PENGELANA FANA: PART 1.

SELAMAT DATANG PENGEMBARA dua dimensi. Satunya penemu gerbang batas dua dunia, dan satunya lagi terjebak dalam memori tak beraturan. Yaitu, Bening Oetari dan Tan Sjahrir. Sudahkah merdeka kalian? Sudahkah bertaubat kalian? Sudahkah menyesal kalian? 

SUARGALOKA katanya komplotan orang pembohong, penipu, pendosa, pembunuh, tak memiliki hati. SUARGALOKA katanya lingkup pertemanan yang manusianya setengah setan. SUARGALOKA katanya kumpulan orang-orang biadab. Lantas, beritahu aku kawan, bagaimana caranya menebus kesalahan akibat terlena akan nikmat eufori candu duniawi.




"Akhirnya kamu datang juga." Aku yang tak kuasa menahan beban rasa, mendengar kalimat itu sayup-sayup menghilang, ia membawaku ke dalam pelukannya, seolah ada tangis haru yang disembunyi tetapi aku tak membuka mata walau sedetik, bukan aku tak mau, aku tak mampu. Kepala ini bertumpu pada bahunya, lalu setelah itu aku kehilangan kesadaran. Kelak dialah yang akan kupanggil Si Lentera, ia menuntunku ke tempat yang tak pernah kujangkau sebelumnya, ia juga yang menyiram hati dengan sinar temaramnya. Ialah Fajar Selatan.

Hening menjadi orang ketiga. Tidak ada yang membuka suara, termasuk aku sebab sorot matanya begitu lekat hingga aku salah tingkah. "Fajar," panggilan itu sebuah ikhtiar. Ikhtiar supaya ada pembicaraan, ikhtiar supaya aku tidak salah tingkah. "Kenapa?" tanya Si Lentera atau namanya: Fajar Selatan.

"Kenapa kamu sangat baik kepadaku?" Akhirnya pertanyaan itu lolos juga, setelah segala dilema.

"Kalau aku bilang, aku ini kekasihmu, pacarmu, atau belahan jiwamu. Mungkin setelah ini tanganmu akan mendarat di pipi." Dia bersungguh-sungguh, kulihat tekad di bola matanya. Tekad tak bernama namun berakar kuat.

"Tapi kita baru bertemu saja di sini."

"Aku bertemu kamu setiap hati, mengamati kamu, tersenyum karena kamu— ...." Alisnya terangkat sedikit, "sejak aku masih hidup di dunia." Aku tak mampu berkata-kata. "Aku ingin mengenalmu, aku ingin mengenalmu dan mencintaimu sedalam saat aku tahu siapa diriku sendiri. Mungkin sewaktu itu aku masih pengecut, Tari, jadi kuberanikan mengatakannya saat itu." Aku semakin hilang akal, pipi ini masih sudah merona, mengejekku yang tidak pernah jatuh cinta. Jadi begini rasanya?

Kemudian Si Lentera mempersilakanku untuk mencicipi masakannya sedangkan ia memilih untuk bermesraan dengan gitar di sampingnya, yang entah didapat dari mana. Alunan kombinasi suara dan petikan senar gitarnya menemaniku tenggelam dalam lamunan. Tanda tanya tak mampu kuusir begitu saja, aku terus mencari jawab atas rasa penasaran yang membelit setengah jiwa. Aku terlena, semenjak pertemuanku dengannya aku merasa menari di surga. Tetapi sebelah jiwa yang lain bertanya-tanya, kenapa dia bersusah payah demi aku? Memangnya apa yang aku miliki? Kekayaan? Aku miskin. Kecantikan? Bisa lihat saja sudah bersyukur, lalu apa? Beginikah apa cinta itu sebenarnya? Namun apa jaminan ia tak akan tinggalkan aku?

"Kamu tahu aku butakan, Fajar?"

"Tetapi hatimu lebih tajam dari orang-orang yang bisa melihat." Dia membuat aku kembali tertegun.

"Aku mengenal sosok Ibu dari Ayah, meski sesekali perlu kupaksa, namun ada saat dimana aku juga perlu menjaga perasaannya. Tahun ke tahun Ayah berusaha tegar, ditinggal meninggal, harus mengurus putri berkekurangan dan ditimpa kehidupan. Sehari pun aku jadi dia tidak akan sanggup."

"Memang tidak akan ada orang yang sanggup menjalankan kehidupan orang lain walau nikmat dirasa, katakanlah begitu." Si Lentera, dengan tengannya, membalas perkataanku yang terkesan menuntut, entah menuntut apa, tapi ada api membara yang menggebu-gebu di kalimatku sebelumnya. Walau dia tak mengatakannya secara langsung tetapi aku dapat merasakan bahwa dia sangat mengenalku. Dari cara Si Lentera memperlakukanku, menghadapiku dan hal-hal kecil yang menurut orang tak penting. Aku lagi-lagi bertanya, sebenarnya siapa Si Lentera ini?

ㅤ ㅤ"Bagaimana denganmu?"
ㅤ ㅤ"Apanya yang bagaimana?"

"Cerita hidup, hal-hal yang terkenang, yang disuka dan yang tidak, teh manis atau kopi hitam, hal-hal yang perlu aku ketahui darimu. Sebab kamu sepertinya sangat mengenalku." Ternyata terlepas dari gelap membawa aku ke dunia yang tidak aku tahu. Rasanya seperti tertinggal jutaan tahun dan ribuan purnama. Bahkan menginjakkan di Indonesia yang baru saja merdeka, aku masih merasa tertinggal, tidak tahu apa-apa.

"Aku bahkan tidak mengenal diriku sendiri, Tari. Yang ada di ingatanku itu hanya tentang kamu, entah mengapa dunia bekerja begitu tidak adil." Lagi-lagi kami memiliki kesamaan, sama-sama jiwa yang kosong. "Aku ini tidak hidup tidak juga mati. Tubuhku masih ada di bumi, tepatnya di sudut yang tidak aku ketahui sedangkan jiwaku berkeliaran disini.”

“Aku bahkan mencoba untuk membunuh diriku sendiri." Aku menghentikan langkah, dia juga. Masih dengan senyuman yang sama, senyuman pertama yang aku lihat, dia menghadap kepadaku.

"Tari, untuk apa bunuh diri? Semua yang ada di sini semuanya memang sudah mati."

Dengan gusar yang tertawa jahat, aku melanjutkan jalan tanpa mengatakan apapun, di sana ada Si Lentera yang kebingungan melihat tingkah lakuku. "Kamu kenapa, Tari?"

Aku benar-benar terlena, aku keterlaluan, bisa-bisanya aku melupakan Ayah. Tak henti-hentinya serapah keluar untuk diri sendiri. "Aku harus pulang, Fajar. Antar aku pulang, ke dunia, dunia manusia." Bibir ini mendesak ia yang sudah sangat baik kepadaku.

"Menetaplah sabentar, kita belum bertemu ibumu, belum juga melihat bunga sakura." Aku rasa akan sia-sia sebab ucapannya tidak memberikan jawaban. Aku tak mengindahkan perkataannya. Biarlah dia jika tidak ingin membantuku untuk pulang, biarlah kucari sendiri walau seribu cara harus aku imani asalkan bisa kembali bertemu dengan Ayah.

Sekarang pukul dua subuh, dingin angin menusuk tubuh. Andai saja aku ingat dimana pintu masuk pasti juga bisa kutemukan pintu keluar. Namun sayang, terakhir kali aku pingsan, hilang kesadaran, hanya putih dan Si Lentera yang melekat. Kini tercampak aku di jalanan kosong tak tentu arah.

"Tari!" Aku menoleh ke arah seruan itu berasal, Si Lentera. Ia mendekat dengan tatapan yang belum mampu aku artikan. "Tunggulah sampai matahari terbit, akan kuantar ke gerbang dua dunia."

Aku menggelengkan kepala, "Aku harus pulang sekarang, Fajar."

"Tidakkah engkau senang disini? Bisa melihat, bisa dapatkan semua yang kau mau, aku akan mengajakmu bertemu ibuku, melihat bunga sakura, melihat pelangi." Bujukannya yang terdengar egois itu aku dapat maklum, ini bukan salah Si Lentera sepenuhnya atau bahkan memang dia tidak salah apa-apa. Namun aku hanya dapat tersenyum, kuraih tangannya sehingga berjabat tanganlah kami berdua. "Terima kasih sudah memperbolehkanku menyicip dunia yang penuh warna, dimana ada kamu yang baik hatinya. Tetapi, Fajar, ini bukan dunia yang aku mau." Saat detik dimana kalimat itu sempurna menjadi pisau yang tajamnya melebihi samurai Nippon, aku menyadari bahwa aku sudah menyakiti hatinya.

Aku tahu dia kehabisan kata-kata sebab perkataan baik yang menjelma jahat itu lebih kejam. Tak ingin terlampau menyakitinya, jadi kuputuskan untuk tidak saling bertemu lagi. Di dua dunia, arwah dan manusia. "Kalau memang begitu maumu, aku bisa apa, Tar?" Aku melepas jabat tangan. Aku tersenyum getir, lihat, langit langsung menghukumku, menurunkan bala tentaranya. Rintik hujan pukul empat pagi. "Jadi aku terima perpisahan ini dengan lapang hati. Barangkali nanti kamu rindu, rinduku sudah kutitipkan pada pupsa radi. Kupercayakan padanya."


Sesaat Tari meneteskan air mata dalam pingsannya yang tak kunjung sadar. Ia merasa bahwa sudah melakukan hal paling bodoh di dunia karena rela menyerahkan nyawa demi jiwa yang raganya sudah mati. Dalam mimpi ia merasa telah tinggalkan Fajar yang mana sebuah keputusan baik. Lantas di mimpi berikutnya, ia bertemu sang malaikat baik tengah bawa pulang wanita kesayangannya.


Sepi, itulah yang dirasakan Tari saat ini. Tari ingat betul sebelum terbagun di tempat kosong ini dirinya tak sadarkan diri, entah itu karena dia pingsan atau Fajar benar-benar membawa dirinya ke alam miliknya. Berjalan di tampat kosong itu sambil melihat sekitar yang benar-benar seperti ruang hampa, rasa takut mulai hinggap di dirinya. Bukan ini yang dia inginkan, bukan kesendirian walau dengan penglihatan baik yang dia inginkan. 

"Fajarr, kamu dimana?" panggil Tari dengan suara lirihnya, suara yang sarat akan ketakutan. Kalau memang begini akhirnya dia memilih tidak meninggalkan anak-anak Suargaloka di dunia sana. Ya beginilah sifat manusia selalu menyesal pada akhirnya dan mengutuk apa yang telah mereka pilih di putaran kehidupan sebelumnya. 

Perasaannya semakin kacau sebelum sebuah suara memanggilnya dari arah belakang, dengan cepat Tari membalik tubuhnya dan melihat sosok Fajar yang berdiri dengan pakaian putih. Benar-benar tampan, Tari berlari menghampiri Fajar dengan secepat mungkin. Hingga sampai di hadapannya Fajar menarik tangan Tari entah kemana, Tari hanya bisa mengikuti tanpa banyak bicara dia sedang memahami apa yang sedang terjadi padanya. "Tar, ada yang mau ketemu sama kamu," ucap Fajar saat sudah sampai disebuah tempat yang terdapat satu pohon juga satu bangku di bawahnya, tepat di samping bangku tersebut berdiri sesosok perempuan yang berdiri membelakangi Fajar juga Tari. Tari memusatkan etensinya ke pada sosok perempuan itu hingga perempuan itu membalikan tubuhnya. 

Runtuh semua pertahan tari, liquit bening turun dengan derasnya saat melihat wajah dari sosok perempuan itu. Wajah cantik yang akan selalu dia ingat, wajah yang dia rindukan senyumnya juga wajah yang mengangkat takutnya akan menyakiti sosok indah tersebut. 

"Tari, ibu rindu sekali sama kamu nak." Ya sosok tersebut adalah ibunya tari, tersenyum manis sambil merentangkan tangannya menunggu sang anak berlari ke arahnya, melihat ibunya tanpa pikir panjang Tari langsung melepas genggaman tangannya pada Fajar dan berlari memeluk ibunya dengan erat. 

"Bu, Tari rindu sekali. Maafin Tari, Bu, tari udah jahat bunuh ibu," ucapnya sambil terisak mengingat hal bodoh yang dia lakukan beberapa tahun silam yang membuat ibu kehilangan nyawa. 

"Udah, udah, ibu tidak apa, mungkin memang sudah waktunya ibu pergi, nak. Lagipula sekarang ibu bisa melihatmu, tapi tidak seharusnya kamu berada di sini Tari, mengapa kamu bisa berada di tempat ini?" tanya Ibu Tari sembari menatap anaknya, Tari menunjuk Fajar yang diam menyaksikan pertemuan kedua ibu dan anak beda alam tersebut dengan wajah santainya. 

"Tari ikut Fajar bu, Tari nggak mau di bumi. Tari mau ikut Fajar aja sama ibu," ucapnya pada sang ibu, mendengar pernyataan sang anak membuat dua menggelengkan kepala tak habis pikir kenapa anaknya kembali melakukan hal bodoh sama seperti beberapa tahun silam? 

"Tidak, Tari, tempatmu bukan di sini. Kamu tidak bisa ikut ibu ataupun fajar nak, kamu harus kembali. Teman-temanmu menunggu, ada ayah juga yang menunggu dan satu lagi, kamu mempunyai masalah yang harus kamu selesaikan. Ibu tahu kamu sudah membuka gerbang kematian bukan? Kamu harus bertanggungjawab Tari, jangan lari dari kewajibanmu," ucap Ibu Tari dengan tegas, Tari termenung mendengar ucapan sang ibu. Ya memang benar harusnya dia menyelesaikan masalah yang dia tinggalkan kepada temannya. Tapi apakah dia sanggup? 

Menatap Fajar dengan pandangan sendu, dia tidak ingi meninggalkan cinta pertamanya dengan cara seperti ini. "Benar apa yang ibumu bilang Tari, kita sudah berbeda alam. Dan sudah seharusnya kau pulang, tugasku sudah tunai untuk mempertemukanmu dengan ibumu," ucapnya dengan senyum teduh, Tari semakin dibuat linglung, dia bingung harus mengambil langkah seperti apa. 

"Ingat Tari, kamu telah membuka gerbang itu dan kamu harus menutup nya. Entah apapun yang harus kamu bayar atas perbuatan tercelamu, kamu harus membayarnya nak," ucap Ibu Tari menyadarkan sang anak. 

Ya benar, harusnya Tari menyelesaikan segalanya, bukannya kabur dia menatap ibu dan Fajar sekali lagi dengan intens. Merekam dua sosok istimewa yang mungkin akan dia rindukan. Setelahnya dia berjalan menjauhi keduanya, dan tersenyum kecil. 

"Baiklah, Tari pamit. Tari akan menyelesaikannya walaupun itu akan merenggut segalanya. Terima kasih untuk harsa sesaat yang kamu kasih ke aku Fajar, terima kasih sudah memaafkan Tari bu, Tari pamit." Setelahnya cahaya terang melahap tubuh Tari kembali pada alam seharusnya. Alam dimana dia dilahirkan, dan Tari harus menyelesaikan kekacauan yang dia buat.


Pada akhirnya, semua manusia 'kan kembali sang pencipta. Berkalang tanah 'tuk selamanya. Namun, pantaskah jika manusia mendahului Tuhan untuk mengambil nyawanya? Suri, berjuta kali ingin kembali ke pangkuan sang pencipta. Meskipun pada akhirnya, ia membatalkan niatnya itu. Sial bukan kepalang, Suri tetap jatuh meski niatnya t'lah pergi.

Lihat saja kau, Bentang.

"Cah ayu, sedang apa disini?" Lelaki paruh baya itu menyapa Suri yang tengah berjalan menuju peristirahatan para pria.

"Suri mau ketemu Bentang, Pak. Permisi." Balas Suri ramah.

"Ooh, Bentangnya ada di teras belakang." Suri tersenyum sopan lalu bergegas menuju tempat yang diarahkan.

"Bentang." Suara parau Suri memenuhi ruangan. 

"Suri? Ngapain kesini?" Bentang yang tengah fokus pada bacaannya mendongakkan kepalanya.

"Aku rasa, kita perlu bicara." Lantas, Suri duduk di hadapan Bentang.

"Tentang?" Bentang mengernyit bingung.

"Tentang kenapa aku bisa mati dan alasanmu." Suri menatap Bentang tajam. Wajah lembut dan senyum sopannya telah sirna dari air mukanya.

"Maksud lo gimana? Lo kan bunuh diri? Terus, kalau soal lo bangkit lagi, gue juga gak paham." Berlagak bodoh, Bentang masih memasang wajah tak berdosa.

"Bentang, aku tahu kamu yang mendorongku, gak perlu mengelak. Kenapa aku, Bentang?"

"Sur," Bentang menjeda perkataannya. "Kalau gua jelasin, apa lo mau denger?" Kedua bahunya menurun, netranya seakan tak berani menatap atensi Suri yang ada didepannya.

Suri menghela nafas, tujuan dirinya menemui Bentang memang untuk meminta penjelasan. Lantas Suri mengangguk sebagai jawaban.

"Gua keliru." Ujarnya, Menatap lekat manik Suri, "Gua Kalut, Gua gelap akan kebencian. Yang seharusnya gua pikir-pikir dulu sebelum bertindak." Kali ini Bentang tak lagi mengelak.

"Kamu seharusnya gak ngelakuin itu, Tang." 

Bentang membenarkan perkataan Suri. "Iya, maaf gua udah jahat banget sama lo." Lirih Bentang, nadanya terdengar tulus. "Gua dorong lu karena gua kira lo selingkuh sama bokap gua. Kalian keliatan deket banget, apa gua ga pantes untuk curiga?" Lanjutnya, melontarkan semua pikiran yang ada diotaknya saat itu.

"Aku paham, Tang." Suri terlihat iba. "Tapi aku juga pantas kan, kalau marah sama kamu?" Tanya Suri balik.

"Pantas." Seru Bentang, "Silahkan marah Sur, kalau cuma itu yang bisa buat lu melampiaskan kebencian lu. Gua terima." Pasrah, mungkin ini yang Bentang rasakan.

"Udah terlalu banyak kebencian, Tang." Suri menghela nafasnya, "Dan kayaknya itu semua cuma akan buang waktu kalau aku terus-menerus menetap sama rasa itu." Bentang merasa sedikit lega sesaat mendengar kalimat Suri.

"Gua minta maaf sekali lagi, Sur."

"Aku mau maafin kamu." Suri melapangkan segala kebencian nya, mungkin memang harusnya seperti ini daripada membalas dendam yang hanya akan menimbulkan benci yang lainnya.

Mendengar kalimat Suri, Bentang tak henti mengucap syukur. Senyumnya melengkung simpul, rupanya pun tak semurum tadi. Dan benar seperti apa yang dikatakan Chairil kalau Suri memang anak yang baik. Suri temannya yang pemaaf, Suri perkumpulan dari berbagai malaikat. Sungguh, Bentang merasa lega untuk saat ini.




BERSAMBUNG.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEMATIAN PENYAIR.

PROLOG: SERIBU DURJA AFTAB, SUARGALOKA.

BATU MATI PUN HIDUP: PART 2.