Ndu kita keluar mulai dokumentasi,” ujar Risjaf seraya bangkit dari duduknya.
Risjaf dan Rindu keluar dari tempat mereka menginap selama melaksanakan KKN, dan setelahnya sibuk memandangi sekeliling mencari lokasi yang tepat untuk merekam video dokumentasi. “Kita arep mulai dari mana nih, Jep,” ujar Rindu saat sudah tiba di luar rumah.
“Kita mulai dari nol ya,” ujar Risjaf seraya memotret muka Rindu.
“Yang bener dong, Jep,” bales Rindu sambil memukul bahu Risjaf pelan.
“Iya udah bener nih, kita mulai rekam dari depan rumah terus lanjut ke sekitaran rumah ini,” ujar Risjaf sambil menyiapkan posisi kameranya.
“Oh, berarti kita buat cinematic video dulu yo,” sahut Rindu seraya mengisyaratkan 'ok' dengan tiga jarinya.
“Yoi,” balas Risjaf.
Mereka pun mulai mengerjakan tugasnya. Lingkungan disekitar tempat mereka menginap memang asri. Bahkan banyak ditumbuhi vegetasi liar. Hingga tanpa disadari mereka berdua hampir tersesat.
“Jep, itu ana orang mbok?” ucap Rindu yang tanpa sengaja melihat sosok hitam yang sedang mengintip dari belakang pohon.
“Mana?” ini suara Risjaf yang sedang melihat dari lensa kamera ke arah yang Rindu tunjuk.
“I-iku,” balas Rindu, dengan nada gugup. Ia sebelumnya tidak pernah melihat mahluk halus, begitu pula dengan Risjaf. Bahkan tidak ada satupun anggota Suargaloka yang bisa melihat hal-hal seperti itu, kecuali Tari seorang.
“Nggak ada apa-apa kok,” ujar Risjaf saat melihat ke arah yang ditunjukkan oleh Rindu.
“Iku ada, Jep, dia ngelihat ke sini,” balas Rindu sambil meremat baju yang dikenakan Risjaf.
Risjaf mencoba kembali melihat dari lensa kameranya dan segera menurunkannya begitu sosok yang tadi Rindu maksud semakin mendekat. Kemudian masuk ke dalam rumah sembari menarik tangan Rindu. Mereka berdua duduk di ruang tamu, Risjaf kembali melihat kameranya dan menatap sosok hitam yang terlihat dekat di kameranya. “Masa bisa ada sih di siang bolong gini.” Risjaf berujar pelan dengan tatapan fokus ke layar kamera.
BERSAMBUNG.
Komentar
Posting Komentar