PENGABDIAN SETIA.

MENGABDI JANJI SETIA adalah bertumpah-darah ia bersumpah akan abadi di tanah hitam itu. Desa terkutuk, Bumi yang Tarung. Rakyatnya lebih parah. Semoga miliki kesejahteraan selalu.


Sunyi senyap lagi sepi tanpa adanya gelak tawa apalagi bahagia adalah pengaturan semesta untuknya, Ali Si Telinga Bising. 

Sedari kecil, sifatnya yang pemalu jadi penghalang. Diam membungkam segala bentuk pinta jalinan pertemanan, latar belakang yang Ia miliki pun jadi kendala. Terlanjur merasa rendah diri. 

Bohong jika Ali katakan Ia 'tak ingin punya banyak teman. Manusia mana yang 'tak pernah mendamba seseorang disisi? Tak ada. Jauh di kedalaman 'keinginan' itu pasti selalu ada, begitu jua Ali rasakan. Namun, terbiasa di hujam sepi kembali buatnya merasa 'tak perlu 'tuk jalin hal rumit seperti pertemanan.

Baginya semua sama saja, dengan ada atau tiadanya seorang teman. Hidupnya selalu dan selalu dilanda keheningan.

Hingga suatu ketika, hadirnya seseorang yang 'tak disangka-sangka buatnya derita penyakit genetika setan, keserakahan. Serakah inginkan lagi dan lagi segala atensi serta afeksi yang 'tak pernah Ia dapatkan dulu. Laksana kutukan yang membayangi tiap-tiap langkahnya hingga ajal menjemput di tempat antah-berantah, tempatnya dikebumikan kemudian hari.

Waktu bergulir tepat diawal tahun ke-2 masa perkuliahannya, segala hal yang nantinya Ia sesali dimulai. Semua berkat perpanjangan tangan Tuhan yang buatnya cecapi lika-liku pertemanan. Harusnya 'tak usah Ia sambut segala tipu muslihat itu. Harusnya.

Risjaf Hutomo, namanya. Teman pertama dan satu-satunya yang Ia miliki di penghujung masa pubertasnya. Masa-masa sepi terlewati dan semarak bahagia tengah Ia jajaki. 

Pertemuan mereka klise sekali. Saat itu, Ali, sebagai sosok pendiam yang 'tak banyak bersosialisasi entah mendapat ilham dari mana pergi mengunjungi salah satu pusat keramaian. Padahal, Ia benci suasana seperti itu.

Layaknya takdir, Ali bertemu sosok menyebalkan Risjaf yang tengah sibuk memainkan kamera analog miliknya. Penampilannya trendi, khas anak muda hedonis kota metropolitan, memotret sana-sini dan suatu kebetulan sosok Ali tertangkap oleh lensa kamera Risjaf hasilkan petak foto didalamnya. 

Lain dengan Risjaf yang nampak biasa saja, Ali, sebagai sosok yang tidak suka dipotret sembarangan layangkan protes pada Risjaf. Langkah kakinya bergeser menghampiri Risjaf yang nampak 'tak berdosa.

"Hapus." Satu kata singkat yang Ali lontarkan membuat Risjaf bingung 'tak terkira, "hapus? Apaan? Lu juga siapa?" Bertanya. Hanya itu yang mampu dilakukan Risjaf guna menanggapi sosok 'tak familiar tersebut.

"Bego. Foto gua yang lu ambil sembarangan itu hapus. Engga sopan." Ali kesal sekali rupanya, hingga jawaban yang Ia beri pun terkesan ketus dan 'tak ramah.

"Santai... santai bro, bakal gua hapus tapi santai, jangan pake urat gitu." Slengean. Frasa itu tercipta di benak kepala Ali guna menggambarkan sosok Risjaf Hutomo. 

"Oke." Singkat lagi padat Ali lontarkan jawab.

Tak ingin berbasa-basi Ali lekas berbalik ingin segera pergi yang langsung Ia urungkan sebab pemuda 'tak sopan, yang belakangan Ia ketahui bernama Risjaf itu menahannya lagi. Pandai bergaul. Supel dan easy going. Itu yang Ali rasakan kala berbincang dengan Risjaf. Pikirnya kini bahwa bergaul dengan seseorang 'tak seburuk yang Ia kira, Risjaf buktinya.

Mereka terlibat percakapan seru, hingga 'tak nampak lagi jejak asing satu sama lain. Mungkin, karena mereka merasa sama. Yah, ternyata nasib yang mereka jalani sama dan saling melengkapi hingga merasa cocok satu sama lain.

Namun, Ali lupa. Lupa bila segala hal ada sebab serta akibat mengiringi. Pertemuannya dengan Risjaf t'lah membutakannya, haluannya tengah tergantikan dengan angan baru, hingga nantinya Ia sesali segalanya. Terlambat sudah.


"Halo teman-teman, geser dong geser, gue mau duduk juga." Risjaf hadir dengan senyum cerahnya, ikut duduk bergabung bersama temannya.

"Pada ngomongin apa, nih?" tanya Risjaf seraya menyemot tahu goreng yang ada meja.

"Oh, ini mau jalan-jalan sekalian mau nyobain cafe yang baru buka," ujar salah satu temannya.

"Udah mau jalan tapi gak ngajakin? Gue kan mau ikut," sahut Risjaf seolah merajuk.

"Nggak cukup, Jep, lagian lo juga nggak ada motor gimana mau ikut bareng kami? Udah, yuk, kita cabut sekarang."

Risjaf menatap kepergian teman-temannya dengan diam. "Ya udah deh, mending habisin ini gorengan terus pulang, lagian lumayan uang buat habis nongkrong yang masih sisa bisa ditabung buat beli kamera baru."

Risjaf segera menghabiskan gorengan yang di meja dan pulang ke rumahnya. Ah! Apa bisa tempat itu disebut rumah?





"Risjaf pulang."

"BARU PULANG KAMU? KERJAANNYA MAIN AJA! LIHAT ITU KAKAKMU, SELALU BISA BIKIN ORANG TUA BANGGA, EMANGNYA KAMU? BUAT MALU KELUARGA TERUS."

Ah, Risjaf sudah terbiasa mendengarkan kata-kata yang sama dari Bapak Hutomo yang terhormat ini, atau bisa disebut papanya?

"Tadi ada kelas tambahan, Pa, makanya sedikit pulang." Ia berbohong. Risjaf berusaha buat tetap tenang, walaupun dalam dirinya ingin ikut meneriaki sang Papa.

"BANYAK ALASAN! SANA MASUK KAMAR! BELAJAR YANG BENAR, SEBENTAR LAGI UJIAN, AWAS NILAI KAMU TIDAK 100 SEMUA, PAPA HANCURIN SEMUA KAMERA KAMU!"

"Iya, Pa," ujar Risjaf dengan lirih.

Risjaf pergi memasuki kamarnya, menatap isi kamarnya yang berisi foto hasil jepretan kameranya dengan tersenyum, sampai senyum itu hilang saat melihat dua foto yang berdekatan, foto keluarganya dan foto dia bersama Iris.

"Cih! Kalian orang yang bilang selalu bersamaku, akhirnya tetap ninggalin." Risjaf memilih untuk tidur, ketimbang belajar seperti apa yang disuruh papanya, berharap agar besok dia masih bisa selalu bersama temannya. Malangnya nasib anak bungsu Hutomo itu, berharap kebagian keluarga dan teman selalu bersamanya, nyatanya itu hanya semu.


"Kamu mau bertemu Ibu?"
"Memangnya bisa?"

"Bisa, tetapi tergantung, apakah ia arwah baik atau arwah penasaran."

Rindu tidak bisa menjawab soal orangtuanya termasuk kepada golongan mana, Rindu bahkan tidak tahu bagaimana wajahnya sebab ia sendiri sudah lupa potret kedua orangtua, namanya pun disembunyikan oleh Ayah ...

"Ibumu itu bunga baik, kenanglah seperti itu." Datuk Khalaf selalu memberikan jawaban yang sama, satu hal tersisa yang Rindu tahu tentang kisah cinta Ibu dan Ayah adalah potongan sajak buatan Acep Zamzam Noor. Dibacakan olehnya tiap kali takdir merundung dan membeli hati.

Namun Rindu akan mengenang itu semua dalam sejarah. Demi menuntaskan nostalgianya, ia putuskan minta pada si Datuk Khalaf untuk panggilkan sang kedua penjaga hidup Rindu. Doa restu orangtua datang pula. Manakala ia tahu, bahwa Datuk Khalaf justru menjerumuskan si mudi jelita dalam aliran ajar kesesatan.


Tan Sjahrir masih berada di dalam gudang yang penuh jerami. Ada suara berisik bersumber dari berapa orang yang ternyata itu teman-temannya. Entah apa yang akan teman-temannya lakukan, dan ternyata di sana ada Datuk Khalaf yang sedang melakukan ritual. 

Datuk lagi Datuk lagi... Pikir Tan, apa tidak ada yang lain? Tan geram dan gemas. Tan masih meragukan ilmu yang Datuk Khalaf miliki. 

Tan melihat teman-temannya masih sibuk membantu menyeret raga Tari dari lingkaran iblis. Tan manfaatkan waktu tersebut untuk menghancurkan kalung Rindu, selagi memiliki waktu, yang sebelumnya telah gagal. Tan beranjak dari posisi saat ini untuk mengambil satu batang lilin yang masih menyala, dan segera melemparkan lilin tersebut ke arah tumpukan jerami secara sengaja hingga membuat api tersebut membesar. 

Rupanya Datuk telah membaca pikiran Tan yang berniat akan membakar kalung milik Rindu.
Konsentrasi Datuk Khalaf terpecah antara mau meneruskan ritual atau mencegah Tan membakar kalung tersebut. 

Tan mengeluarkan kalung Rindu dari dalam saku hoodie hitamnya dan melihat kalung tersebut untuk terakhir kali sebelum menjatuhkannya ke dalam kobaran api. 

Saat Tan akan menjatuhkan kalungnya, Datuk Khalaf datang menghampirinya dan mencekal tangannya. Datuk Khalaf mencegah Tan untuk membakar kalung tersebut. 

"AHH!" Tan berteriak. 

Anak-anak Suargaloka sangat terkejut mendengar teriakan Tan dan juga keadaan sekitar yang mulai dipenuhi oleh api. Tapi mereka tidak memperdulikan aksi Tan serta Datuk Khalaf. Mereka semua berbondong-bondong pergi berlari keluar dari gudang menyelamatkan diri mereka sendiri.

"Aku mohon jangan kau lakukan itu anak muda. Jika kau berniat akan memusnahkan kalung itu maka nyawamu akan melayang. Kalau kau masih ingin selamat dan sayang pada dirimu sendiri, janganlah kau bakar kalung itu." Datuk Khalaf memutuskan untuk menarik kalung Rindu dari tangan Tan. 

"BERIKAN KALUNG ITU KEPADAKU!"

"TIDAK AKAN!!!"

Datuk Khalaf menyabet tangan Tan menggunakan ujung bambu yang tajam, untungnya Tan masih bisa menggenggam kalung itu dengan tangannya. Tan merintih kesakitan. Seperti anak kecil di hadapan sang ayah, Tan rasanya ingin menangis. "Saya tidak begitu mengerti untuk apa kerja kalung ini? Sepertinya tidak berguna! Sedangkan kalau saya buang kalung itu ke api, Datuk juga tidak memperbolehkannya. LALU APA GUNANYA?!"

Yang Tan pikir bisa menghapuskan penutupan kontrak jua sebab Tan kini menyadari kesalahan dan dosa yang ia lakukan pada Wisang. Maka dengan menebusnya, ia ingin ikut partisipasi menyelamatkan Rindu. Namun Tan terdiam menahan rasa emosi agar tidak semakin meledak-ledak. Kenapa setan telah membelenggu pikirannya, kenapa juga harus mengabdi pada setan?!

Lantas dengan segala kegundahan hati, Tan menggunakan kuasanya untuk lemparkan kalung ke lahan api. Kalung berhasil dilahap, bersamaan Tan keluar dari gudang akibat ditarik kasar oleh Datuk Khalaf. Sampai secara alami, tubuh Tan terkaku-kaku. Hastanya seolah membeku dan kakinya berubah jadi batu. Ia mengambang bebas tidak bisa rasakan aktivitas berjalan lagi, waktu berhenti kemudian netranya gelap padahal Tan belum merasakan bahwa kedua belah mata tertutup.


Langit sudah menggelap, Aning berinisiatif mencari udara dan menenangkan hatinya sebab sedari tadi ia terus merasa gelisah. Entah apa alasannya. Berbekalkan sinar dari sang Rembulan dan ditemani oleh suara bising dari jangkrik dan kawannya, Aning melangkahkan tungkainya keluar dari pendopo.

Setan atau bangsanya, Aning tak takut. Ia terlahir tanpa itu. Hatinya terlalu keras untuk hal-hal semacam itu, sebab yang ia takuti hanyalah satu, manusia. 

Tak sadar, langkah kakinya membawanya pergi ke arah gudang yang ada di belakang rumah Pak Prabu. Netra tajamnya menangkap sinar jingga dari gudang itu. Menurutnya, tempat itu adalah tempat yang paling keramat di antara bangunan tua lainnya yang berada di sekitar sini, terlebih setelah mengingat kalimat Wisang tempo hari. Angin yang berhembus seolah menusuk tubuh Aning hingga ke rusuk. Ia menyadarkan dirinya dan membulatkan niatnya untuk pergi dan melihat apa yang terjadi di sana, sebab ia tahu, tak akan pernah ada yang baik-baik saja di desa ini. 

Kepalanya mencoba untuk melihat keadaan di dalam melalui jendela. Hancur sudah semuanya, gudang ini sepenuhnya ditelan oleh api. Namun dwimaniknya menangkap sosok perempuan bersurai hitam nan panjang tengah bersimpuh di antara coretan-coretan merah tanpa alas kaki. Di sekitarnya terdapat beberapa lilin yang berdiri mengelilinginya. Kepala sang Puan terangkat, Aning melotot terkejut kala mengetahui bahwa perempuan itu adalah Tari, Bening Oetari. 

Kepalang panik, ia menendang pintu tua itu kemudian masuk dan menyeret Tari keluar dari gudang. Keadaannya sangat amat kacau. Aning melepas genggaman tangannya pada pakaian Tari hingga ia tersungkur ke tanah. Mata Aning memanas, kepalanya pening setelah masuk ke dalam gudang itu. 

"Tari ..." panggilnya, "Tari, sumpah, gue tau, gue tau banget kalau lo itu buta, lo nggak bisa lihat apa pun. Tapi lo bisa ngerasa gak sih kalau tempat itu kebakaran, gudang yang lo tempatin itu kebakar. Ada api, gede, panas, lo tau, 'kan?" jelasnya bak seorang guru tengah menegur anak berumur 5 tahun. 

"INDRA PERASA LO DI MANA? AKAL SEHAT LO DI MANA?!" serunya, dadanya naik-turun sebab nada tinggi yang baru ia lepaskan. 

"Aku ... bahagia," ucapnya melantur. 

"Gila lo. Tolong jawab pertanyaan gue, Tari!"

"Tari ... PLEASE JAWAB GUE! JANGAN DIEM KAYAK BEGINI! Jangan memperumit masalah, jangan bikin anak-anak khawatir, Tari," serunya tak ada habisnya. 

Namun kalimatnya sama sekali tak diindahkan oleh sang Lawan Bicara. Tatapan Tari kosong, tak seperti biasanya. Raganya yang lemas, wajah, dan cagaknya yang pucat itu sungguh membuat Aning ingin menangis. Ia meraih tubuh Tari dan memeluknya, membiarkan puan berkulit pucat itu menangis dalam dekapannya. 

Tari menarik napasnya panjang, "Ning, aku juga berhak buat bahagia, kan?"

"Ngomong apa, lo? Semua orang punya hak itu."

"Semua orang, terkecuali aku? Aku mau lihat dunia," racaunya. 

"Tar ... percaya sama gue, dunia nggak seindah kayak yang ada di bayangan lo. Pun jangan berpikir buat bersukarela menjatuhkan diri ke akhirat, sebab akhirat nggak bakalan jadi lebih baik dari dunia," balasnya. Aning melepas pelukan itu dan menatap wajah Tari seraya menggenggam tangannya, "Semua bakal baik-baik aja. Udah ya, Tar, pulang sama gue, sama yang lain juga." Lalu Tari hanya mengangguk pelan.


Hanya rasa sesak yang kini dirasakan oleh Tari. Entah mengapa dia merasa sangat lelah, nayanikanya menjelajah keseluruh tempat yang hanya terlihat buram. Mengharapkan sesosok Fajar muncul menghampiri dia. 

Tubuhnya terasa semakin berat, hingga muncul sosok laki-laki tampan yang sedari tadi ditunggu kemunculannya oleh Tari. Seakan semua terhenti kecuali Tari dan Fajar, dia tidak dapat mendengar teriakan anak-anak Suargaloka yang sedang mencoba menyadarkan dia. 

Tangannya terjulur ke depan meminta Fajar untuk menggenggamnya, tatapan lembut Fajar yang meraih uluran tangan Tari membuat Tari semakin bahagia, tidak kuat lagi tubuhnya juga matanya terasa sangat berat sebelum menutup matanya sempurna dia berkata. "Fajar, bawa aku bersama dirimu." Sesudahnya semua gelap, Tari pingsan membuat suasana semakin tak terkendali. 

Anak-anak suargaloka mencoba untuk menyadarkan Tari dengan berbagai cara. 

"Tar, bangun, Tar!" 

"Tari, lo kenapa anjir ayo bangun!" 

"Tolol, orang pingsan diajak ngomong mana bisa jawab." 

"Minggir, kalian semua banyak bacot." 

Bentang dengan sigap menggangkat tubuh Tari dan membawanya ke tempat yang lebih terbuka. Anak-anak Suargaloka mengikuti Bentang tanpa berpikir panjang, tanpa menyadari bahwa ada sesosok laki-laki tak kasat mata yang tersenyum menyeringai ke arah mereka.


Selamat datang, dan lagu-lagu itu dikumandangkan macam kidung penyambutan selamat datang, kepada pengembara dua dunia, Tari dan jua Rindu. 

Ketika Ali berpikir bahwa semua orang-orang di sekitarnya bertingkah tidak waras—tapi Ali pun merasa sama bodohnya. Selama ia berteman dengan Risjaf dan mengarungi program kerja KKN bersama kawan-kawan, ia mengingat rahasia yang diketahuinya bahwa Risjaf diam-diam merekam aktivitas Chairil dan Iris. Seolah lelaki itu adalah pengawas bagi kedua burung yang terbang bersama tersebut. Dan Ali juga sering mendengar cekikikan-cekikikan setan pada pukul tiga pagi sebelum ia laksanakan ibadah shalat Subuh. ️Jeritan sumbang, mengawang-awang langgas didera ributnya pawana.

Ada yang dengar?

Tidak?

Sebelumnya seperti biasa ia akan mendengarkan radio di dekat jendela pendopo namun selalu terdengar suara cekikikan yang buat ia tak fokus. Dan Ali kini mengetahui, suara cekikikan pukul tiga pagi itu dari setan atau si iblis merah. Yang sering mengusiknya, yang sering mengganggunya, yang sering menggaduhi rungunya.

Kadangkala kabar tak seindah rupa. Manakala ikatan sejarah terus berulang, bermula dari mereka yang buta dilumat ambisi. Mereka para Suargaloka, berdalih masuk surga adalah doa dari mereka untuk mereka namun mengikari sumpah apa daya. Dimulai dari Tan yang dirasuki keegoisan untuk menjadi paling utama, Rindu menebus dosa durhaka pada Bapak dan Ibunya, Tari yang membunuh sang ibunda beserta menyatu dengan makhluk tak kasat mata, membuka gerbang dua dunia dengan membiarkan yang jahat merasuki semua manusia. Bentang hilang akal sehat dibutakan kesalahpahaman, Suri dengan kelicikan otak akibat terlalu pendendam, dan Iris yang selalu terjebak dalam bualan-bualan perasingan akibat fokus membalaskan kematiannya. Kemudian ketiga rakyat lain, ada Chairil yang disakiti hingga meleburkan apa-apa yang merusaknya, Aning dengan haus akan pusat atensi, dan Risjaf selalu dilupakan itu eksistensi. Manusia memang tak ada yang sempurna, tak ada yang benar-benar baik, hingga Ali berpikir kemudian apa salahnya dan kesalahan Wisang? Apakah karena mereka berdua lalai mengawasi kawan dan disuruh mengemban tugas menyelamatkan nyawa orang-orang?

Maka Ali pun dengan penuh tekad hampiri Risjaf. Menariknya mundur. Dan menunjuk rupanya penuh dendam. “Hentikan niat busuk lo itu, Jaf!”

Risjaf mengangkat alis. “Apaan deh? Niat busuk apa? Perasaan gue udah mandi dan segar jadi nggak ada tuh bau bus— ....”

Ali mendorong dada Risjaf. “Gue tahu ya ada yang lo rencanain buat Iris dan Chairil. Meskipun gue nggak tahu itu apa. Tapi gue harap lo berhenti.”

Risjaf terkekeh geli. Untuk sebentar, di tengah porak-porandanya Bumi Tarung, Risjaf tertawa lepas namun bahananya pelan. Ali justru memandang bingung. Namun Ali kembali berpesan. “Gue harap lo serius berhenti, Jaf. Damai dan maafin semua orang. Kalau lo tetap ngelakuin rencana itu, gue nggak mau temenan sama lo lagi.” Kemudian Ali pergi dari sana, menyusul yang lain untuk pulang ke pendopo. Dan meninggalkan Risjaf yang terdiam, tawanya semakin hampa dan tak lagi terdengar. Seolah perkataan Ali benar-benar menusuk paru-paru Risjaf. Lalu rangkaian janggal itu bukan ilusif, pusara itu selalu nyata. Lubangnya sudah tak bisa ditutup dan tetap akan terbuka jika tiada siapapun mengobati lukanya.





BERSAMBUNG.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEMATIAN PENYAIR.

PROLOG: SERIBU DURJA AFTAB, SUARGALOKA.

BATU MATI PUN HIDUP: PART 2.