KUTUKAN MAWAR: PART 1.
KUTUKAN ITU BERTUMBUH semacam bunga mawar. Akan terus membesar, hingga pecah lalu mengeluarkan duri. Kutukan itu berkembang serupa balon. Yang setelah membesar dan mengeluarkan duri, kutukannya akan tersembur gas beracun lalu menginfeksi semua orang. Selayaknya dari satu perbuatan yang telah dosa karena seseorang, maka rekan lain pun ikut-ikutan.
—
Setelah lelah seharian beraktivitas, para muda-mudi Suargaloka memutuskan untuk beristirahat dan akan berkumpul kembali di jamuan makan malam.
Tepat pukul tujuh acara jamuan malam akan digelar, namun 'tak semua anggota dapat hadir di meja makan. Beberapa di antaranya memiliki urusan mendesak, dan lainnya sedang beristirahat. Hanya Aning, Ali, Bentang, dan Suri yang terlihat memenuhi meja makan.
Suasana tiba-tiba berubah meriah ketika Aning memulai bisnisnya, apa lagi kalau bukan bergosip ria. Ia mendecak, “Chairil sama Wisang pake acara sakit segala, kenapa coba? Padahal kemarin mereka masih baik-baik aja, tuh,” mulainya dengan menggebu-gebu, sepertinya hal tersebut t'lah dipendamnya lama dan baru tersalurkan di waktu ini, “Ceroboh banget. Masa nggak bisa jaga diri?”
“Gua setuju, Ning. Mana barengan kan mereka, katanya sehabis pulang dari pasar yang kemarin, tuh,” sahut Bentang yang tampak amat jengkel.
“Oh, pasar toh. Kesambet setan kali mereka,” celetukan tak berdasar Aning lontarkan.
Suri yang sedari tadi diam menimpali gosip mereka halus, “Lah? Iya, ya? kok bisa barengan gitu dah.”
Jengkel karena celetukan 'tak berdasar teman-temannya, Ali menimpali ganas, “Hush, Aning jangan sembarangan ngomongnya. Kalian juga sama, jangan gampang berspekulasi. Kali aja mereka kecapekan, kita kan enggak tau kegiatan mereka apa aja, fisik orang beda-beda.”
Namun, dengan segera argumen Ali disanggah oleh Bentang, “Masa iya, Li? Eh, tapi gua lebih curiga sama Tan. Masa dari pertama kali dia engga ada keliatannya makan bareng kita? Sering keluar malem-malem lagi, ngapain coba? Lu pikir-pikir dah.”
“Lah iya. Dipikir-pikir bener juga, Tang. Aku selama di sini cuma liat Tan pas ada kegiatan proker sama pas ngumpul bareng aja, kegiatan lain hilang entah kemana.” Kali ini Suri menyambar umpan dari Bentang.
“Waduh, jangan-jangan diem-diem dia main sama cewek lagi. Ck, ck, ketua gimana, sih? Heran.” Lagi-lagi Aning melontarkan hal 'tak pantas, hingga mengundang ceramah dari Ali.
“Hush, sama teman sendiri kok curigaan gitu kalian ini, gabaik berprasangka yang enggak-enggak itu. Terutama Aning, jangan suka kasih spekulasi negatif tanpa bukti gitu, apalagi sama teman sendiri,” sahut Ali 'tak suka.
“Ya kalau yang gue bilang itu bener?” sahut Aning menimpali, di sampingnya Bentang mengangguk setuju.
“Itu masalah pribadi beliau,” jawab Ali singkat.
“Aning, nggak boleh suudzon gitu. Kamu juga, Tang,” tambah Suri, menegur Aning dan Bentang yang makin berprasangka buruk.
“Gak gitu, Li,” sanggah Bentang merasa tak setuju, “Tan ini sering banget keluar malem-malem, kalo sesekali ya gua masih wajar nggak bakal securiga ini. Ketua si ketua, emang sibuknya sampe malem?” lanjut Bentang menimpali, sembari meminum air putih yang ada di dekatnya.
Ali yang memang selalu berpikir positif pun tak gentar memperingati juga menegur teman-temannya, “Cukup dipendam aja Tang, nanti jadi masalah lain. Kita KKN di sini, butuh koordinasi dari Tan juga nanti.”
Aning maupun Bentang jadi terdiam seketika, sampai suara Suri mengudara, melontarkan persepsi lain yang membuat semuanya kembali curiga.
“Eh, tapi dipikir-pikir...,” jedanya sebentar, menelan makanan yang masih ia kunyah, “aku juga sering liat Tari keluar malam-malam,” lanjutnya.
"TARI???" seru Aning tak percaya.
Memutar kedua bola matanya, Bentang ikut menyahut, "ngapain lagilah si Tari?" tanyanya ikut menimpali.
"Ya Tuhan, ngapain coba? Yang lain pada sibuk mereka berdua malah keluyuran gak jelas." Merasa frustasi, Aning lagi-lagi melontarkan kecurigaannya.
Di tempatnya, Suri juga mulai memendam curiga, "Nggak mau suudzon sih. Tapi kebetulannya kok begitu," ucapnya seperti ragu.
Semuanya yang ada di meja makan ikut berfikir, memilah kejadian yang mungkin saja bukan sekedar kebetulan.
"Lu pada ngerasa aneh nggak sih?" Kini Bentang kembali bersuara.
"Aneh gimana?" sahut Suri menimpali.
"Jadi kayak punya tujuan sendiri, hilang-hilangan," ucap Bentang, dahinya mulai berkerut tanda ia masih memendam kecurigaan yang lain.
“Tujuan gimana, Tang?” Dahi Ali ikut mengkerut mendengar pernyataan Bentang.
“Gini, kita kesini buat KKN kan? Tugas lebih banyak dilakukan waktu siang, kalau malem Tari sama Tan mau ngurus apalagi? Wisang Chairil pun lagi sakit, mungkin emang kecapekan,” ujar Bentang menyuarakan kecurigaannya.
"Dari awal kita masuk desa ini juga udah aneh, Tang," timpal Ali.
Aning turut bersuara, "Nggak cuma mereka berempat yang aneh, desa ini lebih aneh."
"Makin ke sini makin nggak beres gak sih?" Suri melempar pertanyaan, ketiga yang lainnya mengangguk.
"Iya, tapi mau gimana lagi, Sur? Udah sampe sini,” ucap Aning dengan nada pasrah.
“Setuju. Banyak hal yang janggal, dari kita masuk sampai kejadian ketemu orang-orang aneh kemarin puncaknya.” Kali ini, Ali yang buka suara.
“Lah? Lo ngalamin kejadian aneh juga kemarin? Waktu itu, pas di sungai, kaki gue kayak ada yang narik gitu. Gue sampe diomelin Wisang karena dia pikir gue bercanda,” terang Aning perihal apa yang ia alami.
“Bukan gua tapi si Iris, gua cuma dapat peringatan sekilas lalu aja.” Kini giliran Ali yang bercerita.
“Gila. Suri sama Bentang gimana? Aman-aman aja?” Aning menoleh ke arah Suri dan Bentang yang sejak tadi bungkam.
“Maksud lu gimana?” tanya Bentang memicingkan mata.
“Ya maksudnya, lu ngalamin kejadian aneh gak?” jelas Aning yang kini meneguk minumannya.
“Aman sih,” jawab Bentang singkat.
Sedangkan Suri membalas pertanyaan Aning dengan agak linglung, “Hah? Ya aman? Kan gini-gini aja?”
Senyap sejenak. Keempatnya masih memproses semua yang mereka alami sejauh ini sembari menghabiskan makan malam mereka hari itu. Gelisah dalam pribadi mereka berkobar layaknya api yang besar. Mencoba terbiasa ataupun pura-pura nyaman pun tak bisa, sebab keanehan terus muncul entah itu berasal dari bangsanya atau malah desa yang mereka kunjungi.
“Dipikir-pikir, Tan dan Tari mencurigakan juga kalau aktivitasnya malam-malam.” Ali kembali membuka topik tentang Tan dan Tari.
“Nah, sesibuk-sibuknya mereka, gua aja malem masih bisa makan bareng kalian,” cibir Bentang seolah menyindir yang tak hadir malam itu.
Ali menyenggolnya, "Ah, ini mah karena lu suka nyempil di antara cewek-cewek," ujarnya dengan senyum tengilnya dan langsung dihadiahi tawa dari Suri dan Aning.
"Waduh, jadi ngeri sama Bentang, nih," timpal Aning seraya menggeser bokongnya menjauh dari Bentang.
"Jangan begitu, siapa tahu nanti lu malah cinlok sama Bentang. Jodoh mah nggak ada yang tahu. Oh! Atau malah Suri, nih?" goda Ali.
Suri merotasikan dwimaniknya, "Ngaco! Kita tuh di sini mau KKN, bukan syuting drama atau nyari jodoh!"
"Ay, ay, kalau gue sama Bentang, apa kata Prabangkara, Li???" bantah Aning.
"Ssst, ah! Apaan sih kalian. Gue di sini juga kan nemenin kalian, jaga kalian loh. Emangnya Ali mau sendirian?" sahut Bentang.
Ali mengangguk-angguk mengerti, "Iya, paham kok. Maaf ya, cuma bercanda tadi tuh."
"Tapi ... malah lebih kaget kalau Bentang cinlok sama putrinya Datuk, nggak, sih?" gurau Aning.
Bentang meneguk habis airnya, "Asem! Nggak, ya, gua mau fokus KKN supaya ibu bangga."
"Atau jangan-jangan kamu yang cinlok, Li?" sambung Suri.
"Waduh, Ali??? Sama siapa? Sama Surikah? Yah, potek nih gue," keluh Aning.
"Ning? Seriusan?" kaget Suri. Bentang dan Ali pun terdiam, menunggu jawaban Suri.
Aning tertawa, "Nggaklah! Cuma bercanda ih."
"Bikin kaget aja!" seru Ali.
"Ya syukur kalau beneran, pulang-pulang bawa gandengan," timpal Bentang yang mulai merapikan barang-barangnya.
Aning mengangguk, "Alias pakaian kotor."
Suri menghela napasnya, "Semoga gandengannya bukan makhluk halus," gumamnya yang hampir tak didengar oleh mereka berdua.
—
Kini dadanya lebih gembur oleh dosa yang ditimbang dengan komperehensi setengah matang. Harga dirinya terluka, dan cita-citanya berdarah.
Tan Sjahrir selalu unggul dalam segala hal adalah fakta yang mutlak dan tidak perlu pembuktian. Harusnya begitu. Huruf S di namanya menuntut sang pemuda menjadi si paling Sempurna. Sampai Tan lupa bahwa dirinya berdiri di halaman rumah dengan daun-daun masalah membelasah berserakan dan bunga-bunga mimpi-mimpinya layu bermati bersamaan di sebelah kolam ikan yang kekeringan validasi.
Ia selalu akan menjadi utama dan paling berada maju jauh ke depan. Hingga ia bertemu kawan seperjuangan, Wisang Artsandanu. Pemuda itu tak jauh beda dengan Tan—menurut si pandang ketua. Namun dalam lubuk hati terdalam Tan, ia benci jika didahului oleh orang lain. Alhasil ketika Wisang menjadi lebih unggul sedikit di depannya, meski masuk hal materi dan nilai-nilai mereka, kedua pemuda ini tanpa sadar bersaing terus hingga jadi yang paling memikat pada kemenangan.
Tan berjalan memasuki gudang yang terletak di belakang rumah Pak Prabu. Di sanalah tempat biasa Datuk Khalaf menghabiskan pekerjaannya. Lantas Tan masuk dan langsung duduk di singgasana yang telah disediakan tuan rumah. Seraya mengucapkan, “Datuk, saya minta bantuan,” ucapan keramat terlontar sudah.
Datuk Khalaf mengusap pelan jenggot putihnya yang tak terlalu lebat dan mengangguk terbata-bata. “Boleh, anak muda. Sebutkan keluhanmu.”
“Saya ingin meminta tenung.”
Mendengar permintaan Tan, Datuk Khalaf membolakan mata. “Serius, cah bagus? Sampeyan iku pinter lan teliti, ampun-ampun kok malah nyiwun guna-guna.”
Tan hanya menunduk namun matanya menyala-nyala, ia seolah menahan bara api dalam raganya meledak. “Saya hanya ingin dia rasakan celaka agar tak mengungguli saya lagi, Datuk.”
Datuk berseri-seri rupanya. Lalu ia mengeluarkan sebuah kendi kecil yang bagian ujungnya ditutupi kain kafan. “Ada syaratnya. Carilah tumbal seorang gadis perawan dan isikan darahnya ke kendi ini. Sudah? Datang lagi ke kemari.”
Tan mengangguk. Ia mengeluarkan plastik berisi cairan darah kental merah yang merupakan sisa darah Rindu. Tan sempat mengambilnya ketika Rindu terluka akibat jatuh semasa menjalankan proker mereka. Dimasukkannya dengan penuh tekad itu darah dalam kendi, lalu Tan berikan pada Datuk Khalaf.
Sedang Datuk Khalaf mulutnya berkomat-kamit entah rapalkan mantra apa. Namun Tan dengan spontan memberikan helai rambut Wisang yang ia ambil pula semasa meminjam sisir pemuda itu. “Ini rambut Wisang, tuk. Saya ingin memberi teluh pada pemuda itu. Terima kasih.” Sehabisnya Tan pergi dengan ucap banyak terima kasih dalam hati semasa lihat Datuk Khalaf mengangguk-angguk sambil terus mulutnya cuap-cuapkan mantra-mantra sihir hitam.
Dan jauh tanpa sepengetahuan Tan, ia memulai sebuah ritual penuh dosa besar. Yang membawanya ke dalam sebuah parade rumit tak berkesudahan. Sebab Datuk Khalaf, tak akan pernah bisa mengabulkan permintaannya.
—
Malam ini sama seperti malam sebelumnya, tidak ada yang aneh. Makan malam yang dibagi menjadi dua cloter. Beberapa memilih untuk melakukan aktivitas lain setelah makan sembari menunggu cloter kedua selesai. Sedang beberapa lainnya memilih untuk beranjak tidur.
Begitupula dengannya, Rindu Isma. Setelah membereskan alat makan yang digunakan oleh cloter pertama, Rindu memutuskan untuk tidur. Tentu bersama teman baiknya, Tari. Ia dan Tari berjalan beriringan hingga sampai di kamar tempat mereka tidur.
"Tari, hari iki capek banget yo?" ini suara Rindu yang memecah keheningan sembari merebahkan diri di kasur.
"Tar," imbuhnya, dan Tari masih tidak merespon sama sekali. Rindu celingak-celinguk mencari dimana keberadaannya. Atau paling tidak mencari dimana tongkat yang selalu ia gunakan itu berada. Hasilnya nihil, baik Tari maupun tongkatnya tidak ada di ruangan ini.
"Lah perasaanku tadi wonge disini." Monolog Rindu.
Rindu agak khawatir sebetulnya, mengingat kondisi Tari. Pikirnya berjalan dengan mata normal saja agak susah di tempat yang belum familiar, apalagi tidak. Akhirnya ia pun bergegas mencari. Mencarinya ke dapur, barangkali Tari masih di sana. Pun mencarinya ke ruangan lain yang sekiranya belum ia kunjungi, dan sekali lagi hasilnya nihil.
Rindu berjalan menyusuri rumah. Satu-satunya tempat yang belum ia cari adalah pekarangan rumah. Pikirnya mungkin saja Tari pergi ke luar untuk menemui yang lain. Rindu pun bergegas, memastikan apa yang ia pikirkan dengan harapan setinggi langit. Berusaha berpikir positif soal dimana teman karibnya itu berada.
Ini adalah langkah terakhirnya sebelum sampai di teras rumah singgah. Dan entah apa yang salah dengan tubuhnya, ia merasa kakinya tidak bisa dilangkahkan lagi. Seakan ada tembok raksasa tak kasat mata yang menghalanginya, lidahnya pun kelu. Dan seketika semuanya gelap.
—
Suara binatang malam sudah berkumandang diluar sana, seolah mereka sedang berlomba untuk menunjukan suara siapa yang lebih mendominasi di kegelapan malam hutan desa Bumi Tarung.
Malam ini Suargaloka sibuk dengan kegiatan masing-masing, termasuk Iris yang kini sedang memasak sedikit makanan hangat untuk diberikan kepada kedua temannya yang sakit.
Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk membuat masakannya jadi masakan yang sedikit sempurna. Setelah itu, Iris langsung berjalan keluar dapur dan masuk ke dalam salah satu kamar, tidak lupa membawa nampan yang berisi dua piring makanan beserta beberapa obat-obatan untuk diberikan kepada kedua temannya, Chairil dan Wisang.
Iris membuka tirai pembatas dan melihat Wisang dan Chairil masih berada dibalik selimut. Hanya saja posisi keduanya berbeda, Chairil dengan posisi duduk sembari membaca sebuah buku, sementara Wisang tiduran di kasur. Iris menduga mereka masih demam, ditambah udara malam ini memang sedikit dingin.
"Tumben," celetuk Wisang ketika melihat Iris masuk kedalam kamar. Pemuda itu menurunkan selimutnya lalu mendudukan dirinya di kasur.
"Aku gak akan biarin kalian berdua mati disini, ribet. Mau emangnya jasad kalian dikuburkan disini? Gak mungkin kan aku dan yang lain gotong mayat kalian buat dibawa pulang ke kota, keburu busuk," sahut Iris ketus sembari membagikan masakannya kepada Wisang dan Chairil.
Wisang menerima masakan Iris, tidak lupa pemuda itu menyahuti kembali ucapan Iris. "Gak mungkin lah! Gua sama Chairil cuman demam, kok lu mikirnya udah kesitu aja."
Iris mendengus kasar, lalu menoleh ke arah Chairil. "Kamu gimana? Udah enakan belum badannya?" tanyanya. Chairil menoleh, menganggukan kepalanya, lalu mulai fokus dengan makanannya.
"Kalian emang sebelum masuk hutan ngapain dulu sampai-sampai diliatin sama mereka?" tanya Iris lagi sembari duduk di pinggir kasur milik Wisang.
"Kita berdua pulang pergi itu lewatin jalan yang sama. Cuman pas pulang kemarin kaget ada pesta begitu, ya mana tau kalau ternyata...." Wisang tidak melanjutkan ucapannya, matanya melirik Chairil dengan tatapan ragu.
"Mana tau kalau itu pesta para setan disini. Sebenarnya aku pikir ada untungnya aku dan Wisang menerima ajakan mereka untuk bersinggah sebentar dan mengambil beberapa makanan disana, bahkan menerima pemberian dari mereka. Anggap saja itu bentuk sopan santun kita sebagai tamu disini," sahut Chairil. Wisang yang mendengar itu langsung mengangguk setuju.
"Iya juga, gua jadi kepikiran nasib kita bakal kayak gimana kalau seandainya kita nolak itu semua. Disesatin ke alam lain kali ya?"
"Ya itu kita udah dibawa ke alam lain, Sang."
Iris terdiam, tiba-tiba mengingat kejadian saat dirinya melihat bayangan hitam di pemakaman. "Sebenernya... aku ngerasa ada yang aneh dari desa ini."
Chairil langsung menoleh kearahku. "Kamu diganggu juga?" tanya pemuda itu, Iris pun langsung mengangguk pelan.
"Kemarin, pas aku ditugasin buat keluar sama Ali dan Bentang. Pak Prabu membawa kami menelusuri bagian-bagian mana saja yang dimiliki desa ini. Awalnya, semua berjalan baik-baik saja. Sampai akhirnya kita ngelewatin pemakaman, entah makam umum atau makam para leluhur disini, karena ada beberapa makam yang ditandain pakai kain hitam. Tapi bukan itu yang aku bikin aku takut."
Wisang mengangkat sebelah alisnya, merasa bingung dengan cerita Iris. "Terus kenapa? Lu diliatin juga sama mereka?" Wisang bertanya, namun sedetik kemudian merasa terkejut karena Iris menganggukan kepalanya.
"Aku liat bayangan hitam besar, dia natap aku dan Bentang dengan tatapan marah. Seolah tidak menyukai kehadiran aku dan Bentang disana. Sayangnya Bentang malah gak percaya sama apa yang aku lihat."
Chairil diam beberapa detik, lalu menghela nafasnya. Pemuda itu menaruh piring kosong ke atas nampan yang tadi Iris bawa. "Yaudah, berarti itu tandanya teguran untuk kita semua, supaya lebih hati-hati lagi dalam bersikap. Inget loh, kita ini lagi di daerah orang, pasti ada aja gangguannya. Kalau aku sih... dari hari pertama kita datang kesini sudah mendapat teguran."
"Serius? Lu ditegur gimana?" tanya Wisang antusias, ingin tahu yang dialami Chairil.
"Ingin tahu saja kamu," jawab Chairil seadanya. Wisang yang mendengar jawaban Chairil langsung mendecih sinis. Pemuda berwajah chinesse itu hampir saja melempar Chairil menggunakan piring yang tadi ia gunakan untuk makan.
Iris yang melihat itu hanya menghela nafas lelah. Perempuan itu lantas langsung membenahi piring kotor yang tadi digunakan teman-temannya. Tidak lupa juga Iris menuangkan air dan menaruh beberapa obat-obatan ke atas meja.
"Makan sudah selesai, jangan lupa minum obat ya kalian, jangan sampai enggak atau kalian akan terus sakit-sakitan lalu projek KKN kita tidak akan kunjung selesai. Aku keluar dulu, selamat beristirahat," ujar Iris, lalu berjalan keluar kamar. Membiarkan Chairil dan Wisang melanjutkan istirahat mereka agar keduanya segera sembuh.
—
Tari menitipkan seluruh rindunya di pucuk puspa radi. Maka selama ia pergi mengarungi bahtera rumah penuh hujan air mata: ia hanya memikirkan orang-orang yang berada di dalamnya. Ibu, yang memupuk rasa percaya diri dalam Tari. Ayah, bersama anginnya yang menguatkan. Lalu lentera penuh duka, untuk nanti sosok cintanya.
Tari perlahan-lahan berjalan dengan tongkat yang ia genggam dengan tangan kiri. Angin sepoi-sepoi malam menerpa wajah juga helai-helai kecil rambut yang terikat satu. Walau Tari betul tahu dirinya tidak bisa melihat pemandangan bintang indah di desa itu, setidaknya Tari dapat merasakan dingin anila yang menenangkan seperti itu. Seandainya pula Tari bisa melihat, pasti semua akan lebih baik.
Pikirannya melalang buana memikirkan banyak hal, terutama Suargaloka juga desa tempat KKN mereka. Hingga tanpa Tari sadari sudah cukup lama dia berjalan-jalan tanpa arah, dengan kuasa tangan kanan meraba-raba depan, sudah cukup jauh ia berkelana dari rumah yang disinggah.
Tari menatap lurus kosong ke depan, tanpa sengaja dia menemukan suatu gubuk tua dalam pandangan kaburnya, ia pun datang menghampiri. 'Gubuk? Sebentar, sejak kapan gue bisa ngelihat sesuatu selain setan? Aneh,' batin Tari sambil terus melangkah ke arah gubuk itu.
Sesampainya pada tempat, Tari meraba-raba kayu di sana yang sudah terlihat dari teksturnya begitu rapuh, gubuknya pun tak layak huni, sudah reyot dimakan rayap pula kayu-kayu dinding dan terlihat dapat rubuh kapan saja yang Tari rasakan aneh sebab suasana di situ cukup hangat, tidak dingin macam angin bebas di hutan, sanggup membuat orang betah berlama-lama duduk di gubuk itu.
Beberapa lama duduk sambil menatap ke arah depan yang gelap, Tari dikejutkan dengan sebuah tepukan tangan pada bahu, Tari menolehkan kepala ke kanan dan kiri. Ia berhenti di sisi kiri lalu melihat sesosok laki-laki yang tersenyum manis kepadanya. Parasnya tampan, dengan mata yang indah membuat Tari menatap tanpa sadar terpana, hidung mancung cocok dengan bibir merah yang tipis juga kulit putih. Mahakarya Tuhan yang indah sampai Tari sadar ia bukanlah manusia biasa sebab, jikalau lelaki itu manusia, pandangan Tari tentu akan kabur, namun tidak untuk kali ini.
"Hai, saya Fajar Selatan, siapa namamu?" ucapnya dengan suara lembut disertai senyuman. Untuk pertama kali Tari dapat melihat wajah seseorangăź atau bisa disebut makhluk tak kasat mata? Tapi dia terlalu tampan untuk disebut hantu. Untuk perdana, Tari dapat melihat dengan sangat jelas seperti ini, semacam baru pertama kali nampak pelangi di nabastala biru, bolehkah Tari merasa bahagia? Karena bisa melihat dengan sejelas ini setelah dia hadir?
"Bening Oetari, panggil saja tari," ucap yang puan sembari tersenyum manis. Ya, Tari berhak untuk merasa bahagia bukan? Walau ia tahu bahwa alasan bahagianya bisa melihat dengan jelas seperti ini karena sesosok mahluk yang seharusnya tidak berinteraksi lebih dekat dengan manusia.
Tapi apa Tari bisa menolak? Hanya wajah dia yang jelas untuk dilihat sekarang, bukan dalam bentuk mengerikan seperti hantu pada umumnya melainkan seperti laki-laki remaja seusia Tari. Tentu Tari tidak dapat menolak, Tari begitu merasa beruntung pergi keluar sendirian malam ini karena itu dia dapat bertemu dengan sosok pemuda manis, sang Fajar Selatan sosok hantu dengan senyum menawan.
BERSAMBUNG.
Komentar
Posting Komentar