LAUNG PRABANGKARA.
PELATARAN DRAMA REMAJA dan apa kamu mau menilik? Ini kepada rekan-rekan Tuhan di situs abad yang terluka, kami sajikan sajak dari para pencinta yang merana di juntai pelepah nyiur saat jingga mengabu dan mati tersadur. ️ Berhamburan kertas puisi, melebur dalam diksi. Ini adalah cerita kedua yang tidak dapat dilenyapkan. Kala harapan menggantung, mimpikan cinta yang seharusnya seperti mentari di atas lembayung. Sajak usang menjadi tumpukan kertas gersang, membelai luka yang membawa perjalanan panjang.
—
Hiruk-pikuk ramai saling bersahut, merapat menjadi satu, mendekat dengan terburu-buru. Tak lupa juga menyumpah-serapahi peristiwa yang terjadi di Universitas Prabangkara perihal kasus narkoba yang membuat heboh seketika. Dari banyaknya mahasiswa maupun mahasiswi yang ada, Bentang ikut mengantri. Untuk apalagi kalau bukan tes urine, di depan toilet yang ramai akan manusia.
“Beban banget anjir, untung gua udeh selesai,” ucap Bentang merasa sedikit kesal sekaligus lega.
Usai dengan urusan, Bentang berniat kembali ke Fakultas Teknik mengingat dirinya masih ada kelas yang belum tuntas atau mungkin justru ditunda? Semoga saja tidak, mengingat Bentang adalah murid teladan, dirinya tidak mungkin ingin kelas ditunda.
Melangkah luntang-lantung sambil bersiul kedua netranya berhenti pada satu objek, berhenti pada dua atensi yang terlihat sedang berbincang. Merasa familiar, Bentang memutuskan untuk tidak mendekat lebih dulu, dirinya tiba-tiba penasaran perihal topik yang sedang mereka perbincangkan. Yaitu Dosen Fakultas Bahasa dan Sastra, Bapak Djati Kahuaru Pramono juga Suri Anjani yang terlihat bersua dengan gelak tawa sebagai lawan bicara.
“Ngapain Suri sama Bapak? Cekikikan gitu? Jangan-jangan ...,” ucap Bentang bermonolog, gelagatnya seakan tak suka.
Berniat ingin berjalan lebih dekat, dirinya tetap tidak bisa mendengar jelas perihal obrolan yang tengah mereka perbincangkan.
“Alah nggak kedengaran lagi,” keluhnya.
Sudah pasrah juga resah, Bentang memutuskan untuk kembali ke niat awalnya mengingat dirinya tak punya waktu banyak, dengan seakan-akan tak peduli Bentang melenggang pergi.
—
Chairil Affandi celingukan kepalanya mencari seseorang. Ia baru saja selesai kelas pagi hari itu dan kemudian berjalan ke arah gedung UKM Bengkel Seni. Dilihatnya sepi tidak ada orang lalu berjalanlah ia dengan sunyi ke bagian mading. Tempat ia biasa dilaporkan menjadi dalang dari pembuat puisi berisi orasi sampah pemerintah.
Ya, apa boleh buat? Chairil Affandi tak pernah ingin memberikan karyanya dengan cuma-cuma. Untuk apa menulis sesuatu yang tidak perlu jika saja selepasnya ia akan membuang puisi itu. Atau apabila puisinya sudah tidak memiliki makna tersirat, kosong tak berarti apa-apa. Selama hidupnya, Chairil hanya diberi kesempatan untuk menulis tiga jenis puisi. Satu, puisi cinta. Yang didedikasikan untuk ibu, ayah, serta gadis kesayangannya sebelum memasuki semester tua. Dua, ketika ia diberi ijin untuk menyindir pemerintah lewat puisi-puisinya. Dan ketiga, kala Chairil menulis puisi untuk orang-orang yang merundungnya dengan harap puisi itu dapat menyerangnya balik, membawa petaka bagi mereka yang menghancurkan dirinya. Chairil Affandi adalah racun, ia seorang virulen. Yang menyebarkan kutukan pada orang-orang terdekatnya.
Dan di situlah, ia menjadi dalang di balik nama pena 'Hantu Musim Hujan' menempelkan puisi tentang Penguasa Paling Hina di kampus. Yang ditujukan langsung teruntuk Radit Sankara, di mana tempo hari menyerang Chairil di kamar mandi.
—
2 hari sebelum kasus Danis terkuak.
Chairil tengah membasuh tangan dengan telaten. Tidak, ia bukan sedang membersihkan hastanya yang terkena kuman tetapi ia tengah menyiksa dirinya sendiri. Apabila tidak dihentikan, maka kuasanya akan iritasi dan mengering.
Dari belakang, ia mendengar perbincangan kawan-kawan Radit yang baru saja membicarakan tentang pacar Radit yang sudah lama wafat setahun lalu. Dan mereka menduga itu karena ulahnya. Namun seolah diajak berkelana ke masa lalu, Chairil diberikan sadar ihwal kejadian setahun lalu.
—
Kisah ini tak lebih dari sihir yang dikemas secara apik oleh kuasa-kuasa tak bertuan. Petikannya seperti kedipan petir di tengah hujan, desirannya seperti tirai yang terjatuh menghantam udara. Chairil meyakini bahwa kuasa dan pikiran manusia menyimpan banyak ruang yang tak terhitung jumlahnya. Seperti kata-kata yang ia lontarkan atau sikap yang ia tunjukkan akan menjadi mantra yang lesap menelanjangi setiap jiwa. ️️Ada melodi yang mampu bicara sefasih kata-kata, mengalir keluar secara logis dan tanpa terhalang dari emosi yang murni. Pemanjatan doa salah satunya, seolah penciptanya berusaha menyuling esensi paling murni dari seikat impian. Karena dia adalah Chairil Affandi, si tampan penggoyah rupa. Buah bibir dari pagi hingga rembulan menyapa. Kita tidak pernah tahu akan banyak hal yang mencederai lara. Entah itu perbuatan maupun ucapan, segalanya melebur dan luruh menjadi satu. Layaknya manik-manik mata yang terjuntai kala tungkai dilangkahkan masuk ke dalam gedung bertajuk kampus. Tatapan ituㅡ segala sesuatu yang abstrak, mencumbui diri seolah tuan penyandang Affandi itu tengah telanjang.
“Chairil Affandi masih kuliah di sini.”
“Katanya dia masuk jalur beasiswa.”
“Haha. Kasihan deh bapaknya miskin.”
“Masih ada aja yang temenan sama dia.”
Tidak dengan sirkel sosialnya yang lebih luas dari bentang semesta, tidak keangkuhannya yang menyaingi tinggi Everest, bagi mereka sejak awal Chairil Affandi hanya lelaki miskin yang bermodal paras dan keangkuhan sana-sini. Semua orang dapat melihat batas itu sejelas refleksi diri dalam cermin. Namun, kepura-puraan selalu tergenang seperti air kolam di hadapannya. Seperti pandangan yang buram oleh bias air mata.
Chairil Affandi lupa rasanya menjadi yakin. Di dalam dirinya, ia tautkan hal-hal penuh logika di atas keyakinan. Keyakinan akan hati dan hal-hal yang menaut perasaan, tentang menolak setiap pernyataan cinta setiap perempuan kepadanya. Namun semua itu berbalik ketika ia dihadapkan pada ludahnya sendiri.
Ia pernah jatuh cinta pada Sandika Narang. Orang-orang selalu mengenal gadis itu sebagai pacarnya Radit Sankara si presiden kampus. Yang di mana puan itu, terlalu lama menoleh, hingga rasanya lupa ada kehidupan di depan matanya. Ada matahari, ada bintang-bintang, ada bunga bermekaran. Adapula yang memiliki hati, juga harapan kepadanya. Semuanya berselibat dosa dari setiap ucap yang ia lontarkan dari bilah merah muda miliknya.
“Ha? Lo suka sama gue?” tanya Sandika kepada Chairil Affandi yang baru saja mengutarakan isi hatinya. Laki-laki itu mengangguk lantas pergi.
Lalu di minggu ketiga, ketika bunga melati di depan sekolah mulai berjatuhan, Chairil datang lagi meski tahu gadis yang didambakannya memiliki tambatan hati.
“Lo pikir lo ganteng? Muka lo tuh kaya sampah!” ucap Sandika dengan suara keras. Sengaja agar satu kampus bisa mendengarnya. “Lo itu jelek, Ril! Nggak berbakat pula. Gue nggak mau pacaran sama cowok kayak lo. Jadi mending lo minggir deh.”
“Aku emang gak seganteng Radit, tapi aku sukㅡ ....”
“Bisa pergi nggak? Gue jijik lihat muka lo.”
Seolah kata-kata itu tersimpan dalam kapitanya. Chairil jadi lupa akan kata-kata manis ketika angin musim hujan menjalar dan meminta senyum tulus yang lebih dari biasa. Ia lupa cara menghidupkan hayat. Menjadi lelaki yang berkeyakinan tanpa semu-semu belaka. Ia terlalu lama tenggelam dalam dosa. Angin kencang menderu membelai rambut hitamnya, menerbangkan dedaunan yang direnggut paksa dari ranting yang rapuh. Mereka telah dikecup oleh serangkaian musim, dan Chairil akan bersikap seolah peduli pada daun-daun tersebut. Ia tidak akan lagi bersikap menjadi lelaki paling manis yang baik kepada semua orang di kampus, bilahnya tak segan memberikan hinaan bagi siapa saja yang tak sesuai dengan seleranya—persis semacam gadis yang pernah ia sukai. Teman lama-nya pernah berkata, untuk tidak mencari masalah jika ingin hidupmu aman selamanya.
“Chairil Affandi itu aneh. Setiap ada yang ganggu dia, esoknya pasti bakal kena sakit atau sial. Paling parah waktu Sandika nolak dia, mati.”
“Jangan deket-deket sama Chairil, nanti lo bisa ikutan kena sial.”
—
Chairil merekam semua kutukan itu di dalam kapitanya. Ia tidak meminta semua orang untuk baik padanya namun, merekalah yang memaksa Chairil untuk menjadi pembawa sial.
Chairil Affandi: Nama yang pada akhirnya disebut-sebut tiada henti. Bisikan-bisikan teman di kampusnya justru mirip gedebam bunyi terompet yang membuat telinganya sakit. Tidakkah lidah mereka panas hanya membicarakan dirinya? berjuta kebaikan dan keburukan disebutkan, disertai pujian dan hinaan. Lontaran kalimat-kalimat itu terucap bersanding dengan namanya.
“Ngomong apa barusan?” Chairil mendorong Radit ke sudut dinding toilet kala cuap-cuap si tuan itu berbicara tentangnya.
“Aduhㅡ apa dah!”
“Ngomongin aku 'kan tadi? Aku udah bilang dari kemarin, ngomong tuh depanku langsung!”
Keramaian di salah satu toilet menjadi gemuruh tak berkesudahan. Semua yang ada, tepat di sana, hadir tuk menontonnya.
“Iya gue ngomongin lo. Emang kenapa? Satu kampus juga ngomongin lo, Ril.”
“Ada masalah, hah?”
“Bukan gue tapi lo! Lo biang masalah di kampus ini!”
“Maksudnya apa? TAHU APA SOAL AKU, DIT?” Chairil Affandi beradu dengan amarah, melepas segala kontrol yang ia jaga sepanjang hari.
“Semua orang juga tahu kalau Chairil Affandi itu pembawa sial!”
Mungkin maksud mereka adalah sisinya sebagai Hantu Musim Hujan. Dan mereka mengakuinya sebagai wayang yang selayaknya iblis. Chairil Affandi adalah seorang virulen, ia adalah racun bagi semua orang yang mendekati dirinya.
Chairil Affandi adalah perlambang teratai yang merambat di atas danau. Mencengkram siapa saja dengan akarnya yang kuat. Melilit, mencekik, menjebak ikan-ikan kecil di dalam sana. Bahkan lumpur yang menggunung tidak akan pernah menjadi halangan baginya.
—
Dan dengan mantap, hastanya terulur menempelkan kertas putih berisi bait-bait puisi yang ditulis oleh Hantu Musim Hujan, dan potret dari Radit Sankara terpampang penuh di mading tepat di sebelah kertas berisi puisi itu singgah.
—
Lagi dan lagi. Layaknya teror, Hantu Musim Hujan saat ini tengah menjajah Prabangkara dengan lembaran berisi sajak indah yang dibuatnya. Tak lupa secuil informasi mengenai orang yang bersangkutan dengan puisi itu. Tak ada yang tahu. Tak ada yang tahu apa maksud dari tingkah Hantu Musim Hujan. Tak ada yang tahu Hantu Musim Hujan berada di kutub utara atau kutub selatan. Pun, tak ada yang tahu siapa yang ada di balik nama Hantu Musim Hujan.
Atas tingkahnya, seisi kampus menjadi geger. Takut-takut jikalau dirinya menjadi korban selanjutnya. Manusia tak luput dari dosa dan dosa itu akan terbongkar, entah kapan waktunya.
Wisang meremat kertas yang ia genggam sedari tadi. Sorot tajam matanya tak terlepas dari potret Radit Sankara, sang Presiden Kampus.
“Radit ... parah,” gumamnya.
“Malu-maluin fakultas Teknik bener, out aja sana!” seru Bentang lantaran tak kuasa menahan emosinya.
Iris menyahut, “No comennt kalau udah pembullyan kayak gini.”
“Harusnya dia dipenjarain, satu sel sama Danis, tuh,” imbuh Risjaf yang tengah asik bersandar pada pohon ceri yang singgah di balik punggungnya.
“Kurang, dibunuh aja sekalian,” tambah Iris menimpali.
Tari meliriknya sebelum merotasikan dwi maniknya, “Kalau bunuh tugasnya Yang Maha Kuasa.”
Aning mengangguk setuju, “Bapaknya aja koruptor, nggak kaget kalau anaknya begitu.” Jemarinya bergerak membetulkan helaian rambutnya yang tak beraturan, “Lagian kenapa, sih, Prabangkara nggak pernah ninggiin nama orang yang berkualitas? Hantu Musim Hujan, contohnya.”
“Uang lebih diprioritaskan, nggak, sih?” balas Iris yang langsung diangguki oleh mereka.
Semilir angin berhembus. Ekor mata Aning menangkap kedatangan Tan dan Ali dengan masing-masing kardus di tangan mereka.
“Hah ... Radit, ya?” tanya Tan yang lagi-lagi diangguki oleh Suargaloka, “Mentang-mentang Presiden Kampus, seenaknya bully orang. By the way, ada yang tahu siapa korbannya?” tambahnya sembari membuka tutup botol air mineral yang ia ambil dari kardus tadi.
“Ndak tahu, tapi kalian ndak dengerkah? Ana sing cerita ke dosen PA tapi ndak pernah digubris. Kesanne Dosen PA ndak mau nanggapi, atau pura-pura ndak tahu?” balas Rindu dengan logat khas miliknya itu. Gadis itu tampak frustasi, mengingat rasa kecewanya kepada sang idola.
Dahi Tan mengerut, “Pasti tahu. Tapi sengaja nggak digubris, karena mungkin menurutnya itu masalah sepele.”
Rindu mengangguk antusias, “Ana benere si. Ibarate kita 'kan wis pada gede kabeh, seharuse tahu mana yang salah lan bener. Tapi yo ndak bisa dilepas gitu aja. Sopo si dosen PA ne?”
“Tuh, Bentang 'kan sefakultas sama Radit, kali aja tahu siapa dosen PA-nya,” sahut Ali yang akhirnya bersuara sebab sejak awal ia hanya diam seribu bahasa.
“Waduh, Bentang se-server, nih?” sindir Wisang.
Aning tertawa kecil, “Hmm jangan-jangan ... diem-diem malah satu sirkel?”
Ia mendengus tak suka, “Gue nggak kayak dia meski satu fakultas. Najis banget disama-samain sama sampah kayak dia.”
“Dari pada itu, gue lebih penasaran sama korbannya. Lagian kok mainnya rapi banget sampe gak ketahuan anak kampus?” tanya Aning mengalihkan.
Iris menjentikkan jemarinya, “Suap!”
“Suap gimana?” tanya Tan yang beralih pada lembaran mengenai informasi Radit.
“Ya ... suap? Penyuapan, supaya kasus perundungannya tenggelam walaupun si Hantu Musim Hujan itu akhirnya ngebongkar. Kayak dibilang Rindu tadi,” balas Iris. Tan langsung ber-oh-ria.
“Di sini siapa yang akrab sama Radit Radit itu?” tanya Wisang yang langsung mendapat gelengan dari Suargaloka. Wisang mengusap kasar surai hitam legamnya, “Makin bobrok nih kampus lama-lama.”
“Oh, iya,” seru Aning yang mampu mengalihkan atensi Suargaloka, “Chairil ke mana, deh?”
—
Serayu mendayu-dayu tersenyum haru, melingkar lengkung sudut bibir Ibu. Tangannya piawai dalam soal merajut benang, menyatu jadi dahayu bagaikan seorang yang profesional. Di sampingnya Bentang acap bersua mesra, menatap sang Ibu tercinta.
“Ini buat siapa lagi, Bu?” tanya Bentang mengarah pada baju yang sedang Ibu jahit.
“Kemeja Bapakmu,” jawab beliau singkat, “Eh iya, nak, kamu sering ketemu sama Bapak 'kan di kampus?” lanjutnya.
Bentang hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu ia beralih memeluk Ibunya dari samping. Menjadi lebih dekat. “Buk, mau makan.”
Aktivitasnya seakan terhenti, kini atensinya ia alihkan penuh kepada anak semata wayangnya ini. Beliau sudah tahu kalau Bentang sedang merayu. “Ya makan, itu di meja sudah Ibu siapin,” seru beliau pura-pura biasa saja.
Merasa tidak puas dengan jawaban Ibunya, Bentang tetap tidak bangkit. “Suapin dong, Buu,” ucapnya tepat di telinga sang Ibu, dengan gelagat seperti anak kecil.
Mengulas senyum, mengelus alus punggung Bentang. Entah sifat siapa yang ia bawa sampai bisa menjadi manja seperti ini. Yang Ibu pikir Bentang Kahuaru adalah anaknya yang baik dan lugu. Tak pernah mengeluh justru tangguh. “Kamu ini sudah besar, sudah mau semester akhir, masa manja gini?”
“Kalau manjanya sama Ibu itu harus!” seru Bentang tak mau kalah.
“Ya sudah, ayo sayangnya Ibu kita makan,” ajak Beliau seraya berdiri yang diikuti oleh Bentang setelahnya.
Tersenyum sumringah setelah kemauannya terturuti, Bentang kembali bersiap untuk aktivitas selanjutnya. Tak lupa dirinya mengemas apa saja yang perlu ia bawa ke kampus. Berbekalan semangat jua Do'a dari sang Ibu, Bentang berangkat dengan sepeda motornya.
Melaju dengan hati-hati tanpa terburu-buru karena dikejar waktu Bentang cukup menikmati setengah harinya yang sempurna ini.
—
Takdir tidak ada yang tahu, mau menentang pun tidak mampu. Lagi. Universitas Prabangkara ramai lagi sorak-sorainya, namun kini ada yang berbeda yaitu pada banyak pasang mata yang menatap pun menusuk seakan Bentang adalah keturunan manusia busuk. Bentang mengerutkan dahinya, bingung.
Menelusuri jalanan koridor kampus, di setiap mading tertempel berita dimana-mana. Bentang menjadi penasaran, kasus apa lagi yang kali ini Hantu Musim Hujan udarakan.
Mengambil satu kertas yang ada di salah satu mading, manik Bentang spontan melotot seakan tak bergeming jua tak percaya. Yang dimana tertulis jelas;
DOSEN INI MEMAKSA MAHASISWINYA UNTUK ABORSI.
Lalu tertulis jelas nama sang Ayah beserta jabatannya. Dosen pengampu fakultas Bahasa dan Sastra. Djati Kahuaru Pramono. Kahuaru nama yang sama dengan nama belakangnya. Sontak emosinya kian memuncak, begitu tahu bukan satu kejahatan yang ayahnya lakukan namun ada banyak tindakan yang tidak bermoral yang ayahnya pun lakukan.
“SIALAN! GUA HARUS DATANGIN DALANG SI HANTU MUSIM HUJAN ITU!”
Langkahnya dengan yakin berjalan menelusuri koridor, yakin menemui seseorang yang dirinya sangka adalah dalang dibalik tersebarnya semua berita ini.
Napasnya menggebu-gebu dengan urat lehernya yang mulai keluar tanda ia benar-benar marah. Bentang, sudah tidak tahan untuk menyumpah-serapahi orang itu.
—
Sungguh Bentang 'tak pernah perduli akan puisi-puisi sampah yang disebarkan oleh seseorang yang melabeli dirinya 'Hantu Musim Hujan' itu, namun, Ia kini 'tak terima dan rasanya ingin sekali mematahkan batang leher sang 'Hantu Musim Hujan', si penulis sampah 'tak berotak itu. Sebab Ia mengusik apa yang seharusnya 'tak dia usik. Bentang amat menyayangi Ibunya, semua orang mahfum betul akan perkara ini, dan sekarang dengan seenaknya si Hantu Musim Hujan malah mengusik Ibunya. Mengusik ketenangan dan kebahagiaan pelitanya. Wanita yang amat Ia jaga dan hormati perasaannya. Tentu Bentang takkan terima akan hal ini.
“Chairil Affandi. Dasar bajingan tengik. Berani-beraninya lu pasang berita sampah ini.” Risalah hati yang terasa membakar hingga ke ubun-ubun. Sungguh Bentang amat tak menyangka bila seseorang yang Ia anggap teman, tega 'tuk usik keluarga kecilnya.
Langkahnya pasti. Berayun menuju fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia, tempat 'si biang kerok' bersemayam, Chairil Affandi yang diyakininya sebagai dalang di balik puisi keji Si Hantu Musim Hujan. Tak dihiraukannya tatapan mata tak tahu diri yang kini menatapnya bercampur aduk. Sarat akan rasa simpati, jijik, dan bahkan benci. Emosinya bertumpuk di kepala, ingin cepat-cepat sampai dihadapan Bajingan Chairil Affandi, dan memberikan banyak bogeman di wajah 'tak layak hidup milik Chairil Affandi, yang namanya bergema sebab prestasinya dalam Sastra dan Bahasa padahal 'tak lebih dari seorang bajingan penghancur segalanya.
“CHAIRIL AFFANDI BAJINGAN! KELUAR LU SEBELUM GUA ACAK-ACAK KELAS LU INI! JANGAN KIRA GUA NGGAK TAHU KALAU SEBENARNYA LU DALANG DI BALIK PUISI-PUISI SAMPAH BEBERAPA HARI INI.” Sesampainya di depan pintu kelas tempat Chairil bersemayam, Bentang langsung menggaungkan suaranya yang pasti dapat didengar hingga bermil-mil jauhnya. Kelas yang semula ramai akan mahasiswa/i yang berseliweran ingin pulang sebab kelas telah usai, kini menjadi hening. Terkaget akan gaungan tak berpasal dari Pemuda Teknik yang mereka kenali akrab. Menyandang gelar 'Mahasiswa Berprestasi' sekaligus anak dari salah satu Dosen Universitas Prabangkara, membuat segala perilaku Bentang sarat akan atensi. Namun sekali lagi, 'tak dihiraukannya atensi tak berguna muda-mudi ini. Tujuannya hanya si Brengsek Chairil 'tuk saat ini.
'Tak kunjung mendapati wajah Chairil hadir di depan muka, membuat kesabaran Bentang menghilang sekejap mata. Dihampirinya Chairil yang ternyata kini tengah asik merapihkan pernak-pernik bawaannya kedalam tas tanpa menghiraukan gema emosi milik Bentang Kahuaru, sang teman yang dikenalinya akrab. Terlanjur emosi, tanpa tedeng aling Bentang langsung saja menyeret paksa Chairil ke belakang gedung pembelajaran.
“GUA TAU ITU LU RIL, NGAKU ANJING!” Penuh emosi suara yang dilayangkan Bentang kepada Chairil yang kini menatapnya datar. Sarat akan rasa 'tak perduli.
'Tak kunjung mendapati jawaban, emosi Bentang terpancing kembali. “JAWAB SETAN, JANGAN DIEM AJA! BISU LU?”
“Apanya? Kau mau aku ngaku apa, Bentang? Soal Bapak kau itu atau soal kau yang bikin Suri mati?” Tidak tahan akan gema suara Bentang yang kian tinggi, Chairil akhirnya buka suara. Nadanya amat menantang, seakan-akan mengejek Bentang yang kini tengah kalut agar makin larut dalam emosinya.
“Nggak usah mengalihkan topik, ya, anjing. GUA KE SINI KARENA TAHU KALAU LU YANG NYEBAR BERITA NGGAK GUNA DI MADING! Gua tahu ril, selalu tahu kalau Hantu Musim Hujan itu lu 'kan! NGAKU, ANJING. Gua diem selama ini karena gua rasa itu bukan urusan gua, tapi apa? Lu malah usik keluarga gua, anjing.”
“BUKTI DARI MANA?” Mendengar suara menggebu sarat akan tuduhan tersebut membuat emosi Chairil terpancing sepenuhnya. “Dengar, ya, Bentang Kahuaru Yang Terhormat. Pengelolaan sistem penyebaran berita itu hak penuh Tim Jurnalistik kampus, jadi nggak usah bawa-bawa aku. Menuduh tanpa bukti itu perilaku terkonyol yang pernah ada. Satu lagi, kau nggak pernah tahu apa-apa soal aku, Bentang Kahuaru anaknya Pak Djati Pramono, lain kali didik bapakmu yang bener. Gak anak gak bapak sama aja kelakuan.”
“Tapi lu yang nulis, sialan! Tim Jurnalistik mungkin yang menyebar, tapi nggak mungkin orang-orang bisa bikin puisi bejat kaya yang udah tersebar. Cuma lu, Rill, yang selama ini suka bikin puisi-puisi dengan bahasa aneh kayak gitu. Dan satu hal lagi, JANGAN COBA-COBA ATUR GUA SIALAN!” Tidak digubrisnya pembelaan Chairil tersebut, Bentang hanya tahu kalau Chairil mengusik ketenangan Ibundanya. Itu saja.
“Oh, ya? Ada buktinya? Dari tadi kuminta bukti kau malah diam 'tak berkutik, lalu puisi bejat kayak gitu juga lebih bejat Bapakmu itu Bentang. Ngacalah, punya kaca 'kan kau di rumah?” ucap Chairil lebih menantang dengan kata bapakmu sebagai penekanan intonasi suara.
“Gua emang nggak punya bukti-buktinya, tapi gua yakin kalau lu dalang di balik semua ini. Lu tinggal ngaku, Ril. GUA TAHU BOKAP BEJAT! TAPI LU HARUSNYE BISA JAGA RAHASIA RIL. Mana yang katanya temen? Munafik ternyata lu, Ril.”
“Seyakin apa? Bisa dibawa ke jalur hukum? Apa pula kau nanya aku soal temen?” Chairil tergelak. “Temen, Ben? Apa kabar kau yang sudah khianati temenmu sendiri? Kau tega dorong Suri. TEMEN KITA BEN! TEMEN KITA! Dan kau sekarang nyalahin aku soal bapakmu yang emang perlu diadili kelakuannya. Gak kebalik?” Emosi sudah Chairil menanggapi perilaku temannya kini.
“Gua yakin, Ril. Ayo, lu sama gua, kita bandingin tulisan puisi punya lu itu sama puisi-puisinya si Hantu Musim Hujan. Kita buktiin sendiri, dan gua yakin seratus persen kalau bentuk tulisan kalian sama. Persis.” Bentang nampak menarik napas panjang. “Untuk masalah Suri, gua nggak sengaja dorong dia. Itu murni kecelakaan, DAN LU TAHU DARIMANA KALAU GUA YANG DORONG?”
Chairil mengangguk. “Boleh. Silahkan. Tapi asal kau tahu kalau aku nggak pernah berniat jelek untukmu ya, Ben.” Pasrah sudah Chairil di depan temannya kini. Ia akui segalanya. Namun kembali tersulut saat mengingat kalimat terakhir yang Bentang lontarkan. “Ben, nggak salah denger? GAK SENGAJA KAU BILANG? GAK SENGAJA APA BANGSAT! AKU LIHAT SENDIRI PAKAI MATA KEPALAKU KALAU KAU DORONG SURI! BAHKAN KAMU NGGAK ADA TOLONGIN DIA SEDIKITPUN.” Pecah sudah amarah Chairil saat dapati pembelaan Bentang tersebut.
“Berarti benar 'kan kalau lu yang nulis berita-berita itu, Ril.” Bentang menggertakkan gigi. “MASALAH SURI LU NGGAK USAH IKUT CAMPUR, ANJING, LU NGGAK TAHU APA-APA! SI SURI DEKETIN BOKAP GUA, APA NGGAK BERHAK GUA MARAH? JAWAB ANJING!Terus apa yang gua dapat? Lu malah bongkar aib bokap gua.”
“Iya. Kenapa? Nggak senang? Nggak terima bapakmu disebar beritanya? Semuanya sengaja kubongkar, biar semua orang tahu sebejat apa bapakmu itu. Apa perlu kusebar juga masalah kau yang dorong si Suri? Biar lengkap kalian bapak-anak jadi narapidana. Cocok. Toh, si Suri juga dekat sama bapakmu sebagai mahasiswi, wajar dong? Ini kau aja yang salah paham, tolol. Kayak anak kecil aja.” Mengejek sekali nada Chairil saat ini.
Tak tahan dan merasa dilecehkan oleh kata-kata Chairil, tangan Bentang terulur 'tuk tarik kerah baju Chairil dan melajukan bogeman mentah yang sudah ditahannya sedari tadi.
DUK! Keras sekali pukulan yang Bentang berikan, hingga langsung timbulkan lebam membiru disekitaran pipi milik Chairil. Dan ia mulai kesusahan bernapas. “NGOMONG SEKALI LAGI BRENGSEK! BERANI LU? LU TUH NGGAK NGERTI ANJING, COBA LU DI POSISI GUA RIL, YAKIN LU BISA? LU PASTI JUGA BAKALAN EMOSI SIALAN."
“UHUK- ... UHUK- ...” Chairil terbatuk-batuk dengan percikan darah mulai keluar dan menetes kotori pakaiannya akibat pukulan keras dari Bentang. Dan dirasa belum puas, Chairil kembali layangkan kalimat ejekan 'tuk timpali perkataan putus asa Bentang. “Bapakmu udah jelek namanya di seluruh kampus, Tang, tinggal nunggu buat dipidana aja HAHAHA." Membahana sekali tawa Chairil kali ini, entah apa artinya.
Di detik setelah ucapan Chairil usai Bentang yang tersulut emosinya langsung melayangkan lagi banyak pukulan bertubi-tubi di sekujur tubuh Chairil, terutama bagian wajahnya. Entahlah, Bentang rasanya muak sekali melihat rupa Chairil yang seakan 'tak berdosa atas perbuatannya. Namun anehnya Chairil hanya pasrah. Tak melawan sedikitpun setiap pukulan dari Bentang menghujam, seakan menerima bahwa dia patut mendapatkan ini semua. Bentang amat frustasi melihat kepasrahan Chairil saat ini. Ia bingung.
Sekali lagi. Chairil sepertinya suka sekali memancing amarah seorang Bentang Kahuaru.
“Ril ...,” sahut Bentang kali ini dengan nada lirih sehabis ia puas memukuli sahabat, entah kenapa Ia tiba-tiba ingin menangis, “Gua tahu bokap gua bejat, Ril. Gua tahu. Tapi, apa lu nggak mikirin gimana perasaan Ibu gua kalau tahu masalah ini? Gua udah bodo amat sama bokap gua, tapi gua nggak bisa kalau harus liat Ibu gua sakit, Ril. Nggak bisa.” Sendu nampak di mata Bentang kali ini 'tak dapat lagi disembunyikan.
“UHUKH- ... Ben, tentu aku mikirin gimana kedepannya kalau aku ungkapin kasus ini. Tapi harusnya kamu tahu, kalau diem aja. Semuanya bisa lebih parah. Kamu emangnya mau Ibumu tahu sendiri bahwa anaknya adalah pembunuh teman dia sendiri? Mikir pakai nalarmu itu,” jawab penuh idealis Chairil lontarkan 'tuk Bentang yang tengah termenung saat ini.
“Gua nggak bisa, Ril. Gua nggak bisa liat kalau Ibu gua hancur, gua juga nggak mau jadi pembunuh. Semua bukan kehendak gua, Ril." Frustasi. Kiranya itu yang menggambarkan sesosok Bentang Kahuaru yang tengah terduduk lemas saat ini. Ia bingung. Bingung akan tanya yang selalu dilontarkan Chairil. Buatnya 'tak tenang.
Mengikuti gerak Bentang yang terduduk lemas, Chairil ambil posisi di sebelahnya. Menepuk pipinya yang pastinya lebam membiru hasil karya seorang Bentang Kahuaru tadi. “Aku mungkin nggak punya ibu kayak kamu, Ben. Tapi aku tahu rasanya. Aku janji ibumu nggak akan nyesel setelah tahu ini. Terus? Kenapa harus dorong Suri? Dia sesalah itukah sampai harus kau dorong?”
“Lu mau janji apa, Ril? Gua nggak yakin Ibu bakal baik-baik aja setelah tahu hal ini. Gua juga udah lama tahu kalau bokap suka merayu mahasiswi di sini, tapi si Suri gua lihat-lihat juga centil ke bokap gua. Gua tahu gua udah salah karena bunuh Suri, tapi bukan kehendak gua kalau begini jadinya. Gua pusing, Ril, semuanya datang tiba-tiba,” adu Bentang kepada Chairil.
Sepintas lalu simpati muncul di pelupuk mata Chairil namun menghilang sepersekian detik setelahnya. Apik sekali Chairil memendam perasaan. “Ben, dengerin. Mungkin masalah Bapakmu dan Suri cuma kesalahpahaman kamu aja. Nggak mungkin Suri kayak begitu, dia teman kita. Dan untuk Pak Djati emang nggak cukup buat dipidana aja, tapi sebagai istri beliau, Ibumu pasti bakal terima karena setidaknya kelakuan dia harus ditindaklanjuti biar jera,” nasihat baik Chairil berikan 'tuk Bentang. Berharap dapat ringankan beban di hatinya saat ini.
“Semua tindakan memang harus ada tanggungjawabnya, gua rela kalau bapak dipenjara. Dia memang brengsek dan dia pantes dapet semua hukuman itu.” Bentang menyahut mantap. 'Tak lagi peduli akan nasib sang Ayah, yang ada di pikirannya saat ini hanya Sang Ibu.
“Berarti bakal terima kan? Ben, tahu. Aku salah. Dan untuk itu, aku minta maaf. Tapi caramu itu juga nggak bener."
Bentang mengangguk lemah. “Iya. Yang tadi hanya salah paham, tapi apa sekarang? Suri sudah bangkit lagi habis kena mati suri. Apa selanjutnya gua juga akan dipenjara? Nyusul bapak gua yg bejat itu? Apa lu juga akan nyebar berita gua yg ini, Ril?" tanya Bentang berakar-akar seakan kehilangan arah tujuan hidup.
“Enggak, Ben. Aku nggak akan ember lagi. Soal Suri, kayaknya ada yang aneh. Dia seolah lupa soal kejadian lalu. Jadi sebelum berita semakin parah, akan kubantu nanti minta maaf baik-baik,” jawab pasti Chairil lontarkan 'tuk Bentang yang langsung membuat rautnya kembali cerah. Tak sekalut sebelumnya.
“Lu janji mau bantu gua? Gua takut Suri malah nggak mau maafin gua, Ril. Secara gua pelaku utamanya, walau sekarang dia sudah hidup lagi,” harapnya dan cemas keadaan Bentang saat ini, sebab dia benar-benar ketakutan ketika berita mengenai kematian Suri menyebar. Walau kini cukup surut sebab kebangkitan kembali Suri. “Dia bakalan maafin kamu. Kenapa harus takut gitu? Suri 'kan anak baik, lagipula dia masih teman kita, 'kan?” sahut Chairil meyakinkan. “Eh tunggu, maafin aku dulu dong? Dimaafin nggak, nih?”
“Maaf Ril, gua sadar cara gua salah. Udah fatal. Gua udah maafin lu dan gua minta maaf juga sama lu. Maaf atas pukulan gua yang bikin muka lu nggak berbentuk lagi.” Lepas sudah tangis Bentang yang telah Ia tahan sedari awal. Semua terasa lepas. Beban di hatinya menghilang begitu saja.
Tertawa. Itu yang Chairil lakukan saat melihat turunnya air mata pemuda di sebelahnya ini. Padahal tadi pemuda itu amat bersemangat dalam hal memukulinya, namun sekarang menangis selayaknya anak kecil. “Iya iya, udah nggak usah nangis. Anak teknik kok nangis? Bakal baik-baik aja. Tenang dan serahkan pada Chairil Affandi."
'Tak terima akan ejekan temannya tersebut, Bentang menyahut lantang dengan terlebih dahulu menghapus air matanya. “Anak teknik punya hati sama punya stok air mata juga kali Ril, bisa nangis. Gua percayain semuanya sama lu, Ril. Thanks, ya.”
“Sama-sama, Ben. Serahin semuanya ke aku, dan akan berjalan baik-baik aja.” Chairil tersenyum manis sembari mengusap dengan songong bibirnya yang sobek.
BERSAMBUNG.
Komentar
Posting Komentar