LIDAH BELATI: PART 2.
SEGORES WAJAH dan LIDAH BELATI, mana yang lebih menyakitkan? Keduanya sama-sama bagian dari membenci dunia. Namun kekuatan dalam diri manusia yang paling kuat adalah, seni membenci diri sendiri dan juga rival dari seorang duplikat diri. Yang lebih kejam, adalah mereka-mereka yang terpengaruh dalam tipu muslihat. Bualan lidah yang setajam belati.
—
Nona Isma, jelitamu abadi.
Nona Isma, rupamu bahari.
Nona Isma, lukamu bak duri.
Darahmu mengalir sedih.
Hidupmu terlanjur sendiri.
Rindu Isma selama hidup selalu bersyukur pada apa-apa yang telah ia berikan selagi masih diberi waktu meniti hayat. Bahkan ibu dan bapaknya bertaruh, Rindu Isma akan selalu aman di mana pun mereka berada. Restu dan doa selaku dititipkan salam tiap jalannya kisah. Maka Rindu, tak pernah mengenal takut apabila orang-orang meninggalkannya. Sebab dia selalu percaya, orang-orang itu akan ada di sisinya meski demikian sudah hirap eksistensi.
Persis setelah ia merasa bahwa Tari tengah keluar dan pergi entah kemana sebab presensinya di pendopo betulan tak kasat mata. Rindu langsung berinisiatif mencari kawannya. Sebab Demi Tuhan, ini sudah hampir larut malam dan setelah yang lain selesai makan bersama, pendopo ditutup akses bagi sesiapapun sebab sudah waktunya untuk pergi tidur. Namun kalau Tari belum jua kembali, bagaimana cara ia akan masuk untuk mengistirahatkan tubuh nanti, maka Rindu harus melakukan sesuatu.
Ia pergi keluar, kapitanya menoleh celingak-celinguk mencari kemana kira-kira raga Tari melangkahkan kaki. Hingga lepas ia selesai menggunakan sepatu, dwi cagaknya membeku, sukmanya seolah ditarik entah kenapa dan daksanya terbujur kaku. Kemudian Rindu merasakan sakit yang teramat panas. Ia seolah dibakar bara api neraka dan ia mulai teriak kesetanan.
Para anak-anak Suargaloka yang semula berkumpul untuk bergantian cuci piring justru terhenti niatnya akibat terkejut dengar jeritan Rindu. Rindu nampak terkejang-kejang selaras bersama angin yang tiba-tiba bergerak ribut. Rindu mulai mencekik dirinya, dan masih dengan teriakan tiada habis. Bahananya begitu keras dan ia betul-betul hilang kendali.
Rindu kesurupan, dan teman-temannya kepalang panik. Mereka berusaha menyadarkan pikiran Rindu bahkan membaca ayat-ayat suci Tuhan namun tetap tiada berhasil. Hingga saat di detik-detik suara Rindu serak dan lehernya tercekat, ia terdiam beberapa saat. Netra bulat cantik itu melotot dan bibir ranum Rindu menganga lebar. Lalu sekejap, Rindu jatuh pingsan.
—
Risjaf kembali ke pendopo saat mendapat kabar Rindu kesurupan, semakin banyak hal aneh yang terjadi selama mereka di sini. Risjaf meletakkan barang bawaannya di atas meja dan ingin menemui Rindu tapi Risjaf menjatuhkan salah satu tas temannya.
BRUUK!
"Eh, apa ini?" ujar Risjaf seraya merapikan isi barang yang jatuh.
"Surat, dari Chairil untuk Iris, surat cintakah? Mari kita lihat." Risjaf membuka surat tersebut dan membaca isi di dalamnya membuat ia terkejut.
"I-ini gak mungkin dia kan? Dia udah mati," ujar Risjaf dengan tangan bergetar, dia memeriksa kembali tas Iris dan menemukan foto-foto mereka semasa pengenalan kampus dulu yang dipenuhi oleh coretan kebencian.
"Ini nggak mungkin, Iris harusnya sudah mati! Gimana bisa dia masih hidup?" Risjaf menggeleng cepat.
Risjaf memasukkan kembali barang Iris ke dalam tas dan menyimpan salah satu foto ke saku. "Aku akan mengawasimu terus Iris."
—
Pagi ini Wisang berniat mencari udara segar, sekaligus berolahraga setelah berhari hari ia jatuh sakit dan tak bisa melakukan apa-apa kecuali berbaring di ranjang reot pendopo tempatnya beristirahat.
"Ril, bangun, ayo ikut gua jogging." Wisang menepuk-nepuk pelan pipi Chairil yang masih tertidur pulas, maksud hati ingin mengajak kawannya itu untuk turut serta.
"Gak mau, aku masih lemes. Kamu pergi sendiri aja sana." Chairil menepis tangan Wisang.
"Ya elah, lu masih muda males bener..." Wisang melangkahkan kakinya meninggalkan Chairil yang kembali tertidur pulas.
Udara sejuk pagi hari memenuhi rongga paru-parunya, melancarkan peredaran darah dan memicu rasa rileks pada tubuhnya. Wisang menghirup udara di sekitarnya dengan rakus, seolah tiada esok hari untuk bernafas.
Selain udara sejuk pagi hari, pemandangan asri di desa ini membuat Wisang merasa senang. Pasalnya selama ia jatuh sakit, ia hanya bisa memandang langit-langit atap pendopo yang ia tinggali bersama kawan-kawannya selama menjalankan kegiatan KKN di desa ini.
Ia terus berlari kecil mengitari desa, sesekali bertegur sapa dengan warga setempat. Langkahnya terhenti saat netranya menangkap sosok Datuk Khalaf yang keluar dari gudang belakang rumah sang Kepala Desa, Pak Prabu. Sekilas memang tak ada yang aneh dengan gudang tersebut, tapi ntah mengapa rasa penasaran tiba-tiba saja mendorong Wisang untuk mendekat, mengintip isi gudang tersebut. Namun nihil, ia tak dapat melihat apa. Di dalam gudang tersebut sangat gelap.
Dengan rasa penasaran yang menggebu-gebu, Wisang membawa langkahnya semakin dekat saat Datuk Khalaf meninggalkan gudang tersebut. Kini ia berdiri persis di depan pintu yang masih terbuka. Wisang pikir ia harus segera masuk jika ingin mengetahui apa yang sebenarnya ada di dalam gudang tersebut, karena Datuk Khalaf pasti akan kembali lagi, mengingat ia meninggalkan gudang itu begitu saja dalam keadaan terbuka.
Wisang merogoh saku celananya dan mengeluarkan Smartphone-nya. Ia benar-benar butuh sumber cahaya saat ini. Gudang tersebut tidak memiliki cela sama sekali, hingga tidak ada sinar matahari yang masuk ke dalam gudang tersebut barang sedikitpun. Tangannya mengotak-atik Smartphone-nya, lalu menyalakan fitur 'Flashlight' , harap harap ia bisa mendapat sumber cahaya untuk menerangi seisi gudang tersebut.
Hal yang pertama kali ia temukan saat memasuki gudang tersebut adalah barisan beberapa kandang musang dengan tinggi seukuran mata kaki sampai lutut manusia, dan panjang seikitar kurang lebih 2 meter. Terdapat gadis-gadis muda yang dipasung kaki dan tangannya dengan posisi terlentang di dalam kandang tersebut, namun beberapa dari mereka juga ada yang dipasung dengan posisi duduk. Terhitung ada 15 kandang, 1 gadis tiap kandang.
Wisang terkejut bukan main, terlebih saat dirinya menyadari bahwa beberapa dari mereka masih dalam keadaan sadar, namun mulutnya tertutup lakban. Wisang berusaha mengabaikan tatapan mereka yang seolah olah sangat mengharapkan pertolongan darinya.
Wisang melangkahkan kakinya meninggalkan kandang kandang tersebut. Ia mengarahkan Smartphone-nya pada dinding di sisi kanannya, di sana tertempel banyak sekali lukisan yang menggambarkan sebuah ritual pemujaan terhadap setan dan iblis, juga lukisan beberapa simbol asing yang tidak ia ketahui maknanya. Ia beralih mengarahkan Smartphone-nya pada dinding di sisi kiri, kali ini ia melihat banyak sekali benda benda tajam seperti pisau, celurit, hingga keris yang tergantung di sana.
Tak cukup sampai di situ, Wisang juga menemukan sebuah meja kayu di pojok gudang tersebut, di atasnya terdapat lilin, lampu-lampu kuno, bunga-bunga, hingga beberapa benda aneh yang ia ketahui sebagai sesajen.
Saat ini terdapat banyak sekali pertanyaan yang hinggap di kepalanya; Untuk apa gadis-gadis itu di pasung di sini? Untuk apa semua benda-benda ini? Siapa dalang dari semua ini?
Maka dari itu ia memilih untuk kembali menjelajahi gudang tersebut, hingga ia menemukan sebuah lemari kecil. Dibukanya lemari tersebut, di dalamnya terdapat sebuah buku tua dengan tulisan Aksara Jawa yang sama sekali tidak ia ketahui artinya. Meskipun begitu, Wisang yakin bahwa buku tersebut dapat membantunya untuk menjawab semua pertanyaan yang hinggap di kepalanya. Semua orang juga harus mengetahui soal ini, pikirnya.
Terbiasa berada di alam bebas membuat Wisang sangat peka dengan keadaan di sekitarnya. Wisang dapat mendengar derap kaki mendekat ke arahnya, maka dengan segera ia mengambil buku itu dan berlari keluar mengabaikan teriakan teredam para gadis-gadis yang di pasung di dalam sana. Ia harus pergi secepat mungkin, sebelum seseorang -siapapun itu- menemukannya.
—
Pikiran Tan Sjahrir campur aduk. Apa ada yang salah, pikirnya. Mengapa Wisang tak mengalami suatu perubahan seperti yang Tan inginkan, Wisang jatuh terpuruk. Perasaannya tak enak. Kacau pikirnya, mengapa jadi seperti ini. Konsentrasi nya semakin buyar tak karuan.
Diam-diam Tan mengamati gerak gerik Wisang yang hingga saat ini masih biasa-biasa saja, seakan tak pernah terjadi apa-apa pada dirinya. Wisang tetap aktif menjalankan tugasnya.
Sebenarnya ada rasa takut juga untuk melakukan hal semacam kejahatan seperti ini. Takut akan dosa dan semua yang dikerjakan pasti ada timbal baliknya. Namun entah kenapa niat jahat itu ada pada dirinya. Sedangkan Wisang Artsandanu adalah teman baik nya.
Sekarang Tan harus memilih tetap ikut apa kata batinnya atau menjauh dari hal yang menimbulkan resiko. Tan diam lalu pergi meninggalkan rumah dan pergi untuk menemui Datuk Khalaf dengan batin yang marah. Tan berniat semakin ingin merusak jiwa Wisang dan yakin Wisang harus enyah.
Bau wewangian daun dan rempah menyeruak masuk ke indra penciumannya. Datuk Khalaf menatap wajah Tan yang memerah marah. Datuk Khalaf masih terlihat sabar, kar'na semakin dia bertanya mungkin akan semakin kebenciannya bergejolak.
"Apakah Datuk salah mantra?!"
"Saya tidak salah mantra, anak muda. Anda yang harus sabar. Apakah anda akan terima sebab akibatnya akan nanti ulah mu itu?"
Tan terdiam.
Serba salah, tak bisa berkata apa-apa. Tapi Tan memberi ultimatum. "Baik. Kalau Datuk Khalaf tak mau bantu, saya akan cari yang lebih hebat ilmu daripada yang Datuk Khalaf miliki."
Datuk Khalaf tertawa.
Datuk Khalaf merasa tidak dipercayai oleh anak muda ini akan ilmu kesaktiannya. "Silahkan kau cari! Kalau tidak dapat kembalilah kesini. Tapi kau akan bertekuk lutut padaku!" ujar sang Datuk dengan nada angkuhnya.
Tan berlalu dengan terseok-seok melewati rerumputan ilalang menjauh dari rumah Datuk Khalaf dengan membawa sejuta amarah dendam yang membara akan rasa bencinya pada Wisang Artsandanu, dan Datuk Khalaf yang tak bisa memenuhi permintaannya.
—
Helaan napas keluar dari kedua belah bibir Aning tatkala Risjaf tak selesai-selesainya membenahi kamera yang rusak, itu sangat menghambat jalannya pekerjaan. Bagi Aning yang tak suka menunggu, Risjaf adalah orang yang tidak profesional. Meski begitu, tak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu. Rasa lelah dalam dirinya membuatnya bungkam untuk malam ini. Pun dengan yang lain, mereka sibuk mengisi waktu luang entah bagaimana caranya.
Aning memeluk kanvas beserta antek-anteknya yang sengaja ia bawa di dalam kopernya guna mengabadikan Bumi Tarung. Dirinya menempatkan diri di tengah-tengah kesibukan teman-temannya. Ia mulai membuka palet warnanya lalu meluaskan pandangannya dan menemukan Tan yang tengah berbincang dengan Datuk Khalaf. Aksi pengamatannya pun dipergoki oleh Datuk, Aning pun salah tingkah kala Datuk Khalaf berjalan ke arahnya.
"Kamu suka melukis?" tanyanya setelah melihat peralatan yang Aning bawa.
Ia mengangguk singkat, merasa canggung sebab sebelumnya mereka tak pernah berinteraksi berdua seperti ini.
Datuk Khalaf tersenyum puas, "Melukis itu bakatmu atau sekedar hobimu saja?"
"Melukis adalah bakat saya. Saya bisa melukis tanpa alasan," balasnya.
"Sudah berapa lama kamu menekuni bidang seni ini?" tanyanya lagi yang membuat Aning kembali menghela napasnya dan merotasikan dwimaniknya.
"Hm ...," Ia mulai berhitung menggunakan jemari emas miliknya, "mungkin sudah 12 tahun lamanya?"
Lagi-lagi Datuk terpukau dibuatnya. Bak menemukan sebuah harta karun, senyum Datuk Khalaf sama sekali tak bisa ia tutupi, "Jadi, apa yang hendak kamu lukis sekarang?"
"Bumi Tarung. Saya mau mengabadikan Bumi Tarung."
Mendengar itu, Datuk Khalaf meninggalkannya. Hal tersebut membuat dahi Aning mengerut. Ia menggelengkan kepalanya, mencoba fokus untuk menjalankan tujuannya. Tak lama dari itu, Datuk kembali dengan benda tua di tangan kirinya.
"Ini, buat kamu. Saya melihat potensi yang besar dalam diri kamu," ucapnya sembari menyodorkan kuas kuno itu. Terlihat sangat tua, bak peninggalan zaman penjajahan tahun 90.
Aning kikuk setelah menerima barang keramat itu. Lagi-lagi Datuk terkekeh, "Saya merekomendasikan kuas ini untuk kamu."
"Tapi, Datuk 'kan belum pernah lihat lukisan saya? Kenapa dengan mudahnya Datuk mewariskan barang milik Datuk?"
"Memangnya itu penting?" balasnya dengan nada tinggi. Aning terjengit kaget, "saya akan kembali nanti."
Entah apa yang ada dalam diri Aning, benda tua itu memberi kesan tersendiri untuk Aning. Ia tahu bahwa benda itu bukanlah benda biasa, sebab pada batang kuas itu terdapat ukiran aksara Jawa yang tak ia mengerti. Ayolah, ia membutuhkan Rindu untuk saat ini.
Seperti dibawa ke dimensi lain, fokus Aning hilang bak diserap sawang langit. Ia mulai menorehkan kuasnya di kanvasnya itu.
AJAIB! Seekor rusa dengan tanduk patah di bagian kanannya muncul dari arah kanan, persis seperti apa yang dilukisnya. Mungkin jika hanya seekor rusa, Aning tidak akan bersikap hiperbola seperti ini, tapi rusa yang ia lukis dan yang terlihat oleh mata telanjangnya sangat-sangat mirip. Mulai dari bentuk tanduk, letak coretan putih yang ada pada bokong rusa itu pun sangat mirip.
Lagi, ia mencoba melukis 3 kupu-kupu berwarna kuning. Benar saja, kupu-kupu itu muncul dari balik pohon, hampir terjungkal Aning dibuatnya.
Nggak, nggak. Suargaloka memanglah sebuah kelompok, namun bagi Aning, hal ini bukanlah hal yang harus diketahui kelompoknya, ia harus merahasiakan semua ini. Namun siapa yang menyangka kalau kegiatannya disaksikan oleh salah satu rekannya? Seharusnya Aning tahu hal itu.
BERSAMBUNG.
Komentar
Posting Komentar