KEBANGKITAN ELEGI.

SUDAH SEPANTASNYA TIAP JIWA 'kan kembali ke hadapan sang pencipta. Baik yang baik maupun yang jahat. Suri seolah sudah merekam kematian orang tuanya dalam angan. Ia tak bisa berhenti memutar kembali adegan keji itu. Dan setiap rekaman itu terulang, ia hanya bisa meringkuk sendirian dalam gelap. Ia hanya bisa mengira-ngira bagaimana cara ia mati, apakah dengan damai ataupun dengan cara sadis tak terbayang. Namun sepertinya alam sudah tahu bagaimana Suri akan menghadap sang pencipta. Ya, hari ini waktunya.

Suri mengetuk-ngetukkan ujung jarinya mengikuti irama lagu. Meskipun ia bingung darimana datangnya lagu itu, mungkin dari gedung seni musik yang tak jauh dari sini. Tepat ketika dosennya mengakhiri pertemuan, Suri meraih drafting tube yang sebenarnya ia tak ingin bawa. Namun apa daya, kelas hari ini mengharuskannya untuk membawa tabung berat itu. Meskipun begitu, hari ini adalah hari besar untuk Suri. Selepas kelas ini, ia punya rencana. Entah dengan yakin atau ragu, Suri mulai melangkahkan kakinya menuju gedung yang disebut sebut sebagai gedung tertinggi di Universitas Prabangkara.

Suri menatap nanar lantai dasar yang sekarang berada tiga puluh meter dibawah. Ia tersenyum, lalu mulai membentangkan tangannya. Mengatupkan netra bersiap 'tuk tidur selamanya.

“SURI! NGAPAIN DI SANA?”

Tak berniat menjawab pertanyaan itu, lisan Suri hanya terdiam. Namun dalam benaknya, berbagai pikiran berkecamuk menjadi satu lubang gelap.

“SURI! TURUN CEPETAN!”

Masih tidak ada jawaban. Hening berjalan. Suri mulai kehilangan rasa yakinnya, meski ia bisa saja menjatuhkan dirinya sekarang.

“SURI! JANGAN LOMPAT!”

Kini Suri hanya menatap rekannya dengan sarat kecewa. Hastanya turun tanda ia tak berniat terjun saat itu juga. Pikiran ragu bercampur dengan keputusasaan dalam benaknya. Ia harus apa? 

“Aku harus apa Chairil?” batin Suri menatap temannya yang tengah menunggu di bawah sana. Bukan, bukannya menunggu Suri untuk terjun. Ia menunggu Suri untuk memberi jawaban. Suri kembali berperang dengan pikirannya ketika Chairil beranjak pergi sembari menjawab telponnya yang ternyata sedari tadi berdering. 

Ketika Suri mulai ragu dan membatalkan niatnya untuk hari ini, alam tak berpihak. Entah karena sol sepatunya yang sudah mulai rata atau karena gedung itu licin terguyur hujan pagi tadi, Suri jatuh. Bukan dalam pelukan seseorang layaknya film romansa, ia jatuh dalam penyesalan. 

"Ayah, ibu, maaf, Suri rindu kalian."


Chairil merekam semua kutukan dengan matanya. Seolah menafsirkan tiap kejadian dengan mempertanyakan definisi bagaimana cara manusia-manusia itu mati? Apakah mereka mati dengan layak dan damai menjalari jiwa, atau apakah mereka mati dengan sukma penuh dosa menggelayuti rantai kehidupan di punggung. Semua itu sudah dilihat oleh Chairil Affandi. Tiada waktu ia menyaksikan orang-orang yang merundungnya mati akibat ulah Chairil sendiri.

Sampai ia baru saja keluar dari gedung Bengkel Seni tempat ia biasa mengukir puisi-puisinya yang katanya berisi orasi sampah untuk pemerintah. Ia melewati halaman gedung parkiran ingin menuju ke perpustakaan namun menemukan sebuah bayangan seorang perempuan yang berdiri tanpa pegangan. Itu Suri Anjani, ia berdiri di pinggiran gedung dengan tangan terbentang luas seolah mengais udara. Netranya nampak tertutup dan Chairil tahu pasti bahwa Suri akan menerjunkan dirinya. Tidak, ia harus menghentikan.

“SURI! NGAPAIN DI SANA?”

Tidak ada jawaban. Hening melanda.

“SURI! TURUN CEPETAN!”

Masih tidak ada jawaban. Hening berjalan.

“SURI! JANGAN LOMPAT!”

Semakin tidak ada jawaban. Hening merasuki. Namun hasta Suri turun, netranya terbuka dan penuh sarat tatap kekecewaan. Seolah ia baru saja dilukai, ia baru saja disayati, ia baru saja dikecewakan oleh seseorang. 

Chairil hampir saja akan menaiki tangga gedung parkiran jika saja dering telepon seluler dari sakunya tidak berbunyi. Chairil mengangkat, rupanya itu ketua divisi sastra telah menyuruh mahasiswa dan mahasiswi lain berkumpul. Chairil pun bergegas pergi dari sana menuju gedung Bengkel Seni dengan berlari.


“Maaf, Suri. Belum sempat menghalangi kamu lompat.”

Tepat baru saja menyelesaikan rapatnya dengan anggota divisi sastra lain, Chairil Affandi menerima kabar bahwa Suri Anjani tewas akibat lompat dari lantai enam gedung parkiran yang tadi sempat Chairil lewati bahkan tegur sekaligus. Namun demikian ia tahu ia terlambat memperingatkan, dan ia tidak memberikan usaha lebih, maka Suri Anjani berhasil terjun bebas tanpa beban dari lantai enam gedung parkiran kampus.

‘Titip salam buat yang berkunjung. Nggak bisa ikutan karena mau ngurus mading.’

Selepas Chairil mengirim pesan, ia pergi keluar menghampiri gedung Fakultas Teknik, untuk mencari seseorang yang telah melancarkan kejadian ini.


Ketika pencarian sebab hayat seorang Suri Anjani hampir berakhir; ia terpaksa melarung rasa sebab fakta akan Suargaloka sekumpulan manusia munafik; diam digagahi ego atau pasrah takdir ilahi.

“Nona Suri pernah bilang pada ibu, katanya lebih dia saja yang mati ketimbang orangtuanya,” suara Rah Kanti selaku Nyonya pemilik kontrakan tempat Suri Anjani tinggal selama berkuliah di Jakarta, mengalun lembut masuk ulu hati. Orang yang mendengarnya pun pasti kenal bahwa nadanya terluka.

Peti mati yang dihiasi penuh bunga mawar dengan Suri Anjani berteduh di dalam menggunakannya gaun cantik seperti wanita yang akan menikah. Putri salju dengan membawa bunga mawar di tangan.

“Oh ya, ini yang datang cuma segini? Anak Suargaloka yang lain mana?” tanya Ibu Kanti kepada seluruh hadirin temannya Suri yang datang.

“Memilih untuk berkunjung besok, Bu. Karena kesibukan,” jawaban Iris diangguki oleh Ibu Kanti sampai beliau menyingkir sebentar menyambut tetangga sekitar kontrakan.

Selepas beranjak terdengar riuh bisik-bisik dari nona-nona jelita miliknya Suargaloka. Awal mula Aning yang menanyakan suatu hal yang ia pikir janggal.

“Lo pada percaya kalau Suri bunuh diri?” tanya Aning dengan mata penuh siasat. “Chairil jadi saksi mulu, deh. Kok bisa dia kebetulan tahu terus kejadian sama masalah di Prabangkara,” lanjut sengit.

“Kataku sih ndak, Suri keliatan biasa-biasa aja kok akhir-akhir ini,” sahut Rindu.

“Iya, kan? Aneh banget kalau semisal dia tiba-tiba bunuh diri. Toh, keluarganya juga udah lama mati, ngapain bunuh dirinya nggak dari dulu aja.”

“Heh, Aning!” sela Iris sembari menepuk pelan tangan Aning. “Nggak sopan bilang begitu. Sudah biarkan saja, baiknya berdoa dengan tenang buat teman kita.”

Rindu mengangguk dan ketiganya mulai bergiliran maju untuk memberikan penghormatan terakhir. Sedang Risjaf daritadi tidak berhenti celingak-celinguk mencari sesuatu atau bahkan seseorang, di dalam kontrakan Suri yang tidak terlalu luas itu.

“Kenapa, deh, Jaf?” tanya Ali lantaran sudah tidak sanggup melihat Risjaf yang terus-terusan melihat ke sana kemari.

“Nggak apa-apa. Cuma absen siapa-siapa saja yang nggak datang.” Risjaf menyeduh teh hangatnya kemudian pergi menghampiri perkumpulan nona-nona Suargaloka.

Ali menoleh ke arah Tari, nampak Tari hanya diam memegangi kedua tangannya dan menangis dalam diam. Ekspresi tubuhnya seolah gelisah menunggu sesuatu yang entah belum pasti itu apa. Namun Ali hanya acuh, ia pergi menyusul Risjaf dan yang lainnya.


Pada akhirnya manusia akan kembali berkalang tanah. Diciptakan dari tanah, kembali menjemput saudara lama, tanah. Dengan perlahan orang-orang yang telah membawa peti mati Suri Anjani diletakkannya ke lahan kosong tempat ia dimakamkan. Kemudian dengan keras, dilemparnya batu serta bunga mawar berjumlah banyak sekali ke peti mati Suri Anjani yang semakin tertutup oleh remah-remahan tanah. Seiring dengan suara tangisnya Rindu Isma yang tak menyanggupi tengok kawannya sudah tiada.

Beberapa warga Suargaloka yang ikut menemani kawannya dikubur di pengistirahatan terakhir kali mencoba untuk menahan tangis mereka. Sedang Ibu Kanti pun meletakkan potret Suri Anjani dalam bingkai ke dekat ujung makam Suri, tangannya gemetaran seolah ia belum menerima kenyataan.

Selepasnya, beberapa barisan pergi dari sana. Meninggalkan satu orang yang berdiri dengan diam, Bening Oetari. Raganya berdiri kini kakinya melemas jatuh duduk di dekat pemakaman Suri. Ia meremat remahan tanah dan bunga yang baru saja ditaburkan di sana, perasaan kesal, kecewa, panik, kaget, tidak percaya, pun bercampur jadi satu. Dan sebelum Tari mulai mengungkapkan kata-kata yang sedari tadi kelu ingin ia ucapkan namun ragu dan akhirnya terhenti akibat hastanya keburu ditarik oleh Iris Delima, untuk membawa mereka kembali ke kampus karena kelas belum selesai.


Partikel-partikel pada lobus temporal mengerang. Syaraf-syaraf meregang, kembali bertautan satu sama lain. Darah kembali berdesir membasahi seisi tubuh memanggil kehidupan kembali, memaksa kelopak mata terbuka 'tuk lihat dunia. Pasalnya, raga ini seutuhnya kembali. Namun ruh di dalam tubuhnya tak lagi sama, kini ingatan-ingatan merancu fiksi. Entah nyata atau bualan semata. Suri tidak seutuhnya kembali.

Suri membuka matanya perlahan, mengerjap-ngerjap memastikan pencahayaan yang menyilaukan mata barusan saja. Ia menoleh ke kanan-kiri lalu ke depan-belakang. Kosong tanpa ada sesiapapun. Lalu ia berjalan, rupanya ia sudah berdiri sedari tadi, ia berjalan lurus menerus dan berhenti di tengah saat menemukan sosok berjubah hitam. Tunggu, apakah itu hantu?

“Selamat datang Suri, sudah siap bertemu orangtuamu?” tanya si berjubah hitam.

“Tunggu, kita akan pergi ke mana?” Suri bertanya sembari terus menoleh ke kanan-kiri belahannya.

“Kita akan bertemu orangtuamu,” ucapnya lalu berjalan cepat ke arah depan meninggalkan Suri.

“Di Sur— ....”

“Tidak. Di Neraka.”

“Hah, apa?” Suri terdiam hingga menghentikan langkahnya. Ia menatap si jubah hitam penuh tanya dan tatapan kosong.

“Mengapa terkejut, Suri? Apa kau tahu siapa pembunuhmu?”

Suri Anjani menggeleng terbata-bata. Kepalanya seolah mati rasa, lidahnya terputus, ia tidak diberikan hak bicara namun ia tetap paksakan tenggorokannya berfungsi. “Aku tergelincir, jadi jatuh dan mati.”

Sang jubah hitam tertawa. Suaranya nampak mengerikan hingga menggema di ruangan putih kosong itu. “Bukan, Suri. Kau mati dibunuh, bukan tidak sengaja tergelincir.”

Pernyataan itu bagaikan sebuah kepiting yang tiba-tiba datang mengapit ulu hati manusia di padang oasis kosong dan sungguh menyakitinya. Suri Anjani hampir meluruh, kalau saja ia lupa bahwa sedang berhadapan oleh Malaikat Maut. Suri Anjani mengatur napasnya kemudian, lalu menatap sang Malaikat dengan ekspresi mantap seolah ia sudah siap diberi petuah. Petuah untuk menghapus dosa-dosanya. Permintaan hidup kembali, dari dalam kecil sanubari. 

“Bila kamu dapat mengungkap pembunuhmu dalam kurun waktu enam puluh enam hari. Maka, Suri akan dihidupkan kembali, artinya kau akan hidup.”

Suri Anjani menyipitkan mata, ia mengangguk sambil tersenyum kecil. Kemudian Malaikat melanjutkan, “Namun apabila kau gagal, hidupmu akan direnggut kembali dan kau akan bertemu neraka.” Kini Suri Anjani mulai gemetar.

Sang Malaikat nampak tersenyum skeptis. Lalu ia kembali melanjutkan jalannya ke depan. “Ayo Suri, mari bertemu orangtuamu dahulu.” Dan Suri Anjani menurut, pergi ke neraka sebelum nyawanya dikembalikan.

Jadi, apa yang membuat seseorang menciptakan suatu kekebalan tubuh? Apa karena mereka rajin olahraga? Atau karena mereka rajin berbohong sehingga tembok tebal tidak dapat dilewati sesiapapun untuk mengetahui rahasianya. Namun Suri Anjani kebal akibat ia hidup kembali. Ia tidak akan pernah mati.


Suri mengerjap-ngerjap matanya. Butuh beberapa menit untuknya untuk beradaptasi dengan gelapnya ruang bawah tanah itu. Ia berpikir sejenak, mencerna semua kejadian yang ia lewati hanya dalam kurun dua hari itu. Perkataan malaikat yang menyatakan dengan lantang bahwa ia dibunuh, bukan tergelincir. 

Suri mulai panik, ia menggedor kayu yang berada hanya 15cm dari wajahnya. Nihil. Tentu saja. Apa yang ia harapkan. Ia mulai kehilangan kesadaran dirinya akibat menipisnya oksigen dalam ruang sempit itu. Meski penuh ragu, pada akhirnya ia mencoba mendorong pintu kayu itu. Tak dikunci. Ia mulai mendorong dengan sekuat tenaga. Suri mengambil napas panjang tepat ketika peti itu terbuka dan tanah mulai menimbun dirinya. Tangannya menggeliat, mencari jalan 'tuk keluar dari timbunan tanah itu. Bangkit. Suri Anjani telah bangkit.

Suri mulai keluar dari liang kubur tempat ia seharusnya beristirahat untuk selamanya. Berdiri bertelanjang kaki, tanpa tujuan. Kulitnya putih pucat dengan semburat merah bekas percikan darah di dadanya. Gaun putih bersih bak pengantinnya kini ternoda oleh tanah. Ia meraih sebatang mawar yang ada dalam petinya, entah untuk tujuan apa. 

Ia berjalan tanpa tujuan, tanpa alas kaki, tanpa ingatan. Kampus, hanya itu yang terlintas di benaknya. Meskipun ia tak tahu kini ia berada di mana, ia berjalan. Ia tahu ia tidak boleh berdiam diri di pemakaman itu jika tidak mau dituduh menghilangkan salah satu jasad.

Lari, cari siapapun yang ada di kampus. Hanya itu yang ada di pikiran Suri. Ia tak bisa pulang ke rumah sebab kunci rumahnya mesti masih berada di kampus. Ia mesti kembali ke kampus 'tuk cari dalangnya.


Tetesan air mata masih menggenang di pelupuk mata cantiknya. Tidak disangka kabar duka dari teman baiknya akan datang secepat ini. Ia berjalan dengan lesu, menatapi lantai koridor Prabangkara. Bergegas pulang dengan perasaan campur aduk.

“RINDU!”

Panggilan itu ditangkap dengan jelas oleh rungu Rindu. Pikirnya suara itu persis sama dengan suara Suri, temannya yang baru saja dikubur beberapa jam lalu. Lantas bulu kuduknya meremang, berharap itu cuma halusinasi belaka.

“GUSTI! Suri, masa iya itu kowe?” ini suara Rindu dengan wajah kagetnya.

“Iya, ini aku. Panjang ceritanya bisa sampai ke sini lagi. Kamu ada bagi baju ganti tah Ndu? Anak-anak yang lain pada kemana?” ini Suri.

“Nih ana, buru-buru banget yo, Sur? Di tempat biasa kayake,” ucap Rindu sembari menyodorkan setelan baju.

“Ya udah, pergi dulu, Ndu.”

Itu perkataan terakhir Suri, sebelum akhirnya pergi meninggalkan Rindu. Meninggalkan Rindu dengan banyak pertanyaan yang bersarang di otaknya.


Titah hati meminta didengari. Lubang kemuliaan tak henti-henti menghantui. Dwi cagaknya sudah berusaha dibawa berlari pergi. Namun jalan buntu masih saja ditemui. Tolong! Tolong siapa saja jangan bawa nona ini pergi! Menyanggahlah ia untuk runtuhkan tembok tak kasat mata yang menyayat hatinya. Ia setia untuk janji ia akan mengukir kebaikan selama dihidupkan kembali. Walau bentalanya tak seindah surgawi, apakah Suargaloka tetap digandrung-gandrung sudi menaungi? Semoga janji setia mengabdi.

Suri Anjani, perlahan menyusuri jalanan setapak sepi. Aneh sekali. Selepas ia kembali dari kamar mandi akibat dipinjami baju oleh Rindu Isma yang tak sengaja ia temui, kampus ramai namun kini hanya menyisakan angin mati.

Suri Anjani memasuki tapak kaki pada tempat biasanya Suargaloka berkumpul. Gudang kosong, yang biasa mereka tempati untuk mengerjakan tugas bersama. Suri mengabsen satu-satu teman-temannya yang ada di sana.

Satu. Lima. Delapan. Sebelas.

Lengkap. Namun ada yang janggal menurut Suri Anjani. Tatapan para kawan-kawannya terkejut dan hampir bengkak akibat menangis terus-menerus, persis keadaannya waktu Suri bertemu Rindu. Sedangkan Chairil, ia hanya diam saja. Tidak bereaksi apapun dan memandang Suri penuh rasa bersalah. Apakah ia pembunuh sebenarnya?

“SURI! KOK UDAH BALIK?” Pernyataan yang baru saja dilontarkan oleh Aning. Sedang yang lain masih mematung dan berdiri dengan mulut ternganga-nganga.

Kemudian dengan kompak orang-orang berjalan beriringan menyerbu Suri Anjani, memeluknya beramai-ramai termasuk Chairil. Namun Suri kembali merasa aneh melihat Tan dan Wisang berdiri tidak berkutik dan hanya menatap perkumpulan Suargaloka yang berpelukkan dengan penuh kasih.

Sebelum kekuatan itu berubah menjadi dorongan paling kuat manusia. Suri akan tetap berkeliaran mencari sang pelaku. Siapa yang membunuh Suri? Dan apa penyebabnya?

Dalam cahaya penuh restu setan-setan neraka, setetes api mewujudkan citra diri. Suri Anjani telah bangkit. Ia akan menghantui manusia dan mencari siapa dalang pembunuhnya.





BERSAMBUNG.

Komentar

  1. Ngeri banget yang pas Suri Anjani bangkit 😭😭

    BalasHapus
  2. merinding bener baca scene kebangkitan suri sama obrolan dia yang mau ketemu ortu. serem tapi sedih juga

    BalasHapus
  3. Horror nya kerasa banget!!! Keren yang Suri bangkit. Suka juga bahasa di tulisannya 👍🏻

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEMATIAN PENYAIR.

PROLOG: SERIBU DURJA AFTAB, SUARGALOKA.

BATU MATI PUN HIDUP: PART 2.